Tahun 2025 layak kami baca sebagai tahun ketika pelanggaran ilmiah harus berhenti dipahami sebagai deviasi moral individu semata, lebih dari itu semakin tepat diposisikan sebagai kegagalan komunitas ilmiah global dalam tata kelola pengetahuan khususnya publikasi ilmiah.
Tahun 2025 menandai catatan penting dalam linimasa integritas ilmiah secara global. Beragam kasus yang muncul sepanjang tahun, alih-alih dipicu oleh satu skandal tunggal yang spektakuler, diskursus pelanggaran ilmiah (scientific misconduct) terbentuk melalui akumulasi kasus menonjol, penarikan artikel ilmiah berskala besar, dan semakin kuatnya kesadaran bahwa masalahnya bersifat sistemik. Tahun 2025 layak kami baca sebagai tahun ketika penyimpangan ilmiah harus berhenti dipahami sebagai deviasi moral individu semata, lebih dari itu semakin tepat diposisikan sebagai kegagalan komunitas ilmiah global dalam tata kelola pengetahuan khususnya publikasi ilmiah.
Salah satu sinyal paling terlihat adalah keputusan jurnal Science untuk menarik kembali makalah “arsenic life” yang diterbitkan pada 2010. Retraksi (penarikan) artikel ilmiah ini dilakukan lima belas tahun kemudian, bukan karena peneliti terbukti melakukan niat penipuan, melainkan alasan Science melakukan retraksi karena ditemukan kesalahan metodologis serius yang meruntuhkan klaim utama para peneliti. Langkah yang dilakukan oleh tim editor Science tersebut kami pandang sebagai usaha untuk memperkuat pergeseran normatif bahwa penarikan artikel ilmiah makin dipahami sebagai mekanisme koreksi epistemik, bukan hanya sekadar sebuah sanksi etik.
Apa Itu Makalah Arsenic Life?

Istilah “arsenic life” merujuk pada sebuah klaim ilmiah kontroversial yang dipublikasikan pada 2010 dan kembali menjadi rujukan penting dalam diskursus integritas sains setelah artikel tersebut ditarik pada 2025. Klaim ini berangkat dari penelitian yang dipimpin oleh Felisa Wolfe-Simon, saat itu berafiliasi dengan NASA, yang menyatakan telah menemukan bakteri ekstremofil bernama GFAJ-1 di Danau Mono, California. Bakteri ini diklaim mampu menggantikan fosfor, unsur esensial bagi kehidupan, dengan arsenik dalam struktur biomolekulnya, termasuk DNA. Jika benar, temuan ini akan mengguncang biologi fundamental dan memperluas definisi kehidupan itu sendiri.
Makalah tersebut diterbitkan di jurnal Science dan segera dipromosikan melalui konferensi pers besar NASA. Narasi yang dibangun bersifat spekulatif namun dramatis, dengan implikasi luas bagi astrobiologi dan pencarian kehidupan di luar Bumi. Namun, justru di sinilah letak persoalan utama. Sejak awal, banyak ahli biokimia dan mikrobiologi menyampaikan kritik metodologis serius. Mereka menyoroti kemungkinan kontaminasi fosfor, ketidakmampuan metode analitik yang digunakan untuk membuktikan integrasi arsenik ke dalam DNA, serta interpretasi data yang dinilai melampaui bukti empiris yang tersedia.
Perdebatan ini berlangsung intens di ruang publik dan literatur ilmiah. Beberapa kelompok riset independen kemudian gagal mereplikasi temuan tersebut dan menunjukkan bahwa bakteri GFAJ-1 tetap bergantung pada fosfor dalam kondisi eksperimental yang lebih ketat. Meskipun demikian, selama bertahun-tahun jurnal tidak melakukan koreksi substansial, selain menerbitkan tanggapan dan kritik. Situasi ini menciptakan ketegangan epistemik, karena klaim spektakuler tetap tercatat dalam literatur meskipun fondasi empirisnya semakin rapuh.
Namun begitu, persoalan lamanya waktu retraksi dan keterlambatan selama bertahun-tahun ini sekaligus menggarisbawahi persoalan laten dalam sistem editorial yang cenderung lamban merespons kritik komunitas ilmiah. Walaupun ini dapat dipahami sebagai sebuah koreksi penting sebagai bagian dari kerja sains (sebut saja falsifikasi ilmiah) itu sendiri. Kelambanan ini tidak dapat menutupi berdampak buruk pada penggunaan klaim ilmiah selama lima belas tahun, artikel tentang arsenic dipakai sebagai dasar pengembangan riset lanjutan di seluruh dunia. Kerugian inilah yang sering luput dari bahasan soal dampak dari penarikan ilmiah, lebih luas lagi jika kami berbicara tentang skandal pelanggaran ilmiah dalam sebuah ekosistem pengetahuan.

