Dalam dunia akademik kontemporer, “dampak riset” telah menjadi kata kunci yang tidak bisa diabaikan. Lembaga pendanaan menuntutnya. Universitas mengangkatnya sebagai indikator kinerja. Peneliti menyisipkannya ke dalam proposal, laporan, dan strategi diseminasi. Tetapi di balik maraknya narasi dampak, terdapat ketegangan mendasar antara nilai ilmiah, tuntutan publik, dan manajemen berbasis hasil. Apakah dampak riset benar-benar tentang kontribusi terhadap masyarakat, atau telah menjadi mitos baru dalam birokrasi ilmu pengetahuan?
Trisha Greenhalgh dan koleganya, dalam sebuah ulasan naratif yang komprehensif (2016), memetakan berbagai pendekatan penilaian dampak yang berkembang sejak dua dekade terakhir. Mereka menyisir enam model yang dominan yaitu Payback Framework, Research Impact Framework, CAHS Framework, monetisasi, Societal Impact Assessment, dan UK Research Excellence Framework (REF), dan membandingkannya berdasarkan asumsi filosofis, logika pengukuran, serta kecocokannya dengan konteks nyata kebijakan dan pelayanan publik.
Bagian penting dari kajian mereka menyiratkan bahwa tidak ada satu definisi universal tentang dampak riset. Setiap model mengasumsikan pandangan berbeda tentang bagaimana ilmu bekerja dalam masyarakat. Model positivistik, seperti Payback atau CAHS, menganggap dampak sebagai hasil linier dari kegiatan riset menuju penerapan. Di sisi lain, model konstruktivis dan kritis seperti Contribution Mapping atau Participatory Research Model melihat dampak sebagai proses sosial yang kompleks, penuh negosiasi, tidak linier, dan sering kali tidak dapat diatribusi secara langsung.
Namun dalam praktiknya saat ini, yang lebih dominan justru pendekatan-pendekatan yang kuantitatif dan kompatibel dengan logika manajemen hasil. Model monetisasi, misalnya, mencoba menghitung “return on investment” dari riset melalui konversi QALY (quality-adjusted life years) ke dalam nilai ekonomi. Hasilnya adalah angka-angka besar yang dapat meyakinkan kementerian keuangan atau lembaga donor, tetapi dibangun di atas asumsi atribusi yang lemah, waktu jeda yang spekulatif, dan standar valuasi yang kontekstual.
Greenhalgh dkk. secara kritis mencatat bahwa narasi dampak seringkali lebih bersifat simbolik ketimbang substantif. Pengetahuan tidak hanya digunakan secara instrumental untuk memecahkan masalah, tetapi juga secara konseptual (sebagai kerangka berpikir) dan simbolik (untuk melegitimasi kebijakan yang telah dipilih sebelumnya). Di sinilah letak ironi besar dari obsesi dampak, dalam banyak kasus, hubungan antara riset dan hasil sosial jauh lebih lemah, ambigu, dan penuh intervensi politik dibanding yang diasumsikan oleh model-model linear.
Model monetisasi, misalnya, mencoba menghitung "return on investment" dari riset melalui konversi QALY (quality-adjusted life years) ke dalam nilai ekonomi. Hasilnya adalah angka-angka besar yang dapat meyakinkan kementerian keuangan atau lembaga donor, tetapi dibangun di atas asumsi atribusi yang lemah, waktu jeda yang spekulatif, dan standar valuasi yang kontekstual.
Salah satu manifestasi paling menonjol dari logika dampak ini adalah UK Research Excellence Framework (REF). Dengan menempatkan bobot 20% pada “impact case studies” dalam evaluasi performa universitas, REF mendorong munculnya genre baru narasi akademik misalnya kisah sukses empat halaman yang harus menghubungkan riset dengan perubahan nyata dalam masyarakat, ekonomi, atau kebijakan antara 2008–2013. Peneliti berlomba merancang cerita yang sesuai dengan format ini, dalam praktiknya sering kali dengan mengorbankan kompleksitas, ambiguitas, atau bahkan integritas intelektual dari proses riset yang sebenarnya.
Model seperti REF “tampak” objektif dan egaliter, tetapi dalam kenyataannya sangat selektif dan bias terhadap jenis riset tertentu, khususnya yang aplikatif, terukur, dan menghasilkan perubahan langsung. Riset-riset kritis, konseptual, atau bersifat jangka panjang cenderung kesulitan menunjukkan dampak dalam format yang diminta. Hal ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi persoalan epistemologis dan etis. Lalu, apakah kita ingin ilmu pengetahuan kita hanya menghasilkan produk yang “berguna”, atau juga pengetahuan yang kritis dan mendorong keadilan sosial?
