Konseling Apoteker: Lebih dari Sekadar Tukang Obat

Apoteker sering kali hanya dipandang sebagai penjaga apotek atau penjual obat, padahal mereka adalah tenaga kesehatan profesional yang memegang peran strategis dalam sistem kesehatan. Dalam menghadapi lonjakan kasus penyakit degeneratif seperti hipertensi, diabetes, dan kolesterol tinggi—yang banyak dipicu pola hidup tidak sehat—apoteker memiliki potensi besar untuk mengambil peran aktif dalam skrining dini dan pencegahan, terutama karena posisi mereka di garda terdepan layanan kesehatan, seperti apotek dan puskesmas.



Peran Apoteker dalam Deteksi Dini dan Pencegahan

Apoteker memiliki peran penting dalam deteksi dini penyakit degeneratif. Di apotek, mereka diperbolehkan melakukan pemeriksaan kadar gula darah, kolesterol, dan tekanan darah. Jika hasilnya menunjukkan nilai yang tinggi, langkah selanjutnya adalah merujuk pasien ke dokter untuk penanganan medis. Lebih dari itu, sesuai Permenkes RI No. 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, apoteker juga berwenang memberikan layanan farmasi klinik berupa konseling—mulai dari edukasi tentang penyakit dan pencegahannya hingga memastikan pasien mematuhi regimen obat.

Edukasi ini penting, sebab pengetahuan tentang penyakit sangat mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri saat mengalami gejala. Demikian pula, pemahaman yang baik tentang obat akan meningkatkan kepercayaan terhadap efektivitas terapi.

Sayangnya, temuan riset terbaru menunjukkan lebih dari separuh responden memiliki pengetahuan yang rendah tentang penyakit degeneratif. Dari 100 orang yang diteliti, 51 hanya berpendidikan SMA dan 49 orang berada pada rentang usia 46–55 tahun—kelompok yang jarang mengakses informasi kesehatan dari sumber profesional. Data ini menegaskan urgensi keterlibatan aktif apoteker dalam edukasi dan pencegahan di tingkat komunitas.

Konseling Apoteker dan Dampaknya pada Masyarakat

Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit degeneratif semestinya menjadi alarm bagi apoteker untuk lebih aktif berperan. Lonjakan kasus hipertensi dan diabetes pada usia muda membuktikan bahwa pendekatan kuratif masih dominan, sementara pencegahan kerap terabaikan.

Dalam pengalaman saya saat terlibat dalam program cek kesehatan gratis, mayoritas peserta mengaku belum pernah berkonsultasi dengan apoteker. Namun ketika diberikan ruang untuk berdiskusi, respons mereka sangat antusias. Seorang pedagang keliling, misalnya, dengan jujur menceritakan kebiasaannya minum kopi berlebihan, jarang berolahraga, dan mengalami stres berat. Setelah pemeriksaan menunjukkan tekanan darah dan kolesterolnya tinggi, konseling yang saya berikan membuatnya menyadari perlunya perubahan gaya hidup dan ia berkomitmen untuk segera menemui dokter.

Namun perlu digarisbawahi, tidak semua petugas di apotek berwenang memberikan Konsultasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) obat. Hanya apoteker yang memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dan kompetensi profesional yang berhak melakukan konseling secara sah dan bertanggung jawab.

Bukti empiris juga mendukung pentingnya konseling farmasi. Sebuah tinjauan sistematis terhadap 28 studi yang melibatkan 4.434 pasien diabetes tipe 2 di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menunjukkan bahwa intervensi apoteker berupa konseling tatap muka—yang sering dikombinasikan dengan materi cetak, konsultasi jarak jauh, atau tinjauan pengobatan—berkontribusi nyata pada peningkatan hasil klinis dan keamanan terapi.

