Masalah kesehatan mental sangat meluas di Indonesia, namun sering diabaikan. Menurut Riset Kesehatan Dasar Nasional 2018, prevalensi gangguan mental-emosional umum (seperti depresi dan kecemasan) meningkat tajam – dari sekitar 6% populasi pada 2013 menjadi 9,8% pada 2018, atau sekitar 19 juta orang. Depresi saja ditemukan pada lebih dari 6% orang dewasa, namun yang mengkhawatirkan, hanya 9% dari mereka yang menerima pengobatan medis. Artinya, lebih dari 90% tidak mendapatkan perawatan, mencerminkan kesenjangan besar dalam layanan. Pada 2023, satu estimasi resmi menyebutkan hanya 2% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang diidentifikasi memiliki gangguan mental – angka ini sangat mungkin di bawah kebutuhan nyata, mengingat data global menunjukkan sekitar satu dari delapan orang mengalami gangguan mental. Nyatanya, gangguan mental kini menjadi penyebab kedua tertinggi beban disabilitas (YLDs) di Indonesia, setelah penyakit jantung. Namun sebagian besar penderita tidak mendapatkan bantuan sama sekali.
Akses terhadap layanan kesehatan mental masih menjadi tantangan besar, terutama di luar kota besar. Indonesia hanya memiliki kurang dari 1.000 psikiater untuk 270 juta penduduk, dan sekitar 2.000 psikolog. Tiga provinsi tidak memiliki satu pun psikiater, dan delapan provinsi tidak memiliki rumah sakit jiwa khusus. Rasio nasional hanya 0,3 psikiater per 100.000 penduduk, salah satu yang terendah di dunia – jauh di bawah rata-rata global. Di daerah pedesaan, layanan dasar kesehatan jiwa seringkali tidak tersedia – menyebabkan penundaan atau kegagalan dalam mendapatkan perawatan. Kekurangan tenaga profesional, fasilitas, dan dana memperparah kesenjangan perawatan. Meskipun beban gangguan mental sangat berat, Indonesia hanya mengalokasikan sekitar 1–2% anggaran kesehatan untuk kesehatan mental, sebagian besar digunakan untuk operasional rumah sakit, bukan untuk layanan berbasis komunitas. Investasi yang rendah secara kronis ini membuat puskesmas, sekolah, dan program outreach kekurangan sumber daya dalam menghadapi kebutuhan yang terus meningkat.
Kebijakan Nasional dan Janji: Undang-Undang Kesehatan Jiwa 2014
Secara formal, Indonesia telah mengambil langkah penting. Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun 2014 disahkan sebagai kerangka kerja komprehensif untuk meningkatkan layanan kesehatan mental. UU ini mewajibkan pemerintah menyediakan layanan kesehatan jiwa di semua tingkat – dari nasional hingga komunitas – dan mengintegrasikan layanan ini ke dalam sistem kesehatan umum. UU tersebut menjamin hak pasien atas informasi dan perlindungan dari kekerasan, serta menekankan pengembangan layanan berbasis komunitas yang mudah diakses, bukan sekadar merawat pasien di rumah sakit. Secara tegas, UU melarang praktik-praktik berbahaya dan menyerukan penghapusan stigma dan diskriminasi, bahkan media diwajibkan menggambarkan isu kesehatan mental secara positif dan akurat. UU ini juga mewajibkan pelatihan lebih banyak tenaga profesional di bidang kesehatan mental. Intinya, UU ini mengakui bahwa “tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa” dan bertujuan menyelaraskan kebijakan Indonesia dengan standar hak asasi manusia internasional.
Namun, implementasi kebijakan tersebut tertinggal jauh dari harapan. Para ahli melaporkan bahwa pelaksanaan UU ini berjalan lambat dan tidak merata, dengan banyak mandat yang belum dijalankan secara tuntas – seperti integrasi layanan kesehatan jiwa ke puskesmas dan pembangunan layanan komunitas di semua wilayah. Sistem kesehatan masih mengalami kekurangan tenaga profesional dan panduan operasional untuk integrasi layanan. Hanya sebagian kecil dari anggaran kesehatan yang dialokasikan untuk kesehatan mental, dan dua pertiga dari dana yang terbatas itu masih diarahkan ke rumah sakit jiwa, bukan layanan preventif atau berbasis masyarakat. Artinya, klinik komunitas dan program outreach masih tertinggal. Pada tahun 2023, UU Kesehatan yang baru menyerap UU Kesehatan Jiwa 2014 ke dalam regulasi kesehatan yang lebih luas, yang oleh sebagian pengamat diharapkan dapat menyederhanakan regulasi – namun tantangan utama tetap ada: mengubah kebijakan menjadi layanan nyata di lapangan.
