Mengganti “Konsensus” Dengan “Bukti Konvergen”: Apakah Sekedar Perubahan Semantik?

Pada April 2025, Editor-In-Chief jurnal Science, H. Holden Thorp, mengeluarkan seruan tak biasa kepada para ilmuwan: berhentilah menggunakan istilah “konsensus ilmiah.” Dalam editorial bertajuk “Convergence and Consensus”, Thorp berargumen bahwa istilah tersebut telah disalahpahami publik, dan justru memperkeruh kepercayaan terhadap sains. Sebagai gantinya, ia mengusulkan frasa baru: “bukti yang konvergen” (convergent evidence) yaitu sebuah istilah yang lebih merefleksikan bagaimana pengetahuan ilmiah diperoleh. Perubahan istilah ini terdengar sepele, tetapi menyentuh inti persoalan dalam debat tentang otoritas epistemik, ketidakpastian ilmiah, dan kepercayaan publik.

Para pakar kajian Sains, Teknologi dan Masyarakat (Science, Technology and Society/STS) seperti Bruno Latour hingga Sheila Jasanoff telah lama mengkaji bagaimana pengetahuan ilmiah memperoleh otoritas dalam masyarakat. Editorial Thorp menempatkan kita tepat di tengah pusaran debat ini, dan memunculkan sejumlah pertanyaan krusial: Apakah mengganti cara kita berbicara soal kesepakatan ilmiah bisa meningkatkan pemahaman publik? Atau justru menutupi persoalan yang lebih mendalam terkait kekuasaan dan inklusivitas dalam sains? Dan bagaimana istilah ini akan dimaknai secara berbeda di luar konteks Barat, di mana warisan kolonial dan ketimpangan infrastruktur riset menciptakan tantangan tersendiri bagi makna “konsensus ilmiah”?

Dalam esai ini, saya menganalisis editorial “Convergence and Consensus” melalui lensa Sains, Teknologi dan Masyarakat (Science, Technology and Society/STS), serta refleksi dari filsafat sains dan komunikasi sains. Saya mengkaji usulan Thorp untuk mengganti istilah “konsensus ilmiah” dengan “bukti konvergen,” dan mengeksplorasi bagaimana pergeseran retoris ini berpengaruh terhadap cara publik memahami dan mempercayai sains. Selanjutnya, saya memperluas cakupan dengan melihat bagaimana isu ini beresonansi di konteks Global South, di mana kolonialisme epistemik, ketimpangan sumber daya, dan politik pengakuan pengetahuan mempengaruhi bagaimana sains diterima. Terakhir, saya juga menelaah bagaimana era pascapandemi, media digital, dan polarisasi politik memperumit cara sains dikomunikasikan dan dipahami.

Konsensus Ilmiah Dalam Kajian Sains dan Teknologi

Ketika para ilmuwan menyebut adanya “konsensus ilmiah,” maksud mereka adalah menandai adanya kesepakatan yang diperoleh melalui proses panjang dan bukti yang (paling) kuat. Upaya ini adalah sebuah jalan panjang dari perdebatan ilmiah dengan kacamata saintifik berbasis bukti ilmiah. Kita lalu mengenal tingkatan bukti ilmiah mulai dari opini ahli hingga RCT atau kemudian studi analisis meta. Contoh klasiknya adalah pernyataan seperti “97% ilmuwan sepakat bahwa perubahan iklim disebabkan oleh manusia” atau “konsensus ilmiah menyatakan bahwa vaksin tidak menyebabkan autisme.” Klaim semacam ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada publik bahwa mayoritas besar para ahli, setelah menelaah seluruh data dan bukti ilmiah, tiba pada kesimpulan yang sama. Thorp mencatat bahwa para ilmuwan sendiri sudah menganggap jelas bahwa konsensus bukan hasil dari pemungutan suara, atau semacam rapat besar yang menyepakati satu “kebenaran” . Sebaliknya, itu adalah bentuk singkat dari suatu proses berbagai jalur penyelidikan independen yang semuanya menunjukkan hasil serupa .

Thorp mencatat bahwa para ilmuwan sendiri sudah menganggap jelas bahwa konsensus bukan hasil dari pemungutan suara, atau semacam rapat besar yang menyepakati satu “kebenaran” . Sebaliknya, itu adalah bentuk singkat dari suatu proses berbagai jalur penyelidikan independen yang semuanya menunjukkan hasil serupa .

