Simbol babi yang digunakan dalam berbagai bentuk ekspresi publik seringkali dimaknai sebagai kritik terhadap kekuasaan yang dianggap otoriter. Di banyak konteks, simbol ini mewakili perlawanan terhadap dominasi, ketimpangan, dan ketidakadilan. Namun, ketika simbol ini dibaca melalui novel Animal Farm karya George Orwell, muncul ironi yang cukup menarik. Dalam novel tersebut, babi justru merupakan tokoh utama yang mengambil alih kekuasaan dan menggantikan sistem lama dengan sistem baru yang tidak kalah hierarkis dan menindas.
Animal Farm tidak melulu dibaca sebagai kisah tentang perlawanan yang sukses. Sebaliknya, Orwell menggambarkan bagaimana revolusi yang lahir dari cita-cita kesetaraan justru dapat berubah menjadi sistem yang meniru bentuk kekuasaan sebelumnya, bahkan menjadi lebih kompleks. Tokoh babi dalam novel tidak digambarkan sebagai tokoh yang sejak awal memiliki niat jahat. Mereka memulai dari posisi yang ingin memperjuangkan keadilan, akan tetapi seiring waktu, kekuasaan yang mereka raih berkembang menjadi struktur baru yang sulit dibedakan dari sistem lama.
Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan tidak selalu bersifat statis atau berasal dari satu sumber tunggal. Dalam pemikiran Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya berada di tangan satu aktor atau institusi, namun tersebar dalam jaringan relasi sosial yang saling memengaruhi. Foucault berpendapat bahwa kekuasaan bekerja tidak hanya melalui represi, tetapi juga melalui wacana, institusi, dan praktik sehari-hari. Dengan kata lain, kekuasaan tidak selalu menindas secara langsung, tetapi juga membentuk cara berpikir, cara berbicara, dan bahkan cara membayangkan dunia.
Dalam konteks ini, simbol babi menjadi menarik karena ia tidak hanya menunjuk kepada “yang berkuasa”, namun juga menggambarkan bagaimana kekuasaan bisa berubah dan mengambil bentuk-bentuk yang tidak terduga. Ketika gambar babi digunakan sebagai alat kritik, ada kemungkinan bahwa simbol ini justru mengulang logika representasi yang dipertanyakan Orwell, yaitu melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang seragam, jahat, dan berasal dari satu pusat. Padahal, jika mengikuti logika Foucault, kekuasaan bersifat cair, berlapis, dan bisa muncul di tempat-tempat yang tidak terduga, termasuk dalam gerakan perlawanan itu sendiri.
Salah satu gagasan penting dari Foucault yang relevan dalam pembacaan ini adalah konsep heterotopia, yang berarti ruang-ruang yang tampak berada dalam sistem dominan, tetapi fungsinya menyimpang atau berbeda dari logika kekuasaan utama. Heterotopia bukan sekadar tempat alternatif, namun juga ruang yang memungkinkan bentuk-bentuk tindakan dan pemikiran yang tidak selalu sejalan dengan arus utama. Dalam praktiknya, ruang ini bisa muncul dalam bentuk kegiatan budaya, ruang diskusi, atau mungkin praktik kecil dalam kehidupan sehari-hari yang mempertanyakan cara kerja sistem yang mapan.
Aktor-aktor dalam struktur kekuasaan tidak bisa serta-merta dikategorikan sebagai “pemeran dominan” atau “korban”. Ada individu atau kelompok yang, meskipun berada dalam sistem, memilih untuk membuka ruang dialog, mendukung kebebasan berpikir, atau mengembangkan praktik yang menantang struktur yang ada. Mereka tidak bisa disederhanakan sebagai bagian dari kekuasaan represif, sebagaimana perlawanan pun tidak selalu bebas dari logika dominasi.
Dengan memahami hal ini, kita dapat membaca Animal Farm tidak hanya sebagai kritik terhadap penguasa, namun juga sebagai refleksi terhadap bagaimana sistem bekerja secara lebih luas. Orwell menunjukkan bahwa transformasi kekuasaan bisa terjadi dengan sangat halus. Prinsip-prinsip awal yang revolusioner dapat berubah secara perlahan melalui bahasa, slogan, dan pengulangan praktik tertentu. Sistem representasi memerankan peran penting mengenai siapa yang berbicara, apa yang dikatakan, dan bagaimana dibentuk dalam masyarakat.
Jika simbol babi digunakan dalam ruang publik tanpa pemahaman yang mendalam terhadap bagaimana kekuasaan bekerja, maka ada risiko bahwa tindakan tersebut hanya menjadi ekspresi simbolik tanpa dampak struktural. Bahkan, bisa saja simbol tersebut ikut memperkuat narasi yang telah dibentuk oleh sistem yang dikritik. Dalam hal ini, tindakan kritik bisa jatuh pada bentuk teatrikal yang berputar di permukaan, bukan pada usaha transformatif yang mengubah cara kerja kekuasaan itu sendiri.
Orwell juga menyampaikan bahwa kekuasaan tidak hanya dijalankan oleh mereka yang berada di “atas”. Dalam Animal Farm, hewan-hewan lain yang diam, pasif, atau mengikuti tanpa bertanya, juga berkontribusi dalam terbentuknya sistem baru yang menindas. Ini menunjukkan bahwa dalam sistem kekuasaan, tidak ada yang sepenuhnya berada di “luar”. Diam atau menerima tanpa kritik bisa menjadi bagian dari reproduksi kekuasaan.
Dari perspektif ini, penting untuk melihat relasi kuasa secara lebih hati-hati. Tidak semua yang berada di dalam sistem adalah representasi dari kekuasaan yang otoriter, dan tidak semua yang berada di luar adalah suara yang murni. Dunia sosial, baik dalam Animal Farm maupun dalam realitas, selalu menghadirkan relasi yang berlapis, ambivalen, dan dinamis.
Sebelum menggunakan simbol untuk mengkritik sistem, mungkin perlu ditanyakan kembali, “Apakah simbol tersebut membantu membuka ruang baru untuk memahami relasi kuasa, atau justru mempersempitnya?, Apakah kita sedang menantang logika kekuasaan, atau sedang mengulanginya dalam bentuk yang berbeda?”
Dengan memahami bahwa kekuasaan bersifat tidak tunggal, cair, dan beroperasi melalui berbagai bentuk simbolik, kita dapat membangun strategi refleksi dan kritik yang lebih kontekstual, inklusif, dan produktif. Animal Farm dan Foucault memberikan ilustrasi mengenai kompleksitas kekuasaan dan pentingnya membaca sistem secara menyeluruh sebelum menentukan sikap dan simbol yang digunakan.
