Kami Terbiasa dengan Bencana, Negara Terbiasa Mengabaikannya

Air masih mati,” kata ibu lewat telepon. Ia mengabari bahwa air PDAM belum juga menyala di Padang sejak banjir melanda Sumatera pada akhir November lalu. Hingga hari ini, bapak dan ibu saya masih menampung air hujan untuk keperluan mandi dan mencuci. Ibu menyesal tidak memasang sumur bor sejak dulu.

Kami masih menampung air hujan, mandi dari sana,” lanjut ibu. Mereka juga sempat menumpang mandi ke rumah tetangga selama beberapa hari. Cuaca memang sempat cerah dan hujan tidak lagi turun, namun air tetap belum mengalir. Mau tak mau, mereka terpaksa menumpang mandi. Saya tak tahu apakah mesti mensyukuri hujan deras yang kembali turun, sebab setidaknya ibu tak perlu lagi menumpang mandi.

Kondisi ini masih terbilang beruntung dibandingkan mereka yang rumahnya terendam banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Rumah kami, yang terletak di dataran rendah dan dikelilingi perumahan, tidak menjadi jalur aliran banjir dari Sungai Batang Anai maupun Sungai Batang Kuranji. Meski begitu, bapak dan ibu tetap waspada jika sewaktu-waktu kondisi berubah.

Sebagai orang Sumatera, sebetulnya kami sudah terbiasa dengan bencana. Ingatan saya melayang ke tahun 2004, ketika tsunami melanda Aceh. Saat itu saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Baru kali itulah saya mendengar kata “tsunami”—kata yang begitu asing, namun terus disiarkan televisi selama berbulan-bulan. Ibu saya pun terkejut saat pertama kali mendengar berita itu. Sejak saat itu, kami mulai sadar bahwa tsunami bukanlah peristiwa yang jauh; ia juga mengintai wilayah kami.

Ingatan saya tentang masa itu tak banyak. Saya hanya ingat, kami—anak-anak sekolah dasar di kampung— menulis artikel tentang tsunami untuk dipajang di majalah dinding. Seorang kakak kelas menuliskan artikel tentang tsunami, namun keliru: ia menulis “Stunami”, lalu mencoretnya dengan pulpen. Saya yang waktu itu duduk di kelas empat SD juga ikut mengirimkan bantuan berupa sabun batangan, dikumpulkan oleh guru kami, disertai sepucuk surat. Saya lupa apa isi surat itu. Barangkali sekadar ajakan untuk tetap bersemangat. Saya membayangkan yang akan membacanya adalah kawan sebaya.

Setahun kemudian, bencana menyapa Sumatera Utara. Tsunami melanda Pulau Nias. Di Padang, kekhawatiran mulai tumbuh: apakah daerah kami akan menjadi giliran berikutnya? Pada tahun-tahun setelahnya, gempa sering terjadi. Saya ingat pada 2005, kami bahkan berkemah di luar rumah. Bukan berlebihan—gempa kala itu bisa terjadi tiap sepuluh menit.

Sejujurnya, saya tidak terlalu khawatir. Apa pula yang saya tahu tentang rasa cemas, ketika masih duduk di kelas lima SD? Yang saya takutkan hanya satu: tak bisa bertemu teman-teman di sekolah karena sekolah diliburkan.

Padang tidak dilanda gempa besar atau tsunami saat itu. Namun kesiapsiagaan telah membentuk budaya kami. Sekolah-sekolah rutin mengadakan doa bersama untuk Aceh. Warga yang semula tinggal di tepi pantai mulai membeli rumah di dekat perbukitan. Gedung sekolah dibangun agar lebih tahan gempa. Kami juga kerap mendapat pelatihan siaga bencana dari BNPB. Kami sudah terbiasa—saking terbiasanya, gempa kecil tak lagi membuat kami beranjak keluar rumah.

Kebiasaan itu berubah pada 2009.

Saat itu saya baru masuk SMA, di sebuah sekolah yang cukup bereputasi di Padang. Tes masuknya sulit. Sore itu saya pulang lebih awal dan mencoba tidur sejenak. Sekitar pukul lima, getaran gempa terasa. Karena terbiasa, saya tetap berbaring di kamar.

