Mengapa Krisis Kepercayaan Vaksin TBC Bukan Soal Sains Semata ?

Polemik mengenai rencana fase uji klinis vaksin tuberkulosis (TBC) di Indonesia yang didanai oleh Bill & Melinda Gates Foundation belum lama ini membuka kembali luka lama dalam hubungan antara sains dan masyarakat. Reaksi skeptis di X (Twitter) dari tokoh-tokoh seperti akademisi dan ahli kebijakan publik Yanuar Nugroho, yang menyebut hibah uji klinis vaksin senilai Rp2,6 triliun sebagai tindakan “menjual rakyat sendiri”, menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya soal teknis atau etika, tetapi menyentuh isu kepercayaan dan kepentingan publik yang lebih dalam. Sekalipun komentar Yanuar kemudian dihapus dan dimoderasi lebih lanjut, ini adalah sinyal bahwa kepercayaan terhadap intervensi ilmiah berskala global—terutama jika melibatkan lembaga donor asing dan uji klinis atas tubuh masyarakat—tidak dapat lagi dianggap sebagai sesuatu yang bisa dibeli dengan angka efektivitas atau hanya publikasi di jurnal bereputasi.

Masalahnya bukan terletak pada vaksin itu sendiri, atau pada tujuan mulia pengendalian TBC yang secara medis memang mendesak. Sejak 1921, dunia hanya mengandalkan satu jenis vaksin TBC yaitu BCG (Bacillus Calmette–Guérin), yang terbukti efektif untuk mencegah TBC berat pada anak-anak, tetapi kurang melindungi remaja dan orang dewasa dari infeksi aktif. Di negara dengan prevalensi tinggi seperti Indonesia, vaksin BCG sudah lama dianggap tidak cukup. Maka pengembangan vaksin generasi baru seperti M72/AS01E yang dikembangkan oleh GlaxoSmithKline (GSK) dan diuji secara kolaboratif bersama Gates Foundation dan Wellcome Trust, adalah langkah logis dalam agenda kesehatan global. Kini, kandidat vaksin ini akan masuk fase uji klinis lanjutan fase III, fase ini membutuhkan ribuan partisipan dari berbagai negara dengan beban TBC tinggi. Indonesia, yang menempati urutan kedua beban TBC terbanyak di dunia (setelah India), menjadi kandidat kuat untuk fase uji klinis lanjutan fase III.


Namun mengapa langkah yang secara ilmiah masuk akal ini justru memantik gelombang ketidakpercayaan di ruang publik Indonesia? Jawabannya mungkin terletak pada jurang yang dalam antara logika sains dan logika kepercayaan sosial, jurang yang diperlebar oleh sejarah, struktur kekuasaan, dan komunikasi sains yang lemah.

Dalam banyak perdebatan di media sosial, masyarakat mempertanyakan siapa yang memutuskan bahwa Indonesia akan menjadi lokasi uji klinis. Apakah keputusan itu melibatkan konsultasi dengan masyarakat sipil? Apakah ada jaminan bahwa warga Indonesia tidak hanya dijadikan objek penelitian, tetapi juga mendapat akses penuh terhadap hasil riset tersebut, termasuk vaksin murah dan teknologi pendukung? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa publik tidak hanya ingin tahu soal efektivitas klinis, melainkan juga keadilan prosedural dan distribusional.

Situasi ini diperburuk oleh fakta bahwa komunikasi sains di Indonesia masih sangat elitis dan teknokratis. Ketika informasi mengenai vaksin TBC disampaikan, sering kali ia dikemas dalam bahasa statistik dan jargon medis, seolah publik cukup diberi angka efektivitas dan disuruh percaya. Padahal, seperti yang telah dipelajari dalam studi komunikasi sains pasca-pandemi COVID-19, sains tidak cukup hanya dikomunikasikan, ia harus dinegosiasikan secara sosial dan kultural.

Kata “uji coba” dalam konteks Indonesia bukanlah istilah netral. Ia memanggil memori kolektif masyarakat atas program-program kesehatan masa lalu yang penuh paksaan dan minim partisipasi. Dari kampanye Keluarga Berencana (KB) era Orde Baru yang melibatkan militer, hingga program vaksinasi massal yang tidak menjelaskan secara transparan siapa yang mengambil keputusan dan untuk tujuan siapa. Trauma ini masih hidup dalam ingatan generasi yang mengalami langsung atau mendengar kisahnya.

Ketidakpercayaan (distrust) yang berkembang terhadap pengembangan vaksin TBC bukan sekadar akibat minimnya literasi ilmiah, seperti yang sering dituduhkan oleh pakar/tenaga medis. Ini adalah ekspresi dari perasaan tidak dilibatkan dan tidak dianggap sebagai subjek dalam pengambilan keputusan. Publik tidak hanya menuntut “pengetahuan ilmiah”, tetapi “kedaulatan epistemik” yakni hak untuk mengetahui, terlibat, dan mempengaruhi bagaimana ilmu pengetahuan dijalankan dan dimanfaatkan di ruang sosial mereka.

Reaksi keras dari Yanuar Nugroho tidak bisa semata-mata dikategorikan sebagai kekeliruan atau pengabaian terhadap data ilmiah. Sebaliknya, itu adalah bentuk artikulasi kegelisahan yang valid dalam masyarakat yang merasakan keterputusan antara sains dan demokrasi. Ketika seorang intelektual publik yang selama ini dikenal rasional dan berbasis data ikut menyuarakan kritik, maka krisis kepercayaan ini sudah terlalu dalam untuk diselesaikan dengan pendekatan komunikasi satu arah.

Sayangnya, komunikasi sains di Indonesia kerap gagal memahami bahwa sains tidak beroperasi di ruang hampa. Ia beroperasi dalam lanskap sosial-politik yang penuh luka, ketimpangan, dan memori. Dalam konteks ini, konsensus ilmiah global justru bisa dipersepsikan sebagai alat kekuasaan baru, jika tidak dibarengi dengan transparansi, partisipasi, dan keadilan manfaat.

Sebaliknya, apa yang dibutuhkan adalah bukti konvergensi yaitu ketika ilmu pengetahuan, kepentingan kebijakan, dan nilai-nilai komunitas lokal berjalan seiring. Bukan sekadar “berbasis bukti”, tetapi juga “berbasis keadilan”. Konsensus ilmiah harus dilengkapi dengan legitimasi sosial.

Jika Indonesia menjadi lokasi uji klinis karena beban TBC-nya tinggi, maka itu harus dibarengi dengan transparansi penuh: siapa yang menyusun protokol uji klinis? Apakah etika medis lokal dilibatkan? Apakah akan ada transfer pengetahuan bagi peneliti Indonesia? Dan yang terpenting, apakah hasilnya akan benar-benar kembali ke masyarakat dalam bentuk akses vaksin yang terjangkau?

Sains tanpa kepercayaan adalah jalan buntu. Dan kepercayaan tidak dibangun dari jurnal dan angka, tetapi dari partisipasi dan pengakuan. Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, tantangan komunikasi sains bukan lagi sekadar menjelaskan, tetapi mengajak masyarakat menjadi bagian dari prosesnya. Jika kita ingin agar vaksin TBC diterima dan digunakan secara luas, maka kita harus mulai bukan saja dengan data, tapi dengan dialog.

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.