Penelitian lokal juga menunjukkan temuan serupa. Di RSJ Menur Surabaya, konseling apoteker terhadap pasien skizofrenia meningkatkan kepatuhan konsumsi obat, yang berdampak positif terhadap keberhasilan terapi. Penelitian lain di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten mencatat bahwa pasien dan keluarganya merasa puas terhadap layanan konseling yang diberikan apoteker di Instalasi Farmasi

Regulasi Tanpa Pengakuan: Konseling Apoteker dan Kesenjangan Kebijakan

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa konseling apoteker berdampak positif pada kepatuhan pasien, peningkatan hasil klinis, dan kepuasan layanan. Masyarakat merespons baik kehadiran apoteker yang proaktif memberikan edukasi dan pendampingan pengobatan. Sayangnya, pengakuan atas jasa ini belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem kesehatan formal.

Hingga kini, baik Kementerian Kesehatan maupun BPJS belum menetapkan bahwa konseling apoteker layak mendapat kompensasi profesional yang diatur secara nasional. Padahal, sejumlah regulasi seperti Permenkes No. 73/2016 memang menyebutkan konseling sebagai bagian dari layanan farmasi klinik di apotek, puskesmas, maupun rumah sakit. Namun implementasinya masih bergantung pada kebijakan organisasi profesi (Ikatan Apoteker Indonesia/IAI) di tingkat daerah atau kebijakan internal fasilitas pelayanan kesehatan. Tidak ada standar pembiayaan nasional yang menjamin keberlanjutan layanan ini.

Sebagai payung hukum, IAI telah menerbitkan SK PP IAI No. PO.002/PP.IAI/1822/III/2019, yang mengatur standar minimal jasa profesi apoteker, termasuk untuk layanan konseling berdurasi 15 menit per pasien. Pembiayaan bersumber dari operasional fasilitas atau dari pasien secara langsung, dengan besaran nominal ditentukan oleh Pengurus Daerah IAI. Sebagai contoh, PD IAI DIY melalui SK No. 029/IAI DIY/SK/VII/2017 menetapkan struktur honorarium dan insentif tambahan seperti jasa tuslah, pelayanan informasi obat (PIO), homecare, hingga monitoring efek samping obat (MESO), termasuk bagi apoteker yang bertugas di rumah sakit maupun apotek.

Namun, pendekatan ini tetap bersifat desentralistik dan terbatas cakupannya. Belum ada regulasi nasional yang memastikan bahwa apoteker sebagai pemberi layanan edukasi terapi mendapat imbal jasa yang setara dengan dampak layanannya.

Bandingkan dengan sistem di negara lain. Di Kanada, Amerika Serikat, Eropa, Australia, dan Selandia Baru, mayoritas (73%) layanan farmasi klinis dibiayai oleh negara melalui sistem kesehatan publik, sementara sisanya didukung oleh asuransi swasta. Konseling apoteker bukan hanya diakui secara hukum, tetapi juga dihargai secara finansial. Di Louisiana, AS, apoteker menerima USD 50,31 (±597.800 rupiah) untuk pelatihan individu 30 menit dalam program manajemen diabetes yang dibiayai Medicaid. Di Australia, Medication Management Review memberikan AUD 90 (±1.065.000 rupiah) untuk sesi Diabetes MedsCheck. Bayaran ini setara dengan pengakuan atas kapasitas profesional apoteker sebagai pemberi layanan klinis.

Model pembiayaan seperti ini dapat diterapkan di Indonesia. Pemerintah daerah sebenarnya telah mulai mengambil inisiatif. Provinsi Kalimantan Barat, misalnya, melalui Peraturan Gubernur No. 156 Tahun 2016, telah mengatur jasa farmasi klinik secara resmi. Keberhasilan ini menjadi contoh bahwa regulasi yang adil bukan mustahil, asalkan ada kemauan politik dan koordinasi lintas sektor.

Namun regulasi saja tidak cukup. Pemahaman para apoteker sendiri tentang manfaat dan urgensi konseling menjadi fondasi utama. Tanpa kesadaran kolektif dan keberanian untuk memperjuangkan peran strategis mereka, profesi ini akan terus terjebak dalam bayang-bayang stigma “penjaga apotek”. Dalam konteks ini, konseling bukan hanya alat klinis, tetapi juga simbol kebangkitan profesionalisme kefarmasian.  Sistem kesehatan yang lebih preventif dan partisipatif, dapat dimulai dari pengakuan atas jasa apoteker dalam layanan edukasi dan terapi bukan lagi pilihan melainkan keharusan.

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.