Ketika pemerintahan Trump di Amerika Serikat mengeluarkan perintah eksekutif yang mengubah secara radikal proses akreditasi pendidikan tinggi—menghapus penggunaan data demografis, mempercepat pengakuan lembaga akreditasi baru, dan menekan lembaga yang tidak sejalan dengan agenda pemerintah—banyak akademisi dan lembaga penjamin mutu langsung menyuarakan kekhawatiran. Bukan hanya karena langkah tersebut mengancam kemandirian akreditasi, tetapi karena ia secara aktif menghapus keadilan dari mekanisme akuntabilitas. Ini bukan sekadar reformasi, ini adalah pergeseran ideologis yang menjadikan akreditasi sebagai alat kekuasaan.
Langkah serupa kini tampak mulai membayangi arah reformasi akreditasi pendidikan tinggi di Indonesia. Jika tidak diantisipasi, kita bisa mengulang kesalahan serupa dengan mengabaikan konteks sosial, menghapus indikator ketimpangan, dan menyeragamkan penilaian lembaga hanya berdasarkan hasil akhir. Padahal, jika akreditasi ingin menjamin mutu dan keadilan, ia harus memahami bahwa tidak semua institusi—dan tidak semua mahasiswa—berada pada titik awal yang sama.
Narasi tentang “netralitas” dalam proses akreditasi, seperti yang diusung di AS, sering digunakan untuk mendepolitisasi isu-isu keadilan sosial. Pemerintah AS, melalui Kementerian Pendidikan di bawah Trump, melarang lembaga akreditasi menggunakan indikator ras, etnis, atau pendapatan dalam mengevaluasi kampus. Dalihnya adalah menjunjung meritokrasi. Namun dampaknya justru menutup mata terhadap ketimpangan struktural yang mempengaruhi capaian mahasiswa.
Lembaga-lembaga seperti Historically Black Colleges and Universities (HBCUs), tribal colleges, atau hispanic-serving institutions yang secara eksplisit menjadikan pengurangan kesenjangan sebagai misi, tiba-tiba dinilai dengan standar yang tak mengakui konteks tersebut. Ketika performa hanya diukur dari angka kelulusan atau Return on Investment (ROI) tanpa mempertimbangkan tantangan mahasiswa yang dilayani, maka akreditasi gagal menjalankan fungsi sosialnya.
Bahaya Akreditasi Buta Konteks: Pelajaran Dari Amerika Serikat
Studi dari Georgetown University dan Third Way menunjukkan bahwa banyak program pendidikan tinggi di AS—khususnya di institusi for-profit—tidak memberikan ROI positif kepada mahasiswa. Namun kampus-kampus yang justru mengambil risiko sosial besar malah terancam karena tidak mampu memenuhi indikator “netral” yang ditentukan pemerintah. Ini bukan hanya ironis, tapi juga berbahaya.
Jika arah akreditasi ke depan mengikuti jejak sistem akreditasi baru di Amerika Serikat, maka kampus di wilayah 3T, politeknik vokasional, dan PTS yang menjalankan misi keadilan sosial bisa kehilangan pengakuan hanya karena mereka tidak mampu menghasilkan angka yang tinggi dalam indikator output yang dipaksa harus mengikuti standar normatif perguruan tinggi di Jawa. Alih-alih mendukung lembaga yang menjembatani ketimpangan, sistem seperti ini malah memperlebar jurang pendidikan.
Di AS, penghentian pendanaan terhadap lembaga seperti Institute of Education Sciences (IES) dan pelemahan National Center for Education Statistics (NCES) semakin membatasi kapasitas akreditasi untuk menilai performa secara menyeluruh. Padahal, sistem penjaminan mutu yang kredibel bergantung pada data terbuka, analitik kontekstual, dan pelaporan disaggregated.
Pelajaran dari AS jelas bahwa akreditasi tidak bisa sekadar menuntut “hasil” tanpa alat dan data untuk memahami “proses.” Indonesia harus belajar dari kegagalan tersebut dan justru dijadikan momentum untuk membangun sistem tracer study, pangkalan data PDDikti, dan evaluasi lintas sektor yang kuat dan berkelanjutan. Di tengah polarisasi politik, lembaga akreditasi di AS seperti Higher Learning Commission (HLC) mencoba mempertahankan kemandiriannya dengan menegaskan kembali pentingnya otonomi kelembagaan dan keberagaman misi institusi. Namun tekanan tetap datang. Banyak universitas menghadapi dilema dengan mengikuti tekanan politik atau mempertahankan identitas akademik.
Indonesia tidak boleh membiarkan lembaga penjamin mutu kehilangan otonominya. Justru dalam demokrasi, akreditasi harus menjadi ruang perlindungan bagi kebebasan berpikir dan eksperimen kelembagaan, apakah itu berbasis agama, teknologi, kerakyatan, atau progresivisme sosial. Ketika akreditasi dijadikan alat kekuasaan, maka yang dikorbankan bukan hanya kampus, tetapi juga mahasiswa dari kelompok rentan. Indonesia harus memilih jalan berbeda. Reformasi akreditasi harus berpijak pada data, berpihak pada mahasiswa, dan memperkuat keadilan sosial.