Baru ketika Bapak berteriak, “Keluaaar!” kami berlari keluar rumah. Gempa itu besar—7,6 skala Richter. Pot bunga berjatuhan, piring-piring keluar dari lemari, komputer terlempar dari meja. Kami membereskan semuanya seadanya: mengangkat komputer, memasukkan piring kembali ke lemari.

Setelah itu, saya menunggu ibu pulang kerja. Jalanan di depan rumah riuh, klakson motor bersahutan. Pemandangan itu sudah akrab bagi kami. Setiap kali gempa, orang-orang berlarian ke daerah yang lebih jauh dari pantai, menghindari ancaman tsunami. Sinyal telepon putus, listrik mati. Kami benar-benar tak tahu bagaimana kondisi Padang yang porak-poranda.

Sudah capek-capek tes masuk sekolah bagus, eh sekolahnya hancur.” Kalimat itu saya ceritakan kemarin kepada seorang kawan. Saya tergelak kecil—getir juga mengingatnya. Kami bersekolah di tenda, kepanasan, bergantian dengan kakak kelas, sambil menunggu gedung sekolah dibangun kembali.

Saya tak menyangka, berpuluh-puluh tahun kemudian, tiga provinsi itu kembali terdampak sekaligus. Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat harus membangun ulang—lagi.


Sebagai orang Sumatera, saya tak pernah percaya bahwa banjir adalah peristiwa yang berdiri sendiri. Berita-berita dan laporan organisasi masyarakat sipil berulang kali menyebut deforestasi sebagai latar belakang bencana ini. Pada 2009–2014, misalnya, terjadi pembebasan lahan hutan seluas 1,6 juta hektare di Riau saat Zulkifli Hasan menjabat Menteri Kehutanan. Fakta itu bahkan sempat membuat aktor Harrison Ford marah dalam sebuah wawancara dengan Zulkifli Hasan—yang justru menanggapinya dengan tawa.

Jika video Harrison Ford dianggap tak cukup kuat, atau dicap sebagai propaganda “antek asing”, saya menemukan rujukan lain. Belakangan saya membaca Hikayat Sumatera karya Fatris MF, buku yang memuat perjalanan dan kisah orang-orang yang ia temui di Sumatra: pendekar Minangkabau, dukun beranak Talang Mamak, orang Nias yang daerahnya berubah menjadi destinasi wisata, hingga pekerja tambang Tionghoa di Sawah Lunto.

Di buku itu pula saya membaca tentang perubahan di sepanjang Sungai Gansal, Riau. Batu bara dikeruk hingga habis. Kekayaan datang sekejap, lalu lenyap, menyisakan lahan rusak. Hutan diubah menjadi perkebunan, kayu-kayu besar dihanyutkan lewat sungai. “Sesal? Sudah terlambat! Hutan adat Sialang sudah jadi ‘sialang sawit’,” tulis Fatris.

Di halaman lain, dikutip pernyataan Mukti Ali, Humas Pusat Latihan Gajah Minas: “Gajah-gajah ini selamat dari pembunuhan atau konflik lahan di Riau. Dulu kawasan hutan BKSDA ini luasnya 6.200 hektare. Sekarang, saya tidak tahu. Riau kehilangan hutan setiap hari, bukan setiap bulan.

Berita lain menunjukkan bahwa banjir di Sumatera diperparah oleh menyusutnya tutupan hutan yang dialihfungsikan menjadi kebun industri ekstraktif seperti sawit dan serat kayu. Pada 2024, luas kebun kelapa sawit mencapai 1,5 juta hektare—57 kali luas Kota Medan. Sementara kebun serat kayu mencapai 150 ribu hektare, setara lima kali Kota Medan.

Angka-angka itu mungkin terasa abstrak. Namun bagi keluarga 1.059 korban meninggal, 192 orang yang masih hilang, dan lebih dari 7.000 orang yang terluka, angka itu adalah kenyataan pahit dari ketamakan industri. Jumlah ini pun belum final; masih bisa bertambah setelah saya menuliskan esai ini pada 18 Desember.

