Sebuah survei global terhadap 908 ilmuwan lingkungan dari delapan negara menunjukkan bahwa produktivitas ilmiah tidak hanya ditentukan oleh kapasitas intelektual, melainkan juga oleh identitas sosial. Perempuan menerbitkan hingga 45% lebih sedikit artikel berbahasa Inggris dibanding laki-laki. Bagi perempuan yang juga penutur non-native English dari negara berpendapatan rendah, produktivitas anjlok hingga 70% dibanding laki-laki dari negara kaya yang berbahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Temuan ini menegaskan ketidaksetaraan struktural dalam penilaian riset dan mendorong perlunya reformasi sistemik.
Gender sebagai Sumbu Ketimpangan
Sains kerap menggambarkan dirinya sebagai meritokrasi global. Namun data terbaru menunjukkan kenyataan yang berbeda, perempuan tetap menghadapi hambatan serius dalam berkarya. Survei yang dilakukan antara Juni–Oktober 2021 ini melibatkan peneliti dari Bangladesh, Bolivia, Britania Raya, Jepang, Nepal, Nigeria, Spanyol, dan Ukraina. Seluruh responden minimal pernah menulis satu artikel ilmiah berbahasa Inggris sebagai penulis pertama, sehingga mencerminkan kelompok aktif dalam ekosistem akademik.
Ketimpangan gender terlihat jelas. Pada tahap awal karier, perempuan menerbitkan 45% lebih sedikit publikasi berbahasa Inggris dibanding laki-laki dengan pengalaman setara. Seiring waktu, jurang ini memang sedikit menyempit, namun tidak pernah benar-benar hilang. Di tahap karier lanjut, perempuan tetap tertinggal dengan rata-rata belasan artikel lebih sedikit daripada kolega laki-laki.
Faktor penyebabnya bukan kekurangan kemampuan. Akademisi Perempuan lebih sering dibebani tugas mengajar dan pelayanan administratif, mengambil jeda karier karena tanggung jawab keluarga, serta lebih jarang terhubung dengan jejaring kolaborasi internasional. Mereka juga lebih sedikit memenangkan hibah, lebih jarang dilibatkan sebagai editor jurnal, dan lebih rendah peluangnya menduduki jabatan tetap. Akumulasi faktor-faktor ini memperlambat laju produktivitas sejak awal.
Kesenjangan ini justru paling tajam pada awal karier—periode yang sangat menentukan bagi perebutan posisi dosen tetap atau akses hibah kompetitif. Begitu tertinggal sejak dini, perempuan sulit mengejar, karena sistem evaluasi tetap mengandalkan jumlah publikasi sebagai indikator utama. Fenomena ini selaras dengan apa yang dikenal sebagai Matthew Effect: keunggulan awal berlipat, sementara kerugian awal semakin memperdalam jurang di sepanjang karier.
Menariknya, bahkan ketika publikasi non-Inggris ikut dihitung, jurang gender tetap bertahan. Tidak seperti kesenjangan bahasa dan ekonomi yang kadang menyempit bila publikasi lokal diperhitungkan, ketimpangan gender bersifat lebih permanen.
Ketika Bahasa dan Ekonomi Memperparah Ketidaksetaraan
Gender mungkin faktor paling konsisten, namun bahasa dan latar ekonomi memperbesar efeknya. Penutur non-native English menghadapi penalti produktivitas sekitar 15% dibanding penutur asli. Peneliti dari negara berpendapatan rendah rata-rata mengalami pengurangan produktivitas sekitar 10%.
Biaya ini nyata dalam keseharian. Peneliti non-native melaporkan membutuhkan waktu 51% lebih lama untuk menulis artikel dalam bahasa Inggris. Mereka 2,6 kali lebih sering ditolak oleh alasan bahasa dan 12 kali lebih sering diminta memperbaiki gaya bahasa saat revisi jurnal. Peneliti dari negara berpendapatan rendah menghadapi hambatan pendanaan, keterbatasan akses konferensi, hingga bias dalam proses telaah sejawat.
Ketika ketiga faktor—gender, bahasa, dan ekonomi—bertemu, dampaknya amat besar. Seorang ilmuwan perempuan non-native English dari negara berpendapatan rendah rata-rata menerbitkan 70% lebih sedikit publikasi berbahasa Inggris dibanding laki-laki penutur asli dari negara kaya. Dalam ukuran absolut, selisih itu bisa mencapai 20 publikasi pada tahap karier lanjut.
Namun studi ini juga menemukan paradoks. Jika publikasi non-Inggris turut dihitung, ketimpangan bahasa dan ekonomi justru mengecil atau bahkan berbalik. Banyak ilmuwan dari negara berpendapatan rendah yang menerbitkan lebih banyak total artikel (gabungan Inggris dan lokal) dibanding kolega dari negara maju. Sayangnya, sistem global tetap mengabaikan publikasi non-Inggris. Hasilnya, produktivitas mereka secara sistematis diremehkan.
Bagi perempuan, situasinya lebih buruk. Bahkan setelah menghitung publikasi non-Inggris, jurang gender tetap ada. Perempuan, di mana pun dan dengan bahasa apa pun, tetap menghasilkan publikasi lebih sedikit daripada laki-laki.
