Perguruan tinggi kerap diasosiasikan dengan integritas, rasionalitas, dan keutamaan moral. Dalam ruang-ruang kuliah, seminar, dan laboratorium, nilai-nilai akademik diajarkan sebagai landasan berpikir dan bertindak. Namun, ketika musim pemilihan pimpinan kampus tiba, nilai-nilai tersebut sering diuji—dan tak jarang tergeser oleh dinamika sosial yang lebih pragmatis. Proses demokratisasi internal yang seharusnya menjadi ajang adu visi dan gagasan, kerap berubah menjadi arena pertarungan kekuasaan yang membelah komunitas akademik dalam fraksi-fraksi yang saling berjaga.
Fenomena ini dapat dipahami melalui kerangka medan sosial yang dikembangkan oleh sosiolog Prancis Pierre Bourdieu. Bagi Bourdieu, institusi seperti kampus adalah arena—atau medan—yang mempertemukan berbagai aktor dengan latar dan kepentingan berbeda. Dalam arena ini, berbagai bentuk modal (capital) dipertukarkan: modal akademik (rekam jejak ilmiah), modal sosial (jaringan dan afiliasi), dan modal simbolik (legitimasi dan reputasi). Dalam kontestasi kepemimpinan, semua bentuk modal ini dipertaruhkan. Namun yang menjadi persoalan krusial, proses pertukaran ini tidak selalu berjalan selaras dengan nilai-nilai etika yang seharusnya menjadi penopang profesi akademik.
Bukan hanya siapa yang terpilih, tetapi apa yang dikorbankan dalam proses menuju ke sana. Bila integritas akademik terus-menerus dikompromikan, maka perguruan tinggi kehilangan peran historisnya sebagai penjaga kebudayaan, pelestari rasionalitas, dan penggerak peradaban.
Kampus sebagai arena tidaklah netral. Ia adalah ruang yang diatur oleh logika dominasi—di mana nilai etika sering kali direduksi menjadi formalitas atau digeser ke ruang privat sebagai pilihan personal, bukan komitmen kolektif.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kampus bukan ruang netral. Ia merupakan medan dengan kekuatan yang saling tarik-menarik. Dalam praktiknya, banyak akademisi yang tidak lagi melihat etika sebagai landasan bersama, melainkan sebagai nilai personal yang “terlalu ideal” untuk diterapkan dalam kondisi ini. Ketika afiliasi menjadi lebih penting dari isi gagasan, dan kesetiaan pada kelompok lebih diutamakan ketimbang komitmen terhadap kebenaran ilmiah, maka yang terjadi adalah penjarakan etika secara perlahan namun sistematis.
Penjarakan ini tidak selalu tampak mencolok. Ia sering muncul dalam bentuk, seperti sikap diam, kehati-hatian dalam berpendapat, atau bahkan sikap saling menjauhi antar kolega. Ini merupakan tanda serius dalam dunia akademik. Relasi profesional berubah menjadi interaksi yang dipenuhi perhitungan. Diskusi ilmiah menjadi hambar karena dibayangi ketegangan sosial. bahkan kolaborasi riset pun dapat terhambat karena perbedaan preferensi politik kampus.
Jika kondisi ini berlangsung terus-menerus, maka perguruan tinggi menghadapi risiko kehilangan jati dirinya. Ia mungkin masih berjalan secara struktural, seperti kuliah yang tetap berlangsung, artikel jurnal yang tetap terbit, dan seminar yang tetap terselenggara. Namun, suasana intelektualnya melemah. Tanpa etika sebagai penopang utama, ilmu pengetahuan kehilangan orientasi sosialnya. Kampus lebih menyerupai organisasi birokratis ketimbang ruang pembelajaran yang hidup dalam kondisi ini.
