Hingga hari ini (4/5), jumlah korban meninggal akibat banjir dan longsor di Sumatra tercatat ratusan orang dan masih terus bertambah. Data resmi BNPB yang telah diverifikasi menunjukkan 812 korban meninggal, 509 orang hilang, dan sekitar 2700 korban luka. Perbedaan angka antar pemberitaan dapat terjadi karena waktu “cut off” pengumpulan data yang tidak seragam. Meski demikian, situasi lapangan memberi indikasi bahwa skala bencana mungkin lebih parah daripada yang tercatat, sehingga muncul desakan publik agar pemerintah segera menetapkan status “bencana nasional”.

Bupati Aceh Utara, Ismail A. Jalil dalam suratnya kepada Presiden 2 Desember 2025 menyatakan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam penanganan darurat bencana di wilayahnya. Fasilitas publik dipastikan lumpuh dan rusak. Di wilayahnya terdapat 27 kecamatan dan 852 Gampong/Desa. Desa Lubuk Pusaka ini adalah satu dari 852 Gampong/Desa di wilayahnya. Bagaimana mereka membangun gampongnya setelah ini?
Kredit foto: Husna, LSM Sahara, Aceh Utara.



Dalam penanganan darurat, pemerintah daerah di Aceh dan Sumatra menyampaikan bahwa dana, logistik, serta kapasitas operasional semakin menipis. Karena itu mereka mendesak pemerintah pusat untuk menetapkan status darurat nasional agar akses bantuan tambahan dapat dibuka. Namun pemerintah pusat menyatakan bahwa situasi masih “terkendali”. Pernyataan ini memunculkan respons skeptis dari masyarakat yang melihat adanya ketidaksesuaian antara kondisi lapangan dan pernyataan pejabat, sekaligus menilai bahwa kehati-hatian pemerintah pusat tampak tidak sebanding dengan urgensi krisis.
Kontrasnya semakin terlihat jika dibandingkan dengan musim pemilu, ketika setiap angka survei elektabilitas dan hasil hitung cepat diawasi hampir setiap jam oleh elite politik dan media. Dalam bencana, angka yang berkaitan dengan keselamatan warga tidak memperoleh perhatian setara, padahal tekanan publik yang konsisten terhadap data kebencanaan dapat menjadi penentu arah kebijakan mitigasi.
Pertanyaan mengapa politisi peduli angka saat pemilu tetapi tampak menutup mata pada angka bencana, sering dijawab dengan narasi moral tentang kepedulian atau ketiadaannya. Namun beberapa riset politik dan kebijakan publik menunjukkan sesuatu yang lebih struktural tentang bagaimana cara politisi merespons insentif, bukan sekadar pada ukuran angka itu sendiri. Angka yang mengancam kelangsungan jabatan akan diawasi ketat, sedangkan angka yang “hanya” mengungkap kegagalan jangka panjang cenderung dipinggirkan atau dibagi bebannya pada masyarakat.
Kajian tentang “politik bencana” awalnya banyak bertumpu pada konteks Amerika Serikat, bahwa pemilih akan memberikan penghargaan elektoral kepada politisi yang responsif secara reaktif, yaitu yang mengalokasikan dana besar untuk bantuan darurat setelah bencana terjadi. Namun pemilih tidak memberi penghargaan elektoral yang sama kepada politisi yang mengalokasikan anggaran untuk mitigasi atau pencegahan sebelum bencana. Padahal, secara ekonomi, belanja mitigasi jauh lebih efisien dalam mengurangi korban jiwa dan kerugian. Akibatnya, politisi memiliki insentif kuat untuk memprioritaskan tindakan simbolik pascabencana ketimbang investasi jangka panjang yang tidak terlihat oleh pemilih. Pola “voters reward relief, not prevention” dianggap khas Amerika dan belum diamati di negara lain, terutama di Asia atau negara berkembang. Dalam periode itu, banyak ilmuwan menganggap bahwa perilaku pemilih di negara berkembang dapat berbeda, misalnya karena tingkat partisipasi, persepsi risiko, atau pola patronase politik yang lain.
Namun dalam satu dekade terakhir, bukti empiris dari Asia dan negara berkembang mulai memperlihatkan pola yang serupa, sekaligus menegaskan bagaimana logika elektoral membentuk cara angka bencana diperlakukan.
