Sains Tidak Harus Memilih Antara Ketelitian dan Keragaman

Minggu kemarin, saya menyimak lagi perbincangan panas di X (sebelumnya Twitter) sekitar tahun lalu, di mana warganet memperdebatkan kontribusi nyata dari ilmu-ilmu sosial. Dalam banyak utas tersebut, pembela ilmu sosial direndahkan karena dianggap mengandalkan pengetahuan yang ‘subjektif’ atau ‘tidak bisa dibuktikan’, sementara ilmu-ilmu STEM dipuji sebagai objektif, bermanfaat, dan “produktif” secara ekonomi. Argumen ini berkembang dengan cepat namun berakhir dengan nada diskusi sarkastik, merendahkan, dan penuh asumsi superioritas intelektual.

Pertentangan ini tidak saja berkembang di warganet dengan strata pendidikan tinggi, namun akhirnya juga berkembang lebih jauh hingga di tingkat pemilihan jurusan IPA (Ilmu Alam) atau IPS (Soshum), mana yang lebih baik dan yang lebih punya masa depan dari sisi pekerjaan. Hingga saya meresa bahwa pertentangan ini mengungkap lebih dari sekadar opini pribadi atau kelompok; ini juga mencerminkan kegelisahan mendalam tentang apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang “sah” di masyarakat yang dibentuk oleh logika metrik, prioritas industri, dan teknokrasi.

Dikotomi ini telah menjadi semacam bahasa kode budaya di media sosial: “soshum” versus “saintek,” berpikir kritis versus manfaat terukur. Percakapan semacam ini, sering kali digerakkan oleh budaya meme dan viralitas algoritmik. Sehingga situasi ini saya gambarkan sebagai sebuah kondisi erosi dalam sikap saling hormat (respect) antar komunitas epistemik. Mereka (yang berdebat) seakan mereduksi filsafat ilmu, disiplin yang kompleks menjadi dikotomi kasar, seperti “fakta” versus “perasaan”, “matematika” versus “omong kosong”, “kegunaan” versus “kritik”. Penyempitan sains ke dalam ideal sempit semacam ini tidak hanya salah menggambarkan STEM dan ilmu sosial, tetapi juga merusak potensi kolaborasi interdisipliner.

Berkaca pada perdebatan di media sosial yang kemungkinan akan berulang, saya bertanya: Bisakah kita mempertahankan ketelitian metodologis (rigor) tanpa mengorbankan pluralisme epistemik? Pertanyaan ini bukan hanya bermuatan akademik. Sebagai peneliti, dosen, dan pelaku komunikasi sains, saya merasa seringkali (juga) berada di persimpangan antara tuntutan objektivitas prosedural yang ketat dan kebutuhan akan pendekatan yang manusiawi, kontekstual, dan partisipatif.

Sejak pandemi COVID-19, kita sering mendengar tentang pentingnya rigor. Kita juga tahu di situasi krisis kesehatan global seperti pandemi, sains juga berada pada (sedang) mengalami krisis. Kegagalan replikasi, tingginya ketidakpastian, kasus penarikan makalah di bidang biomedis, pro-kontra penggunaan preprint, komentar ahli yang membingungkan, serta tuduhan manipulasi data di berbagai disiplin telah mengguncang kepercayaan publik. Sebagai respons, hingga kini jurnal ilmiah dan komunitas ilmiah kini menuntut metode yang lebih ketat, lembaga donor mensyaratkan pra-registrasi, dan institusi mulai berinvestasi dalam platform sains terbuka. Hingga muncul detektif ilmiah dengan latar jurnalis sains seperti Ivan Oranski, hingga ilmuwan seperti Elisabeth Bik, Dorothy Bishop hingga Anna Abalkina. Tujuannya menjadikan sains lebih kredibel, transparan, dan terpercaya.

Namun, ada hal yang penting untuk dipikirkan adalah asumsi “berbahaya”, bahwa apakah hanya ada satu cara terbaik untuk melakukan sains? Apakah standardisasi dan replikasi ilmiah adalah indikator kualitas yang universal? Bahwa “sains yang baik” dapat didefinisikan dengan ambang statistik dan daftar periksa prosedural. Ini yang kemudian menjadi sebuah pemikiran yang menurut saya tetap layak untuk dipikirkan bersama.

Saya menginginkan kita semua merenungkan sebuah frasa (lama) tentang pluralisme epistemik.

Pluralisme epistemik adalah gagasan bahwa tidak ada satu metode, paradigma, atau tradisi yang memiliki monopoli atas kebenaran. Ia mengakui bahwa pertanyaan yang berbeda membutuhkan alat yang berbeda, dan bahwa pengetahuan muncul dari beragam sudut pandang—baik eksperimental, interpretatif, lokal, adat, maupun interdisipliner. Ia menghargai laboratorium di dalam atau luar gedung (lapangan); pengamatan mikroskopis dan wawancara; citra satelit dan cerita.

Tanpa pluralisme, sains menjadi sempit. Ia memprivilegikan suara-suara terbatas, sering kali dari institusi elite di Utara Global dan meminggirkan yang lain. Ini berisiko mengarah pada apa yang disebut sejarawan Lorraine Daston (2022) sebagai “monokultur metode,” di mana inovasi dibatasi, kompleksitas diabaikan, dan relevansi hilang.

