“Jumbo” (2025) bukan sekadar film animasi anak yang menghibur, tetapi membangun narasi budaya yang kompleks, mengajak penonton untuk memikirkan ulang konsep kemajuan, tradisi, dan identitas budaya. Film ini menunjukkan bahwa folklor dapat tetap relevan jika diartikulasikan ulang dalam bentuk yang mampu mengakomodasi perubahan zaman. Melalui pendekatan hibriditas budaya, film ini menentang dikotomi tradisi-modernitas dan spiritualitas-teknologi, menawarkan model alternatif bagi pembentukan cara pandang baru dalam masyarakat Indonesia
Dalam kajian budaya populer dan media, folklor sering dianggap sebagai warisan tradisi yang terpinggirkan oleh modernitas dan teknologi. Namun, film animasi anak “Jumbo” karya Ryan Adriandhy menawarkan perspektif baru dengan menggabungkan unsur tradisional dan modern dalam narasi yang kompleks. Film ini merefleksikan dinamika hibriditas budaya Indonesia, khususnya dalam konteks hubungan antara folklor, teknologi, dan modernitas, serta berfungsi sebagai medium pembelajaran bagi generasi muda yang berhadapan dengan tantangan zaman kontemporer.

Tokoh Meri, hantu anak perempuan dalam film, dapat dianalisis melalui konsep liminalitas Victor Turner, yaitu ruang transisi yang berada di antara status sosial atau eksistensi. Meri berada di ruang antara hidup dan mati, masa lalu dan masa kini, serta dunia spiritual dan teknologi. Konteks budaya Jawa memberikan makna yang khas pada liminalitas ini; kehidupan Meri bergantung pada bunga kantil yang berfungsi sebagai simbol cinta ibu sekaligus pelindung dari malapetaka, menegaskan relasi erat antara simbol tradisional dan spiritualitas lokal. Meri bukan sekadar sosok gaib yang pasif, melainkan pusat pencarian makna yang menggerakkan narasi film dan menghubungkan penonton muda dengan dunia spiritual yang sering diabaikan dalam pendidikan formal, sekaligus membuka ruang untuk pemahaman baru tentang keberanian, empati, dan solidaritas.
“Jumbo” memperlihatkan bagaimana modernitas di Indonesia tidak harus menolak tradisi dan mistik. Tokoh Pak Kades menggunakan “radio penangkap hantu” yang berfungsi dengan kekuatan batu akik merah, objek spiritual Jawa. Perpaduan ini mencerminkan hibriditas budaya yang unik, di mana teknologi ilmiah dan kepercayaan mistik hidup berdampingan tanpa benturan. Pendekatan ini berbeda dengan model modernitas Barat yang lebih mengutamakan rasionalitas dan teknologi murni. Film menegaskan bahwa di Indonesia, modernitas adalah proses negosiasi yang merangkul spiritualitas lokal. Namun, hal ini perlu dikritisi lebih lanjut apakah representasi tersebut menyederhanakan konflik kekuasaan dan dinamika sosial yang sebenarnya terjadi di masyarakat.
Anak-anak dalam film ini tidak berperan pasif sebagai penonton, melainkan aktor yang menggerakkan narasi perubahan sosial. Mereka berjuang demi Meri dan melawan dominasi teknologi sebagai alat kekuasaan yang disalahgunakan. Radio penangkap hantu yang awalnya alat represi, kemudian bertransformasi menjadi simbol solidaritas dan kekuatan kolektif
Konflik utama film berpusat pada rencana penggusuran makam Meri dan keluarganya demi pembangunan jalan layang. Makam dalam film tidak hanya merupakan situs kematian, melainkan juga ruang ingatan kolektif, spiritualitas, dan sejarah komunitas. Narasi ini secara kritis menyinggung warisan Orde Baru yang menempatkan pembangunan fisik sebagai tolok ukur kemajuan tanpa mempertimbangkan nilai budaya. Penggusuran makam menjadi simbol marginalisasi tradisi dalam proyek modernisasi ekonomi. Film ini menolak logika pembangunan yang memutus hubungan masyarakat dengan akar budayanya dan menyoroti luka sosial yang muncul akibatnya. Anak-anak sebagai agen perubahan berperan aktif melawan otoritas korup Pak Kades, menegaskan pentingnya suara lokal dalam mempertahankan nilai budaya.
Anak-anak dalam film ini tidak berperan pasif sebagai penonton, melainkan aktor yang menggerakkan narasi perubahan sosial. Mereka berjuang demi Meri dan melawan dominasi teknologi sebagai alat kekuasaan yang disalahgunakan. Radio penangkap hantu yang awalnya alat represi, kemudian bertransformasi menjadi simbol solidaritas dan kekuatan kolektif. Film ini membuka ruang negosiasi makna tradisi dan modernitas, di mana kedua unsur tersebut tidak dipandang bertentangan, melainkan saling berinteraksi dalam ruang liminal. Sebuah fase atau kondisi “di antara” yang terjadi saat seseorang atau suatu kelompok berada dalam transisi dari satu keadaan sosial atau identitas ke dalam keadaan lain.
Ini adalah refleksi dinamika masyarakat Indonesia pasca-Orde Baru, di mana makna tradisi semakin dikendalikan oleh masyarakat sendiri, bukan negara. “Jumbo” berkontribusi pada diskursus budaya yang lebih inklusif dan reflektif, memperlihatkan bahwa masa depan dibangun bukan dengan menghapus masa lalu, tetapi dengan merawat dan menafsirkan ulang akar budaya.
Viera Rachmawati berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