Ketika etika akademik direduksi menjadi formalitas atau dianggap sebagai nilai pribadi belaka, maka terjadi apa yang bisa disebut sebagai penjarakan etika. Nilai-nilai moral yang sebelumnya menjadi acuan bersama—seperti keterbukaan, penghargaan terhadap perbedaan pendapat, dan tanggung jawab ilmiah—perlahan tergantikan oleh kalkulasi politik dan kepentingan jangka pendek. Penjarakan ini kerap muncul secara laten: dalam bentuk diamnya kolega terhadap ketidakadilan, munculnya kehati-hatian berlebih dalam menyampaikan pandangan, hingga memburuknya suasana kolaboratif antar rekan dosen karena perbedaan afiliasi.
Dalam suasana seperti ini, relasi profesional berubah menjadi interaksi penuh strategi. Diskusi ilmiah kehilangan kedalaman karena dibayang-bayangi kalkulasi politik. Kolaborasi riset terhambat, seminar menjadi basa-basi, dan forum akademik kehilangan daya kritisnya. Kampus pun perlahan bergeser dari komunitas pencari kebenaran menjadi birokrasi teknokratik yang sekadar menjalankan prosedur—kuliah tetap berlangsung, jurnal tetap terbit, tapi atmosfer intelektual yang seharusnya hidup dan menggugah, melemah.
Namun Bourdieu juga mengingatkan bahwa medan sosial bersifat dinamis. Ia tidak dikunci secara struktural, melainkan bisa digugat oleh aktor-aktor sosial yang berani menantang habitus dominan. Dalam konteks ini, akademisi memiliki potensi sebagai agen perubahan—bukan melalui retorika besar, tetapi lewat praktik kecil yang konsisten. Menolak terlibat dalam afiliasi sempit, membuka ruang diskusi lintas kelompok, serta menjaga komunikasi antar kolega yang berbeda pandangan, adalah bentuk perlawanan simbolik terhadap logika dominasi yang mencemari kampus.
Contohnya, dalam pemilihan dekan atau rektor, akademisi yang tidak mencalonkan diri tetap memiliki posisi strategis. Mereka dapat menjadi penjaga integritas akademik dengan menolak polarisasi politik kampus, serta mendorong terbentuknya ekosistem kolaboratif antar kubu. Tindakan ini mencerminkan keberanian menggugat logika eksklusivitas dan loyalitas sempit, dan dalam kerangka Bourdieu, merupakan upaya sadar untuk mendekonstruksi habitus lama menuju medan yang lebih etis dan reflektif.
Transformasi tidak selalu dimulai dari perubahan radikal dan besar. Ia sering lahir dari praktek praksis berupa tindakan reflektif yang dilakukan dalam keseharian akademik. Ketika seorang dosen memilih untuk tidak menutup diri dari kolega yang berbeda pandangan, ketika ia menolak ikut dalam transaksi kekuasaan, atau ketika ia menciptakan ruang dialog yang kritis namun inklusif, maka ia sedang menanam benih awal mula perubahan struktural. Bila dilakukan secara kolektif dan berkelanjutan, tindakan-tindakan ini akan memperkuat kultur akademik yang lebih sehat, egaliter, dan tahan uji terhadap gangguan politik praktis.
Dengan demikian, kampus dapat dikembalikan ke fitrahnya: sebagai ruang pembelajaran dan penciptaan makna, bukan sekadar ladang kompetisi kekuasaan. Pemilihan pimpinan pun tidak lagi hanya menjadi soal siapa yang menang, tetapi menjadi cermin sejauh mana integritas, transparansi, dan etik kolektif dijadikan landasan. Dalam konteks ini, menjaga etika bukan sekadar pilihan moral, melainkan strategi jangka panjang dalam menyelamatkan marwah pendidikan tinggi.
Sebuah pertanyaan akhir yang layak kita renungkan bukan hanya siapa yang terpilih, tetapi apa yang dikorbankan dalam proses menuju ke sana. Bila integritas akademik terus-menerus dikompromikan, maka perguruan tinggi kehilangan peran historisnya sebagai penjaga kebudayaan, pelestari rasionalitas, dan penggerak peradaban. Di tengah masyarakat yang menghadapi kompleksitas zaman, institusi pendidikan tak boleh runtuh dari dalam karena abai menjaga nilai-nilai yang justru menjadi fondasi keberadaannya.