Studi tentang pemilihan gubernur di Jepang (1985-2015) misalnya, menunjukkan bahwa kedekatan waktu antara bencana dan hari pemungutan suara justru dapat meningkatkan suara petahana. Semakin sedikit jeda antara bencana dan pemilu, semakin besar peluang petahana memperoleh tambahan suara, selama mereka tampak aktif memberi bantuan. Ini menguatkan gagasan bahwa bencana menjadi panggung performatif bantuan darurat, bukan momentum untuk mengoreksi kegagalan mitigasi sebelumnya. Angka kerusakan dan korban penting sejauh dapat diubah menjadi narasi “kami hadir untuk membantu”. Konteks Jepang memperjelas bahwa distribusi dana pemulihan pascabencana juga sangat politis, bahwa besaran pembayaran pemulihan dipengaruhi oleh konfigurasi politik antara gubernur, legislatif lokal, dan pemerintah nasional. Dengan kata lain, angka dana pemulihan bukan sekadar respons teknokratis terhadap tingkat kerusakan, tetapi juga hasil tawar-menawar politik. Ini menjelaskan mengapa transparansi dan standar data sering kali lemah, fleksibilitas data memberi ruang untuk manuver politis.
Angka dana pemulihan bukan sekadar respons teknokratis terhadap tingkat kerusakan, tetapi juga hasil tawar-menawar politik
Studi di Jepang juga diperkuat oleh studi di Filipina yang memperlihatkan bahwa bencana memicu pola belanja yang berbeda antara wali kota baru dan petahana. Kepala daerah yang baru menjabat cenderung meningkatkan belanja terkait bencana untuk menunjukkan kompetensi, sementara petahana yang sudah mapan lebih selektif dan sering mengintegrasikan bantuan ke dalam jaringan patronase yang ada. Di konteks Filipina, kondisi tersebut membuka peluang elektoral bagi kandidat perempuan di tingkat lokal, karena publik menilai mereka lebih empatik dan responsif dalam konteks krisis. Sehingga tidak hanya menyangkut perihal soal kepentingan angka elektoral, bencana juga mengubah kalkulasi elektoral, bukan mengubah struktur mitigasi secara fundamental.
Bencana dianggap sebuah “arena elektoral” bagi para Politisi untuk “menabung” juga sarana menghitung ulang angka-angka elektabilitas. Sebuah kenyataan yang pahit bagi para pemilih yang juga masyarakat yang terdampak langsung. Namun situasi yang berbeda ditunjukkan dari Indonesia, di situasi Pandemi COVID-19 yang lalu, krisis seperti pandemi tidak otomatis menggoyang mesin elektoral. Pilkada Serentak 2020 yang diselenggarakan di tengah pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih relatif tidak jatuh sedalam yang dikhawatirkan. Pemilih dan kandidat tampaknya menormalisasi dan tidak mempunyai banyak pilihan untuk menghadapi risiko kesehatan, sementara penyelenggara menekankan narasi “demokrasi tidak boleh berhenti”, bukan narasi berbasis angka risiko infeksi dan kapasitas fasilitas kesehatan. Ini menunjukkan bahwa institusi pemilu lebih terlindungi daripada sistem kesehatan ketika keduanya sama-sama menghadapi krisis.
Jika ditarik ke level tata kelola, berbagai studi di Asia memperlihatkan bahwa masalah utama ada pada siklus perhatian. Desentralisasi di kota-kota Asia menghasilkan tata kelola bencana yang terfragmentasi, di mana wewenang dan tanggung jawab menyebar di antara banyak aktor yang tidak selalu memiliki kapasitas sama. Tata kelola pascakonflik di Nepal misalnya memperlihatkan bagaimana kebijakan “one-door policy” untuk penyaluran bantuan justru bisa menciptakan kebuntuan birokratik ketika tidak diimbangi mekanisme akuntabilitas yang jelas. Alur bantuan yang seharusnya terkoordinasi justru berhenti di titik keputusan tertentu karena setiap lembaga menunggu otorisasi dari lembaga lain. Hal ini memperlambat distribusi sumber daya dan memperbesar ketergantungan pada keputusan elite. Partisipasi komunitas dalam pemulihan pascabencana dapat menggeser sebagian relasi kuasa dan membuka ruang inovasi, tetapi hanya jika pemerintah bersedia berbagi kontrol informasi dan sumber daya. Artinya, ketika data bencana dimonopoli elite, insentif untuk memperbaiki struktur mitigasi tetap lemah.