| Model | Asumsi Filosofis | jenis Dampak yang Diukur | Metodologi | Kelebihan | Keterbatasan |
|---|---|---|---|---|---|
| Payback Framework (Buxton & Hanney, 1996) | Positivistik, linier | Pengetahuan, kebijakan, praktik klinis, layanan kesehatan, ekonomi | Logika input-output; studi kasus kualitatif; triangulasi data | Mapan, komprehensif, fleksibel; digunakan luas di sektor kesehatan | Proyek-spesifik, padat karya, sulit menangkap dampak jangka panjang atau kolektif |
| Research Impact Framework (Kuruvilla et al., 2007) | Refleksif, praktis | Riset, kebijakan, praktik layanan, dampak sosial | Wawancara naratif, refleksi peneliti; checklist | Mudah digunakan peneliti; mendorong kesadaran dampak | Kurang mendalam, subjektif, tidak cocok untuk evaluasi pihak ketiga |
| CAHS Framework (Canadian Academy of Health Sciences, 2009) | Sistemik, kompleksitas adaptif | Pengetahuan, kapasitas, keputusan, kesehatan, dampak ekonomi & sosial | 66 indikator kuantitatif & kualitatif; logika sistem | Komprehensif, cocok untuk lintas sektor & pilar riset | Sangat kompleks; mahal; butuh kapasitas analisis tinggi |
| Monetisation Models (e.g., Johnston et al., 2006) | Ekonomistik; valuasi berbasis utilitas | QALY, return on investment, efisiensi biaya | Model ekonometrik; valuasi makro/mikro | Mampu berbicara ke pembuat kebijakan fiskal; kuat dalam advokasi | Asumsi atribusi lemah; tidak menghitung dampak non-ekonomi; simplifikasi realitas sosial |
| Societal Impact Assessment (SIAMPI, ERiC) | Konstruktivistik & performatif | Interaksi sosial, pengaruh budaya, kebijakan, kolaborasi | Studi kasus, pemetaan jaringan, refleksi interaksi produktif | Memahami pengetahuan sebagai proses sosial; sensitif terhadap konteks | Tidak komparatif; sulit dioperasionalisasikan; keterbatasan replikasi |
| UK Research Excellence Framework (REF) | Kombinasi linier dan naratif | Semua dampak di luar akademik; dinilai via “case study” | Narasi 4 halaman; verifikasi dokumentasi; peer review | Mendorong narasi dampak, membuka data publik | Format sempit, bias ke jenis riset aplikatif; problem atribusi & simbolisasi |
| Realist Evaluation (Rycroft-Malone et al., 2015) | Realisme kritis | Mekanisme-konteks-outcome | Teori program, wawancara, observasi, analisis kontekstual | Menangkap kompleksitas implementasi; cocok untuk kebijakan sosial | Mahal, intensif sumber daya; butuh keahlian teoritis tinggi |
| Contribution Mapping (Kok & Schuit, 2012) | Performatif (Actor-Network Theory) | Kontribusi terhadap perubahan konfigurasi aktor & artefak | Pemetaan proses, narasi kontribusi, eksplorasi jaringan | Fokus pada proses dan dinamika; tidak menuntut atribusi tunggal | Kompleks, tidak komparatif, belum luas diterapkan |
| SPIRIT Action Framework (Redman et al., 2015) | Utilitarian dengan nuansa interaktif | Penguatan kapasitas organisasi, keterlibatan, penerimaan riset | Logika organisasi penerima; survei & analisis kebutuhan | Fokus pada pengguna riset; mendukung kebijakan berbasis bukti | Baru; belum teruji; masih bersifat eksperimental |
Pendekatan yang lebih reflektif, seperti Realist Evaluation atau Contribution Mapping, mencoba menghindari jebakan atribusi linier dengan menekankan dinamika konteks, agensi aktor, dan stabilisasi jaringan sosial. Alih-alih bertanya “apakah riset A menyebabkan perubahan B”, pendekatan ini bertanya: “bagaimana berbagai aktor membentuk dan menstabilkan makna dari riset tersebut dalam konteks sosial tertentu?” Model ini lebih jujur terhadap kenyataan sosial, tetapi justru karena itu lebih sulit diukur, lebih mahal, dan tidak sesuai dengan logika akuntabilitas audit.
Kritik utama terhadap model dominan dampak riset bukan terletak pada kegagalan teknis, tetapi pada konsekuensi politis dan epistemologisnya. Insentif terhadap dampak jangka pendek mendorong akademisi untuk menghindari isu-isu yang kompleks, tidak populer, atau politis, yang justru sangat penting dalam mengintervensi ketimpangan sosial dan struktural. Ini yang disebut sebagai “perverse incentive” yang secara paradoks mempersempit ruang riset justru ketika pengetahuan dibutuhkan dalam bentuknya yang paling kritis.
Lebih lanjut, pendekatan dampak yang ada saat ini sebagian besar dikembangkan dan diujicobakan di negara-negara berpendapatan tinggi dengan sistem riset dan birokrasi yang relatif mapan. Transferasi model ini ke konteks Global South berisiko menciptakan “epistemic colonialism”, sebuah kondisi di mana nilai dan prioritas riset lokal ditundukkan pada matriks penilaian global yang tidak kontekstual dengan kondisi saat ini.
Solusinya bukan menolak penilaian dampak secara keseluruhan, tetapi merancang ulang sistem evaluasi yang lebih pluralistik, kontekstual, dan reflektif. Hal ini membutuhkan kesediaan untuk mengakui bahwa dampak tidak selalu kasat mata, tidak selalu langsung, dan tidak selalu bisa dikonversi menjadi angka. Dampak sejati sering kali bersifat transformasional, tidak dapat diprediksi, dan muncul dalam relasi sosial yang tidak stabil. Lebih jauh lagi, pertanyaan tentang dampak seharusnya tidak berhenti pada “berapa banyak yang dihasilkan,” tetapi meluas pada “siapa yang diuntungkan,” “siapa yang terpinggirkan,” dan “struktur apa yang dikukuhkan” . Penilaian dampak yang etis dan bermakna harus mampu memetakan konsekuensi epistemik dan politis dari riset, bukan hanya menghitung output atau efek ekonomi.
