Menguatkan Integritas Mahasiswa di Ruang Akademik

Di tengah dinamika kehidupan kampus yang terus bergerak, mahasiswa memiliki peran penting bukan hanya sebagai pelajar, namun juga sebagai bagian dari komunitas intelektual yang hidup. Dalam konteks ini, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) memiliki tanggung jawab moral yang tidak kalah besar. Ia harus menjaga marwah kampus sebagai ruang diskusi, pendidikan, dan pertumbuhan etis. Ketika kampus memasuki musim pemilihan pimpinan, misalnya, seluruh sivitas akademika dihadapkan pada situasi yang sering kali memantik berbagai kepentingan. Peran mahasiswa dibutuhkan, khususnya BEM, sebagai penjaga nalar kritis dan integritas kolektif. Agar tidak terjebak dalam pusaran kekuasaan yang mengaburkan tujuan pendidikan, makan diperlukan pondasi nilai yang kokoh. Hal ini sudah diingatkan oleh Lord Acton bahwa “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Ketika kekuasaan tidak ditopang oleh etika, maka sangat mudah mengarah pada penyimpangan.

Dalam menghadapi tantangan ini, filsafat moralitas dari Immanuel Kant dapat menjadi penuntun reflektif. Kant menekankan bahwa tindakan moral adalah tindakan yang didasarkan pada akal budi dan prinsip universal. Ketika pertanyaan ini muncul, “Apakah sikap saya dapat dijadikan contoh bagi semua?” maka kita terdorong untuk tidak sekadar berpihak atau diam karena tekanan situasi. Justru dari keberanian mengambil sikap etis secara mandiri yang tidak didikte oleh kepentingan kelompok mana pun, integritas sejati itu lahir. Netralitas BEM bukan berarti bersikap apatis atau menutup mata terhadap proses yang terjadi, tetapi justru menjaga ruang demokrasi kampus agar tetap sehat. Menjadi netral artinya membuka ruang dialog untuk semua, mengedepankan transparansi, dan memastikan bahwa proses pemilihan berlangsung secara adil dan partisipatif tanpa tekanan atau manipulasi.

Untuk mendukung pendekatan etis ini, pemikiran Paulo Freire tentang tiga bentuk kesadaran juga dapat menjadi panduan yang bermanfaat. Freire menyebutkan bahwa kesadaran magis membuat seseorang menerima keadaan apa adanya tanpa bertanya lebih jauh. Sedangkan kesadaran naif mulai melihat ketimpangan, namun belum sampai pada pemahaman struktural. Baru kesadaran kritis mendorong untuk memahami, mengkritisi, dan berkontribusi dalam mengubah realitas. BEM dan mahasiswa perlu diajak bersama untuk tumbuh dari kesadaran magis menuju kesadaran kritis. Misalnya, alih-alih menganggap pemilihan pimpinan kampus sebagai urusan senat atau birokrasi semata, mahasiswa bisa mengambil peran aktif dalam membangun budaya keterbukaan yang menghadirkan forum diskusi, Menyusun panduan etika bersama, atau bahkan mengusulkan indikator transparansi dalam prosesnya.

Langkah-langkah kecil ini akan membantu menciptakan ruang akademik yang tidak hanya terisi oleh kegiatan administratif, tetapi juga penuh makna dan nilai. Selain menjadi tempat kuliah dan ujian, kampus juga menjadi arena pembelajaran tentang hidup bersama dalam keberagaman pendapat, penghormatan pada aturan main, dan komitmen pada kebenaran. Ketika mahasiswa dan BEM berperan menjaga etika dalam proses pemilihan pimpinan kampus, mereka sebenarnya sedang melatih kemampuan kepemimpinan yang tangguh dan bermoral untuk masa depan. Bahkan, ketika harus dihadapkan dengan tekanan dari pihak luar atau dalam, sikap netral dan kritis justru menjadi kekuatan moral yang menjadikan posisi mereka dihargai semua pihak.

Dalam kondisi seperti ini, penting juga untuk membuka ruang kolaborasi antarmahasiswa lintas organisasi agar tidak mudah terpecah oleh wacana-wacana partisan. Forum dialog, kode etik kampus yang disusun bersama, dan pelatihan kesadaran etis dapat menjadi contoh program yang memperkuat kapasitas mahasiswa secara substantif. Di sisi lain, pihak kampus pun perlu memberi ruang yang sehat bagi mahasiswa untuk bersuara tanpa rasa takut. Rasa percaya antara pihak otoritas kampus dan mahasiswa hanya dapat terbangun jika semua pihak memegang prinsip integritas sebagai nilai bersama.

Integritas akademik bukan sekadar tentang tidak mencontek atau jujur dalam ujian. Ia juga menyangkut cara kita bersikap terhadap kekuasaan, cara kita mengambil keputusan, dan cara kita merespons situasi yang rumit dengan jernih. Dalam proses pemilihan pimpinan kampus, mahasiswa dan BEM punya kesempatan untuk memperkuat nilai-nilai ini. Dengan menyadari bahwa kekuasaan bisa merusak jika tidak diawasi, maka mahasiswa dipanggil bukan untuk melawan, tetapi untuk mengingatkan. Bukan untuk mendikte, tetapi untuk membangun ruang bersama yang sehat dan adil.

Akhirnya, integritas akademik bukan sekadar slogan kosong, melainkan pondasi yang menentukan masa depan pendidikan dan masyarakat. Bila kekuasaan dibiarkan merusak nilai-nilai, maka hal ini akan mengkhianati tugas mencetak generasi pemikir yang jujur dan bertanggung jawab. Kampus bukan sekadar panggung politik. Ia menjadi ruang pencarian kebenaran. Jadi, sudah saatnya menolak segala bentuk dominasi yang merusak, dan membangun budaya akademik yang tidak hanya berwibawa di depan, tetapi juga bersih dan tulus di dalamnya.

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.