Fragmentasi tata kelola memperburuk respons ketika proses koordinasi lintas lembaga berlangsung lambat. Pemerintah daerah menghadapi keterbatasan anggaran dan kapasitas teknis, sementara pemerintah pusat menghadapi dilema politik dalam menentukan prioritas bantuan. Akibatnya, data kerentanan, proyeksi risiko, serta inventarisasi kebutuhan sering tidak sinkron antara tingkat lokal dan nasional. Situasi ini menciptakan kesenjangan antara representasi krisis di meja pengambil keputusan dan realitas lapangan yang memerlukan tindakan cepat.
Tanpa tekanan publik yang konsisten, perhatian politik terhadap mitigasi jangka panjang cepat menghilang. Begitu fase tanggap darurat selesai dan sorotan media mereda, isu bencana kembali turun dari agenda politik. Padahal banyak krisis di Indonesia ke depan akan bersifat berulang, dipicu oleh pola iklim yang berubah, pertumbuhan kota yang cepat, serta degradasi lingkungan. Ketiadaan perhatian stabil terhadap risiko jangka panjang membuat siklus kerentanan terus berulang dan memperbesar dampak bencana berikutnya.
Dalam situasi ini, wajar jika politisi lebih sering memperlakukan bencana sebagai kesempatan komunikasi reaktif ketimbang sebagai sinyal untuk reformasi struktural.
Pemilu dan Bencana: Sama-Sama Soal Angka, Beda Perlakuan
Belajar dari ragam pengalaman diatas, Pemilu sebagai fase penentuan elektoral bagi Politisi terkait dengan bencana sama-sama sarat angka, tetapi jenis angka yang diperhatikan politisi berbeda. Angka survei, elektabilitas, dan hitung cepat memberikan sinyal langsung tentang kelangsungan jabatan, sehingga menjadi pusat perhatian. Sebaliknya, angka indeks kerentanan, kepatuhan tata ruang, atau rasio anggaran mitigasi terhadap capaian ukuran Produk Domestik Bruto (PDB) menyingkap kegagalan jangka panjang dan tidak memberi imbalan elektoral secara instan. Dalam situasi ini, wajar jika politisi lebih sering memperlakukan bencana sebagai kesempatan komunikasi reaktif ketimbang sebagai sinyal untuk reformasi struktural.
Implikasinya bagi Indonesia cukup tegas. Jika publik dan media hanya mengganjar respons darurat, maka politisi akan terus fokus pada kunjungan lapangan dan bagi-bagi bantuan setiap kali bencana terjadi, tanpa mengubah pola perencanaan tata ruang, pengawasan lingkungan, atau penguatan kapasitas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Pusat dan Daerah. Data yang semestinya menjadi dasar kebijakan akan tetap dipandang sebagai dokumen teknis yang bisa dinegosiasikan, bukan sebagai indikator kinerja yang menempel pada nama pejabat.
Apa yang bisa Jurnalis, Akademisi dan Media Lakukan Setelah Ini?
Sehingga angka-angka yang menyangkut hidup dan mati warga memiliki bobot politik setara, bahkan lebih besar, dibanding angka suara.
Jalan keluar memerlukan perubahan cara kita memperlakukan angka. Media dapat menampilkan indeks risiko bencana per kabupaten dengan konsistensi yang sama seperti menampilkan hasil survei elektabilitas. Lembaga pengawas dan akademisi dapat menautkan rekam jejak anggaran mitigasi ke profil kandidat dalam pemilu, sehingga publik melihat bencana bukan sekadar “takdir alam”, tetapi cermin keputusan politik. Organisasi masyarakat sipil dapat mendorong dashboard kebencanaan yang terbuka, yang menampilkan tren kerentanan, bukan hanya angka korban saat bencana sudah terjadi. Karena selama angka bencana ditempatkan di lampiran laporan teknis dan angka pemilu berada di layar utama, politisi akan terus lebih takut pada penurunan elektabilitas daripada pada naiknya indeks risiko. Tugas kita adalah membalik hierarki perhatian ini, sehingga angka-angka yang menyangkut hidup dan mati warga memiliki bobot politik setara, bahkan lebih besar, dibanding angka suara.