Satu perkembangan positif adalah perluasan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak 2014, yang mencakup pengobatan dasar gangguan kesehatan jiwa. Secara teori, warga kini bisa mendapatkan akses terhadap psikiater, obat-obatan, dan perawatan rumah sakit lewat asuransi nasional. Kebijakan baru juga mewajibkan bahwa puskesmas menyediakan layanan kesehatan jiwa. Dengan hampir 10.000 puskesmas tersebar di seluruh nusantara, integrasi ini berpotensi membawa layanan lebih dekat ke masyarakat. Beberapa puskesmas telah memulai layanan konseling, skrining depresi, dan rujukan. Namun, banyak yang masih kekurangan tenaga terlatih atau fasilitas yang memadai, sehingga pelaksanaannya masih awal. Perlu upaya besar dalam pelatihan, rekrutmen, dan pendanaan di tingkat layanan primer agar seluruh rakyat Indonesia, termasuk di pelosok, bisa mengakses dukungan kesehatan mental.
Stigma, Budaya, dan Kesehatan Mental
Di luar kebijakan dan sumber daya, stigma dan keyakinan budaya yang mengakar kuat turut mempengaruhi cara masyarakat Indonesia menghadapi isu kesehatan mental. Di banyak komunitas, gangguan jiwa masih dipahami secara salah dan distigmatisasi. Tidak jarang keluarga menghindari bantuan medis karena malu atau takut dijauhi masyarakat. Banyak warga Indonesia lebih dahulu mendatangi dukun atau pengobatan tradisional ketimbang dokter atau psikolog. Misalnya, seseorang dengan skizofrenia mungkin dibawa ke penyembuh spiritual karena diyakini kerasukan, atau karena keluarga takut akan label “gangguan jiwa”. Rumah sakit jiwa kerap menjadi pilihan terakhir, setelah semua jalan lain dianggap gagal – keterlambatan ini memungkinkan kondisi memburuk. Seperti diamati oleh seorang advokat, penderita gangguan jiwa sering kali menghadapi diskriminasi, yang mendorong mereka menyembunyikan penderitaannya dan menghindari pengobatan formal.
Manifestasi paling ekstrem dari stigma ini adalah praktik pasung – pengurungan atau pemasungan orang dengan gangguan jiwa. Pasung, yaitu mengikat seseorang di tempat tertentu atau mengurungnya, telah resmi dilarang sejak 1977, namun masih terjadi di berbagai wilayah. Keluarga sering kali melakukan pasung karena putus asa ketika anggota keluarga yang sakit berat tidak dapat diakses oleh layanan kesehatan. Namun, stigma memegang peran besar: gangguan jiwa dianggap memalukan, sehingga keluarga kadang secara harfiah menyembunyikan orang tersebut. Dalam masyarakat Indonesia, memiliki anggota keluarga “gila” bisa dianggap aib, sehingga pasung menjadi upaya untuk menghindari celaan. Akibatnya, ribuan orang dihidupkan dalam kondisi terkurung, tanpa perawatan atau martabat. Analisis terbaru menunjukkan bahwa mayoritas penderita gangguan mental dijauhkan dari pandangan publik oleh keluarga, dengan pasung menjadi konsekuensi tragis dari stigma tersebut.
Berkat advokasi dan kebijakan, angka pasung mulai menurun, namun masih menjadi masalah serius hak asasi manusia. Pemerintah meluncurkan program “Indonesia Bebas Pasung” sejak 2010 dan memperkuat kampanye kesadaran masyarakat. Human Rights Watch mencatat ada lebih dari 18.000 kasus pasung pada 2010, yang menurun menjadi sekitar 12.800 kasus pada 2018. Ini menunjukkan kemajuan – sekitar 6.000 orang berhasil dibebaskan dari pemasungan – namun setidaknya 12.000 orang masih hidup dalam kondisi terpasung hingga 2018. Pada 2019, Komnas HAM dan lembaga lain diberi kewenangan baru untuk memeriksa dan menutup fasilitas yang memasung atau menyiksa pasien gangguan jiwa. Tim pengawas kini dapat menggerebek pusat pengobatan spiritual atau institusi informal dan membebaskan pasien pasung – langkah ini patut diapresiasi. Petugas kesehatan komunitas juga mulai melakukan kunjungan rumah untuk mendeteksi dan menangani kasus pasung. Meskipun upaya ini membuahkan hasil, stigma budaya tetap sulit dikikis – dibutuhkan kerja berkelanjutan untuk menggantikan ketakutan dan takhayul dengan pemahaman serta penerimaan.