Image: Ajay Suresh (CC-BY 4.0)
Di tahun 2025, kasus Dana-Farber Cancer Institute menjadi pusat perhatian global khususnya di ranah biomedis. Kasus yang beermula pada manipulasi data dan citra hasil riset biomedis berakhir pada penyelesaian gugatan False Claims Act dengan nilai puluhan juta dolar. Ketika publikasi ilmiah bermasalah terhubung langsung dengan klaim pendanaan federal, maka misconduct bertransformasi menjadi isu akuntabilitas negara. Konsekuensinya, universitas dan lembaga riset dipaksa menghadapi tuntutan tata kelola yang lebih menyerupai pengelolaan dana publik daripada otonomi akademik klasik. Masalah pelanggaran ilmiah dipindahkan dari ranah moral ke ranah hukum dan fiskal, memperluas spektrum aktor yang berkepentingan, mulai dari jaksa hingga pembuat kebijakan anggaran riset.
Namun, fokus pada lembaga atau individu berisiko menyederhanakan persoalan. Editorial tersebut dengan tepat menempatkan paper mill sebagai inti krisis struktural. Temuan di PNAS menunjukkan bahwa produksi artikel palsu kini dioperasikan oleh jaringan komersial yang sistematis, memanfaatkan kelemahan peer review dan model bisnis penerbitan berbasis volume. Dalam kerangka ini, lonjakan retraksi 2025 tidak sepenuhnya mencerminkan peningkatan kecurangan baru, tetapi aktivasi mekanisme pembersihan terhadap akumulasi fraud yang telah lama mengendap di literatur.
Keberhasilan atau kegagalannya akan ditentukan oleh sejauh mana institusi, penerbit, dan regulator mampu bergerak melampaui logika skandal individual, lalu membangun infrastruktur integritas yang sepadan dengan skala produksi pengetahuan kontemporer.
Perkembangan Akal Imitasi (AI) memperumit lanskap ini. Sepanjang 2025, Nature berulang kali menyorot ambivalensi AI dalam penerbitan ilmiah. AI memperkuat kemampuan deteksi pola manipulasi dan jaringan paper mill, tetapi secara simultan meningkatkan kapasitas produksi manuskrip sintetis yang sulit dibedakan dari riset sah. Teknologi yang sama dimanfaatkan untuk menghasilkan manuskrip palsu dengan kualitas linguistik yang semakin sulit dibedakan oleh peer review konvensional. Adanya pola yang kontradiktif ini menunjukkan dua hal sekaligus tentang solusi teknologis dalam proses riset, tanpa adanya upaya reformasi institusional dan pola insentif, kasus ini akan berpotensi hanya memindahkan medan konflik dari persoalan manuskrip ke keculasan metadata.
Dalam konteks ini, Retraction Watch sejak beberapa tahun terakhir semakin berfungsi layaknya “arsip publik” sekaligus aktor baru bagi ekosistem epistemik global. Basis data retraksi ilmiah mereka, yang kini mencakup lebih dari 55.000 entri, menjadi fondasi bagi analisis lintas negara mengenai pola retraksi dan disparitas geografis. Data tersebut menunjukkan bahwa meskipun proporsi pelanggaran relatif kecil dibanding total publikasi, warisan artikel bermasalah yang tidak segera dibersihkan menciptakan “residu” berbahaya di literatur ilmiah. Perdebatan pun mengemuka, terutama ketika statistik retraksi dipakai untuk menstigmatisasi negara berpendapatan menengah tertentu, sementara bias deteksi dan ketimpangan kapasitas audit sering diabaikan.
Menyikapi kasus dalam pelanggaran ilmiah dan fokus publik pada retraksi ilmiah yang sistemik, maka fokus kaleidoskop 2025 dalam ekosistem riset khususnya publikasi ilmiah kami perlihatkan pada pergeseran diskursus kebijakan ke topik yang lebih hulu. Usulan untuk mewajibkan pengecekan retraksi secara real time dalam Clinical Decision Support System (CDSS) karena beberapa kasus melibatkan temuan penting dalam riset bidang kedokteran (misalnya riset neurosains), tekanan agar penerbit menjaga metadata retraksi yang akurat, serta revisi pedoman oleh organisasi etika penerbitan menandai upaya mengatasi masalah pada level sistem.
Lonjakan retraksi ilmiah pada tahun 2025, kami baca bukan semata sebagai indikator kemerosotan kejujuran akademis (merujuk pada scientific misconduct), tetapi juga sebagai usaha “pembersihan” agresif terhadap ekosistem penerbitan ilmiah yang lama dibiarkan rapuh. Sehingga sepanjang tahun ini, pelajaran utama dari isu pelanggaran ilmiah 2025 bukanlah berarti sains sedang mengalami kemerosotan, melainkan bahwa mekanisme koreksinya sedang diuji secara ekstrem. Keberhasilan atau kegagalannya akan ditentukan oleh sejauh mana institusi, penerbit, dan regulator ilmiah mampu bergerak melampaui logika bahwa ini adalah skandal individual, lebih dari itu ini adalah soal perbaikan pada infrastruktur integritas yang sepadan dengan skala produksi pengetahuan kontemporer yang kian pesat.