Sementara itu, presiden kita masih terobsesi dengan sawit. “Dan juga nanti kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit,” kata Prabowo saat rapat percepatan pembangunan Papua di Istana Negara, Selasa (16/12/2025).

Apakah pemerintah tidak belajar dari apa yang terjadi di Sumatera? Tak ada yang tahu. Yang jelas, obsesi terhadap sawit terus berlanjut—bahkan ketika pasar Eropa mulai mensyaratkan produk bebas deforestasi.

Aturan itu dikenal sebagai EUDR (European Union Deforestation-free Regulation). Aturan ini memang tidak bebas masalah. Namun alih-alih membenahi tata kelola perkebunan, respons pemerintah justru menolak. Uni Eropa dituding menghambat ekonomi negara berkembang, membebani petani kecil, dan menggunakan isu lingkungan sebagai dalih proteksionisme—narasi yang kembali membangkitkan ketegangan Utara–Selatan.

Sayangnya, media arus utama justru mengamplifikasi narasi tersebut. Dalam riset kami bersama Trend Asia, yang memetakan framing media terhadap EUDR sepanjang 2023–2024, kami menemukan bahwa liputan media lebih banyak menyoroti negosiasi, protes, dan upaya penundaan implementasi EUDR oleh pemerintah Indonesia.

Media kerap membingkai EUDR sebagai konflik antara Indonesia dan Uni Eropa. Dalam bingkai ini, UE digambarkan diskriminatif dan bermental kolonial. Pendekatan semacam ini menjadi cara tidak langsung untuk menghindari pembahasan perubahan sistemik dalam tata kelola komoditas—kesalahan dialihkan ke pihak luar.

Temuan ini sejalan dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa media arus utama Indonesia cenderung mengandalkan kutipan pemerintah dalam liputan lingkungan (Rochyadi-Reetz & Wolling, 2021). Alasannya sederhana: sumbernya mudah diakses, liputan ke lapangan mahal, dan tak semua newsroom mampu membiayai peliputan di luar Jawa. Isu lingkungan pun kerap dianggap tak cukup “seksi” bagi media (Alaidrus, 2021).

Akibatnya, bencana lingkungan sering diliput secara dangkal, dianggap semata sebagai peristiwa alam, bukan masalah struktural (Adiprasetio et al., 2024). Ritme media digital yang menuntut jurnalis menulis belasan berita per hari juga menyisakan sedikit ruang untuk pendalaman isu yang kompleks.

Catatan ini bukan untuk mengecilkan kerja jurnalis yang meliput banjir di Sumatera, apalagi mereka yang bekerja dengan upah pas-pasan. Kritik ini ditujukan pada sistem media digital yang membentuk praktik jurnalistik seperti hari ini. Berbagai riset—termasuk kami bersama Trend Asia—menggunakan sampel besar untuk sampai pada kesimpulan tersebut. Lebih jauh terkait metodologi bisa dibaca di artikel yang telah dilampirkan.


Desember 2025, enam belas tahun setelah gempa Sumatera Barat. Saya masih ingat rasa nelangsa melihat sekolah hancur, sirine ambulans bersahutan, dan bantuan berdatangan dari berbagai pihak. Saya ingat seorang fotografer berjaket UNESCO meminta kami—para siswa—berfoto di bawah tenda darurat yang baru mereka dirikan. Saya berusia 15 tahun saat itu. Kekhawatiran saya sederhana: bagaimana mengejar pelajaran di tengah kondisi belajar yang kacau.

Hari ini, dari pinggiran Jakarta, saya menulis ini dari ruang yang hangat, kering, dan nyaman. Saya membayangkan remaja 15 tahun yang rumahnya hancur, sekolahnya porak-poranda, dan tak tahu apa yang akan dimakan malam ini. Lalu saya menyadari posisi saya sendiri—seperti peneliti kota yang elitis, mengumpulkan riset sana-sini, sambil bertanya: mengapa jurnalisme lingkungan seperti ini? Mengapa respons negara selalu demikian?

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.