Inisiatif Lokal: Advokasi dan Jaringan Sosial
Meski menghadapi tantangan besar, berbagai inisiatif lokal dan inovasi mulai bermunculan untuk memperbaiki layanan kesehatan mental. Salah satu perubahan penting adalah pergeseran ke arah layanan berbasis komunitas. Alih-alih bergantung pada rumah sakit jiwa yang jauh, beberapa wilayah mulai membangun layanan kesehatan mental dalam puskesmas dan program komunitas. Di DIY, misalnya, beberapa puskesmas telah menguji coba skrining dan konseling kesehatan jiwa, memungkinkan pasien mendapatkan bantuan di lingkungan yang akrab. Secara nasional, mandat pemerintah agar puskesmas menangani masalah kesehatan jiwa mendorong kreativitas lokal. Di beberapa wilayah, dokter umum dan perawat mendapatkan pelatihan dasar psikiatri untuk menangani kasus ringan hingga sedang dan memberikan tindak lanjut. Upaya ini masih dalam tahap awal, namun merupakan langkah menjanjikan untuk mendekatkan layanan ke masyarakat.
Kelompok masyarakat sipil juga bergerak aktif. Indonesia memiliki banyak psikiater, psikolog, perawat, dan relawan yang membentuk organisasi advokasi dan jaringan pendukung. Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok dukungan sebaya dan LSM meluncurkan kampanye di sekolah, kampus, dan tempat kerja. Gerakan yang dipimpin anak muda mulai melawan stigma di media sosial, mendorong percakapan terbuka tentang depresi dan bunuh diri. Into the Light Indonesia, misalnya, adalah komunitas anak muda yang fokus pada pencegahan bunuh diri dan literasi kesehatan jiwa – mencerminkan tren aktivisme akar rumput. Inisiatif seperti ini sangat penting dalam konteks di mana layanan pemerintah belum dapat menjangkau semua kalangan.
Yang menarik, beberapa inovasi lokal memanfaatkan tradisi gotong royong Indonesia. Di Flores, misalnya, para pastor Katolik bekerja sama dengan petugas kesehatan membentuk “rumah aman” bagi penderita gangguan jiwa berat yang berisiko dipasung. Rumah aman ini menyediakan perlindungan, perawatan dasar, dan aktivitas sosial – alternatif manusiawi untuk pasung dan meringankan beban keluarga. Di Jawa Barat, regulasi provinsi pada 2018 mengalokasikan dana untuk layanan kesehatan jiwa tingkat desa dan rehabilitasi – salah satu pemerintah daerah pertama yang melakukan ini. Di Aceh, setelah tsunami 2004, psikolog lokal mengembangkan program konseling trauma komunitas yang kini menjadi layanan permanen. Inovasi-inovasi berbasis budaya lokal ini menunjukkan bahwa kemajuan mungkin terjadi bahkan dengan sumber daya terbatas – dan dapat dijadikan model di tempat lain.
Jalan Memperkuat Kebijakan Kesehatan Mental
Indonesia berada di persimpangan penting: kesadaran tentang masalah kesehatan mental belum pernah sebesar ini, tetapi kesenjangan implementasi masih sangat lebar. Ke depan, diperlukan pendekatan kesehatan masyarakat yang komprehensif untuk memperkuat kesehatan jiwa dalam sistem kesehatan secara menyeluruh. Beberapa langkah berbasis bukti yang perlu diprioritaskan antara lain:
1. Investasi dalam Layanan dan Tenaga Kerja
Pemerintah harus secara signifikan meningkatkan pendanaan untuk kesehatan mental dan menggunakannya untuk melatih dan menempatkan lebih banyak tenaga ahli. Dengan hanya sekitar 0,3 psikiater per 100.000 penduduk, Indonesia perlu memperluas tenaga kerja kesehatan jiwa – tidak hanya psikiater, tetapi juga psikolog, perawat jiwa, dan pekerja sosial. Insentif seperti beasiswa dan tunjangan daerah tertinggal dapat mendorong profesional muda untuk bekerja di wilayah dengan sumber daya terbatas. Meningkatkan anggaran dari level 1–2% saat ini ke arah rata-rata global (sekitar 5–7%) akan memungkinkan pembangunan klinik, rekrutmen staf, dan peningkatan infrastruktur layanan.
