Apakah ChatGPT akan menggantikan jurnalis sains? Pertanyaan ini menghantui banyak ruang redaksi di seluruh dunia. Di satu sisi, kecerdasan buatan (AI) menawarkan kecepatan, efisiensi, dan kemampuan olah data luar biasa. Di sisi lain, ada kekhawatiran soal akurasi, etika, dan hilangnya “sentuhan manusia” dalam jurnalisme. Tapi bagaimana jika AI bukan pengganti, melainkan rekan kerja?
Itulah pertanyaan sentral dalam sebuah studi kualitatif menarik yang dilakukan oleh Guenther, Kunert, dan Goodwin (2024), berjudul “My New Colleague, ChatGPT? How German Science Journalists Perceive and Use (Generative) Artificial Intelligence”. Lewat wawancara dengan 30 jurnalis sains di Jerman, penelitian ini membongkar bagaimana mereka melihat dan menggunakan AI, bukan sebagai ancaman eksistensial, tapi sebagai alat bantu yang berguna jika dikendalikan dengan bijak.
Bukan Pengganti, Tapi “Magang Digital”
Mayoritas jurnalis dalam studi ini tidak menggunakan AI untuk menulis berita yang diterbitkan. Mereka menghindari penggunaan AI dalam memilih atau merangkai narasi utama karena khawatir akan akurasi, bias, dan hilangnya suara personal. Namun, mereka tidak serta merta menolak teknologi. Justru, mereka memanfaatkannya untuk tugas-tugas rutin seperti transkripsi wawancara, terjemahan, rangkuman paper ilmiah, pembuatan ilustrasi atau bahkan ide awal untuk berita.
Beberapa menyebut AI sebagai “magang digital” ia bisa membantu banyak hal, tapi tetap perlu bimbingan. Seperti kata salah satu responden “Saya jurnalis, saya bisa menulis lebih baik dari ChatGPT.” Ini bukan sekadar kepercayaan diri, tapi pernyataan akan pentingnya subjektivitas, empati, dan intuisi yang hanya bisa dimiliki manusia dalam proses jurnalisme, terutama saat menyampaikan ilmu pengetahuan yang kompleks dan penuh nuansa.
Para jurnalis sains di Jerman memang merasakan manfaat AI, meskipun belum pada tingkat revolusioner. AI mempercepat proses kerja, meringankan beban administratif, dan membantu menghadirkan ringkasan yang bisa digunakan sebagai pijakan awal. Dengan begitu, waktu dan energi jurnalis bisa dialihkan ke pekerjaan yang lebih substansial seperti penyelidikan mendalam, verifikasi fakta, dan menjalin narasi yang bermakna.
Namun, manfaat ini datang dengan syarat yaitu ada pengetahuan latar untuk mengecek ulang hasil AI. Pengetahuan latar yang dimaksudkan adalah bagaimana jurnalis harus mempunyai pengatahuan akan liputan dan topik yang akan didalami sebelumnya. Tanpa ini, penggunaan AI justru bisa berujung pada informasi salah, bias tak terdeteksi, atau penyesatan publik. Maka, AI bukanlah solusi otomatis bagi krisis jurnalisme sains tapi ia bisa menjadi bagian dari solusi, jika disertai kompetensi, literasi teknologi, dan pengawasan manusia yang kuat.
Risiko Nyata: Dari Akurasi hingga Monopoli Teknologi
Bukan berarti para jurnalis ini naif terhadap risiko. Mereka sangat sadar akan potensi hallucination, yakni ketika AI menghasilkan informasi yang keliru tapi terdengar meyakinkan. Ini sangat berbahaya, terutama dalam jurnalisme sains yang menuntut akurasi tinggi. Mereka juga mengkhawatirkan bias dalam data pelatihan (data training) AI, dominasi penyedia teknologi dari luar Eropa, dan ketergantungan pada perusahaan besar seperti OpenAI atau Google.
Ada pula kekhawatiran bahwa penggunaan AI bisa menghomogenkan gaya penulisan, mengurangi keberagaman suara, dan mempercepat degradasi profesi jurnalis menjadi sekadar operator teknologi. Beberapa bahkan menyuarakan kecemasan akan hilangnya pekerjaan, terutama bagi jurnalis lepas atau mereka yang bekerja di media kecil.
Namun yang menarik dari studi itu bahwa sebagian besar responden tidak melihat AI sebagai penyebab langsung krisis jurnalisme sains. Justru, mereka menganggap bahwa jika digunakan dengan bijak, AI bisa memperbaiki kondisi kerja mereka bukan memperburuk.
Sama seperti kita tak perlu menyebutkan bahwa Google atau Grammarly membantu kita, AI sebagai alat bantu kerja bisa dianggap “wajar” selama ia tidak mengubah inti dari konten jurnalistik.
Satu pesan yang kuat dari penelitian yang masih berstatus pracetak (preprint) ini, bahwa penggunaan AI harus disertai kebijakan redaksional dan etika yang jelas. Banyak media di Jerman belum memiliki panduan penggunaan AI. Bahkan para jurnalis lepas merasa dibiarkan tanpa dukungan ketika menghadapi teknologi baru ini. Maka, muncul seruan untuk regulasi yang transparan, termasuk dari asosiasi pers nasional, untuk memastikan bahwa AI digunakan secara etis dan akuntabel.
Para jurnalis juga menyoroti pentingnya transparansi kepada publik menyangkut kapan dan di mana AI digunakan, dan sejauh mana hasilnya direvisi manusia. Tapi mereka juga realistis, tidak semua penggunaan AI perlu diumumkan. Sama seperti kita tak perlu menyebutkan bahwa Google atau Grammarly membantu kita, AI sebagai alat bantu kerja bisa dianggap “wajar” selama ia tidak mengubah inti dari konten jurnalistik.
Mengembalikan Makna Jurnalisme Sains
Dalam konteks jurnalisme sains—cabang yang sering dianggap “niche” dan menjadi korban pertama pemotongan anggaran redaksi media—AI menawarkan potensi efisiensi, tapi juga menguji ulang definisi kerja jurnalis itu sendiri. Apakah jurnalis hanya penyadur informasi ilmiah? Ataukah mereka mediator pengetahuan yang harus menyaring, menafsirkan, dan mengontekstualisasikan sains di tengah masyarakat yang makin kompleks? Jika kita mengikuti narasi dari studi ini, argumentasi para peneliti jelas bahwa jurnalis sains bukan penerus mesin, melainkan penjaga integritas narasi sains di ruang publik. Dan AI, jika digunakan dengan kritis dan reflektif, bisa menjadi alat bantu bukan lagi sebuah ancaman.
Penelitian ini mengingatkan kita bahwa masa depan jurnalisme tidak ditentukan oleh teknologi semata, melainkan oleh pilihan etis, kelembagaan, dan kolektif yang kita ambil sebagai profesi. Kita bisa memilih untuk melawan AI atau mengadopsinya tanpa arah ataupun kita bisa memilih jalur tengah dengan menggunakan AI untuk memperkuat nilai-nilai inti jurnalisme. Jika ChatGPT adalah rekan baru di ruang redaksi, maka tugas kita bukan memecatnya atau menyerah padanya melainkan melatihnya, mengawasinya, dan memastikan ia bekerja demi kepentingan publik. Karena pada akhirnya, yang membuat jurnalisme bermakna bukan kecanggihan alatnya, tapi komitmen manusianya terhadap kebenaran dan keadilan informasi.