Ambil contoh kesehatan masyarakat. Selama pandemi Covid-19, model epidemiologi sangat diperlukan. Tapi begitu juga studi tentang keraguan vaksin, kepercayaan sosial, misinformasi, dan etika kebijakan kesehatan. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan angka semata. Mereka membutuhkan wawasan kualitatif, pemahaman budaya, dan kesadaran politik. Di Indonesia, misalnya, penolakan terhadap vaksin dipengaruhi oleh sejarah, agama, serta trauma sosial, bukan semata data medis. Jika hanya mengandalkan data acak-terkontrol, kita akan melewatkan akar dari perilaku masyarakat.

Atau ambil contoh ilmu iklim. Kita butuh data satelit, model emisi, dan simulasi global. Tapi kita juga butuh catatan etnografis tentang adaptasi komunitas terhadap perubahan ekologis, sejarah lisan dari penjaga hutan adat, dan pemantauan lingkungan oleh warga. Ini bukan “anekdot.” Ini juga bukti, hanya dari jenis yang berbeda.

Namun di banyak institusi ilmiah, bentuk bukti semacam ini tetap dianggap kelas dua. Lebih sulit diterbitkan, jarang didanai, dan sering dikesampingkan dalam pengambilan keputusan tingkat tinggi. Ini bukan hanya ketidakadilan. Ini berbahaya secara epistemik. Ketika kita membatasi alat sains, kita membatasi pandangan sains.

Ironisnya, penyempitan ini terjadi atas nama rigor. Tapi bagaimana jika kita salah memahami arti rigor itu sendiri?

Rigor seharusnya tidak berarti kekakuan. Ia harus berarti kejujuran, transparansi, dan kehati-hatian. Ia bukan soal keseragaman metodologis, tapi soal kesesuaian metodologis. Etnografi yang baik tidak kalah ketat dari uji coba acak, ia ketat dengan caranya sendiri, melalui keterlibatan mendalam, refleksivitas kritis, dan analisis kontekstual yang rinci. Pengetahuan ilmiah itu bersifat sosial, dan objektivitasnya bergantung pada keberagaman perspektif yang terlibat. Tanpa pluralisme, kita bukan mendekati sebuah kepastian, melainkan usaha untuk menemukan satu titik buta.

Bahaya lainnya dari monokultur metode juga ketika ketepatan (precision) disamakan dengan kebenaran (truth). Padahal kebenaran, terutama dalam isu-isu kompleks seperti kesehatan, lingkungan, dan masyarakat, jarang bersifat sederhana. Ia berlapis, penuh pertentangan, dan terus berkembang. Untuk memahaminya, kita butuh metode yang mampu menangkap nuansa (nuance), kontradiksi, dan makna.

Ini tidak berarti semua metode sama baiknya. Pseudoscience dan pekerjaan ceroboh ada di semua pendekatan. Tapi solusinya bukan menyeragamkan. Justru sebaliknya, kita perlu mengembangkan standar yang peka terhadap epistemologi dan tujuan masing-masing pendekatan. Dalam riset kualitatif, misalnya, rigor dinilai melalui kredibilitas, refleksivitas, dan koherensi kontekstual—bukan replikabilitas statistik. Studi wawancara yang baik bukan yang bisa diulang kata per kata, tapi yang mengungkap wawasan yang relevan, kontekstual, dan kaya secara teoretis.

Tantangannya lainnya juga bersifat institusional. Sebagian besar jurnal di Indonesia misalnya masih “memihak” kuantitatif. Review sejawat sering dilakukan oleh metodolog yang tidak familier dengan pendekatan partisipatif atau interpretatif. Lembaga donor menuntut “dampak” terukur yang mendiskriminasi studi jangka panjang dan berbasis komunitas. Soal ini, perubahan dibutuhkan di banyak tingkatan.

Sebenarnya, sudah ada model yang menjanjikan. Pendekatan integrated knowledge translation dalam riset kesehatan melibatkan pemangku kepentingan sejak awal. Participatory action research memberdayakan komunitas untuk ikut merancang riset. Penelitian transdisipliner dalam keberlanjutan menggabungkan sains, pengetahuan lokal, dan pengalaman hidup untuk menyelesaikan masalah pelik. Ini bukan tandingan rigor, tetapi perluasan maknanya.

Hal lain tentu, pluralisme metode ini membawa tantangan. Ia bisa memperlambat pengambilan keputusan. Ia bisa memunculkan perbedaan tajam. Ia menuntut kerendahan hati, dialog, dan negosiasi. Tapi semua itu bukan kelemahan. Justru itulah ciri sains yang sehat dalam masyarakat demokratis. Pada akhirnya, sains bukan sekadar metode, ia adalah praktik manusia. Dan kekuatannya bukan terletak pada prosedur mekanis, tapi pada kemampuannya bertanya, beradaptasi, dan belajar. Sains yang pluralis bukan kurang ketat dan “greget”. Ia lebih tangguh, lebih adil, dan lebih terhubung dengan dunia yang ingin ia pahami. Dalam upaya menyelamatkan sains dari krisisnya sendiri, kita harus berhati-hati agar tidak membuatnya lebih “kerdil”. Rigor penting, tapi tanpa pluralisme, rigor berubah menjadi dogma. Dan dogma adalah musuh dari kebenaran.

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.