Box 1. Estimasi jurang produktivitas
| Kategori Ilmuwan | Pengurangan Produktivitas (Publikasi Berbahasa Inggris) |
|---|---|
| Perempuan vs laki-laki | −45% |
| Perempuan + Non-native English | −60% |
| Perempuan + Non-native English + Negara berpendapatan rendah | −70% |
Sumber: Amano dkk., PLOS Biology (2025).
Mengapa Metrik Produktivitas Menyesatkan
Jumlah publikasi berbahasa Inggris masih menjadi mata uang utama dalam karier akademik. Namun penelitian ini menunjukkan bahwa metrik tersebut sarat bias. Perempuan, penutur non-native, dan peneliti dari negara miskin semua tampak kurang produktif, bukan karena kurang kontribusi, tetapi karena sistem penilaian hanya menghitung sebagian kerja ilmiah mereka.
Upaya reformasi ada, meski masih terbatas. Misalnya, skema Research Opportunity and Performance Evidence (ROPE) di Australia mengizinkan peneliti melaporkan jeda karier akibat sakit atau cuti melahirkan. Tetapi hambatan bahasa dan ekonomi tidak diakui sebagai “gangguan signifikan”.
Lebih jauh, sistem bibliometrik global seperti Web of Science atau Scopus jarang mengindeks publikasi non-Inggris. Padahal banyak bukti krusial—dari konservasi keanekaragaman hayati hingga riset kesehatan masyarakat—tersaji dalam bahasa lokal. Mengabaikan publikasi ini berarti memperkecil basis pengetahuan global sekaligus menekan karier ilmuwan dari Selatan.
Implikasi Lebih Luas dan Reformasi
Ketidaksetaraan ini bukan hanya soal keadilan karier. Dampaknya merembet ke arah dan isi riset itu sendiri. Tim dengan keragaman gender dan bahasa terbukti menghasilkan ide lebih orisinal dan berpengaruh. Peneliti perempuan lebih sering menghasilkan paten yang menargetkan kesehatan perempuan. Publikasi non-Inggris sering memuat data ekologis atau kesehatan masyarakat yang tidak tersedia di literatur berbahasa Inggris.
Dengan menyingkirkan kontribusi tersebut, sains global menyempitkan cakupan pertanyaannya sendiri. Agenda riset bias pada perspektif dan kebutuhan negara maju berbahasa Inggris, sementara masalah lokal diabaikan.
Studi ini juga menangkap pergeseran generasi. Ilmuwan muda non-native English terkadang menghasilkan lebih banyak publikasi total dibanding senior mereka, sebagian karena tekanan untuk menulis dalam bahasa Inggris semakin kuat, sebagian karena generasi baru lebih cepat memanfaatkan alat bantu berbasis kecerdasan buatan. Namun teknologi tidak cukup untuk menambal ketimpangan struktural dalam pendanaan, kolaborasi, dan pengakuan.
Penulis studi menekankan perlunya pengakuan eksplisit atas kerugian struktural ini. Beberapa langkah yang diusulkan antara lain:
- Mengakui publikasi non-Inggris dalam penilaian karier dan hibah.
- Menyediakan dukungan terjemahan dan penyuntingan bahasa sebagai biaya standar riset.
- Mengoreksi beban struktural seperti tugas mengajar berlebih atau layanan administratif dalam promosi.
- Melatih panel evaluasi agar mampu menilai kontribusi dengan mempertimbangkan konteks gender, bahasa, dan ekonomi.
Langkah-langkah ini sejalan dengan Declaration on Research Assessment (DORA) yang menyerukan evaluasi berbasis substansi, bukan sekadar jumlah publikasi di jurnal berbahasa Inggris. Tentu akan ada resistensi. Bahasa Inggris dianggap memudahkan komunikasi global. Tetapi “universalitas” yang bertumpu pada satu bahasa sejatinya bersifat eksklusif. Biaya yang ditanggung oleh penutur non-native—dari waktu ekstra hingga karier yang terhambat—jarang terlihat oleh mereka yang diuntungkan.
Data dari delapan negara dengan 908 responden memberi gambaran tegas: perempuan tetap tertinggal dalam publikasi ilmiah, dan jurang itu semakin lebar bila diperparah oleh faktor bahasa dan ekonomi. Sistem penilaian yang bergantung pada publikasi berbahasa Inggris bukan hanya salah membaca produktivitas, melainkan juga mengabadikan ketidaksetaraan.
Sains tidak bisa mengklaim universalitas sambil menyingkirkan separuh bakat global dan mengecilkan suara dari Selatan. Reformasi metrik produktivitas bukan sekadar soal keadilan karier, melainkan soal kelengkapan pengetahuan. Tanpa pengakuan lebih luas terhadap publikasi non-Inggris dan terhadap beban struktural yang dihadapi perempuan, catatan sains akan tetap timpang—menghitung lebih sedikit dari yang seharusnya, dan memberi bobot lebih pada mereka yang sudah diuntungkan sejak awal.