2. Integrasi Kesehatan Mental ke dalam Layanan Primer
Layanan kesehatan jiwa harus tersedia di setiap puskesmas, agar masyarakat bisa mendapatkan bantuan sejak dini dan dekat dengan tempat tinggal. Ini berarti mengintegrasikan kesehatan jiwa ke dalam paket layanan primer: melatih dokter umum dan perawat untuk melakukan skrining gangguan umum seperti depresi, memberikan konseling atau obat-obatan dasar, serta merujuk kasus kompleks. Panduan teknis dan koordinasi antara rumah sakit dan puskesmas perlu diperkuat untuk menjamin kontinuitas perawatan. Dengan memperkuat layanan primer, kita dapat menurunkan beban rumah sakit dan menjangkau pasien lebih cepat.
3. Kampanye Pendidikan Nasional Anti-Stigma
Kampanye edukasi publik yang masif dan berkelanjutan sangat penting untuk mengubah pola pikir masyarakat. UU Kesehatan Jiwa 2014 menyerukan penghapusan stigma dan peningkatan literasi kesehatan mental – namun ini harus diwujudkan secara nyata. Pemerintah, LSM, dan media perlu meluncurkan kampanye nasional yang menyampaikan bahwa gangguan mental adalah kondisi medis yang dapat diobati, bukan kutukan atau kelemahan moral. Di sekolah, kurikulum kesehatan mental dapat ditambahkan sejak dini. Melibatkan pemimpin agama dan tokoh masyarakat dalam menyampaikan pesan-pesan kasih sayang dan penerimaan juga krusial, mengingat peran penting mereka dalam membentuk opini publik. Mengikis stigma akan membuka jalan bagi lebih banyak orang untuk mencari pertolongan.
4. Perkuat Layanan dan Dukungan Berbasis Komunitas
Indonesia perlu berpindah dari model institusional ke dukungan berbasis masyarakat. Ini mencakup pengembangan program kesehatan jiwa komunitas, seperti klinik keliling dan tim kunjungan rumah, agar pasien di daerah terpencil tidak tertinggal. Petugas kesehatan masyarakat dan relawan dapat dilatih dalam “pertolongan pertama kesehatan mental” untuk mendeteksi tanda-tanda awal dan merujuk pasien. Perluasan layanan rawat jalan, rumah singgah, dan dukungan kerja bagi penyintas juga penting agar mereka bisa berintegrasi kembali ke masyarakat dan tidak mengalami kekambuhan. Fakta bahwa 66% anggaran kesehatan jiwa saat ini masih terserap rumah sakit jiwa menunjukkan perlunya reorientasi belanja ke arah layanan preventif dan lokal.
5. Penegakan Hak dan Perlindungan bagi Kelompok Rentan
Pemerintah harus menegakkan hukum dan regulasi yang melindungi hak-hak penyandang gangguan mental. Ini berarti mengawasi dan menutup fasilitas yang melakukan pasung atau pelanggaran hak pasien, serta mengadili pelanggaran yang terjadi. Tapi penegakan hukum saja tidak cukup: perlu disediakan alternatif nyata, seperti layanan pengobatan gratis atau perawatan sementara untuk keluarga yang merasa kewalahan. Kolaborasi antara Komnas HAM, Kemenkes, dan aparat penegak hukum harus diperkuat agar praktik pasung bisa benar-benar dihentikan. Menghormati hak pasien – termasuk hak untuk menolak perawatan tertentu, hak atas informed consent, dan perlindungan dari kekerasan – akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem layanan.
Krisis kesehatan mental di Indonesia adalah tantangan kesehatan masyarakat yang tidak bisa lagi diabaikan. Prevalensi gangguan jiwa tinggi dan terus meningkat, namun terlalu banyak warga menderita dalam diam atau di luar jangkauan layanan formal. Negara ini telah membuat langkah kebijakan penting – mengakui kesehatan jiwa secara hukum dan mulai mengintegrasikan layanan – namun pekerjaan utama adalah implementasi di lapangan.
Dengan berinvestasi dalam sumber daya manusia dan komunitas, Indonesia dapat membangun sistem kesehatan yang lebih inklusif, di mana kesejahteraan mental dihargai setara dengan kesehatan fisik. Pendidikan publik yang peka budaya dan kemauan politik yang kuat dibutuhkan untuk mematahkan stigma yang telah lama membelenggu kemajuan. Imbalannya besar: masyarakat yang lebih sehat, produktif, dan manusiawi – di mana lebih sedikit hidup yang hancur karena gangguan mental yang tidak ditangani. Sebagaimana slogan yang kerap dikutip: “tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa.” Kini saatnya Indonesia menghidupi semboyan itu – dalam kebijakan, pelayanan, dan kesadaran publik – agar layanan kesehatan jiwa benar-benar dapat diakses oleh semua yang membutuhkan.

One thought on “Bulan Kesadaran Kesehatan Mental: Krisis Kesehatan Mental di Indonesia”