Namun, konsep konsensus dalam sains telah menjadi pedang bermata dua dalam ruang publik. Di satu sisi, penekanan bahwa “97% ahli sepakat” bisa meyakinkan masyarakat bahwa suatu klaim benar—sejumlah studi dalam komunikasi sains menunjukkan bahwa orang cenderung lebih percaya pada suatu temuan sains jika diberitahu bahwa para ilmuwan secara luas sepakat . Ini menjadi motivasi di balik kampanye komunikasi iklim di tahun 2000-an yang menekankan tingginya tingkat kesepakatan ilmuwan tentang pemanasan global yang disebabkan manusia (Lihat Lewandowsky et al. (2013), van der Linden et al. (2015), dan Cook et al. (2013)).

Sejarawan Oreskes (2004) menunjukkan bahwa ada konsensus yang sangat kuat di kalangan ilmuwan iklim, yang perlu disampaikan kepada publik guna melawan “pedagang keraguan” yang didukung industri . Maka, “konsensus ilmiah” menjadi semacam alat komunikasi kunci dalam isu-isu yang telah terpolarisasi, seperti perubahan iklim dan vaksinasi. Harapannya adalah, dengan menyoroti kesepakatan di antara para ahli, publik akan lebih kebal terhadap misinformasi .

Namun di sisi lain, framing “konsensus” memiliki kelemahan besar. Bruno Latour secara pernah mengatakan bahwa fakta dalam sains tidak pernah semata-mata ditemukan, melainkan dibuat melalui proses sosial yang kompleks. Pada 1980-an hingga 1990-an, para pemikir seperti Latour dan Jasanoff mempelajari bagaimana ilmuwan bisa “sepakat” atas suatu hal—bukan hanya karena bukti yang menumpuk, tetapi juga karena adanya proses negosiasi sosial, norma komunitas, dan hierarki institusional.

Jasanoff, misalnya, menjelaskan bahwa yang dianggap sebagai fakta ilmiah lahir dari “ko-produksi” antara struktur sosial dan praktik ilmiah. Dalam proses ini, penentuan “konsensus” tidak jarang melibatkan pengesampingan suara-suara minoritas atau pendekatan yang tidak sesuai dengan metode dominan. Maka, apa yang dipresentasikan sebagai konsensus ilmiah kadang menyembunyikan adanya ketidakpastian, konflik internal, atau eksklusi terhadap pendekatan alternatif.

Jasanoff, misalnya, menjelaskan bahwa yang dianggap sebagai fakta ilmiah lahir dari “ko-produksi” antara struktur sosial dan praktik ilmiah. Dalam proses ini, penentuan “konsensus” tidak jarang melibatkan pengesampingan suara-suara minoritas atau pendekatan yang tidak sesuai dengan metode dominan. Maka, apa yang dipresentasikan sebagai konsensus ilmiah kadang menyembunyikan adanya ketidakpastian, konflik internal, atau eksklusi terhadap pendekatan alternatif.

Pendekatan sosial terhadap konsensus ini bukan berarti menolak validitas sains, tetapi mengingatkan bahwa kepercayaan publik terhadap sains bisa runtuh jika sains dipersepsi sebagai kartel tertutup. Ketika orang mendengar istilah “konsensus ilmiah,” mereka bisa saja membacanya sebagai “para elit sepakat dan tak mau diganggu gugat.” Di titik ini, istilah “konsensus” bisa terdengar seperti bentuk otoritarianisme epistemik. Penentang sains arus utama sering memanfaatkan celah ini, mereka cukup menunjukkan satu atau dua ilmuwan “pembangkang” untuk menggoyang legitimasi konsensus. Ini memunculkan kesan bahwa konsensus itu rapuh, atau bahkan manipulatif.

Ketika orang mendengar istilah “konsensus ilmiah,” mereka bisa saja membacanya sebagai “para elit sepakat dan tak mau diganggu gugat.” Di titik ini, istilah “konsensus” bisa terdengar seperti bentuk otoritarianisme epistemik. Penentang sains arus utama sering memanfaatkan celah ini, mereka cukup menunjukkan satu atau dua ilmuwan “pembangkang” untuk menggoyang legitimasi konsensus. Ini memunculkan kesan bahwa konsensus itu rapuh, atau bahkan manipulatif.

Latour sendiri, dalam esainya yang reflektif Why Has Critique Run out of Steam? From Matters of Fact to Matters of Concern (2004), memperingatkan tentang bahaya dekonstruksi berlebihan terhadap sains. Setelah bertahun-tahun mengkritisi bagaimana fakta ilmiah dibentuk, para ahli STS justru mendapati wacana mereka disalahgunakan oleh penyangkal iklim atau penyebar teori konspirasi. Latour menyadari bahwa kebenaran tidak bisa bertahan sendiri, ia butuh kepercayaan . Dalam masyarakat yang tidak mempercayai lembaga atau pakar, maka bahkan fakta yang benar sekalipun bisa ditolak. Inilah krisis epistemik yang kita hadapi saat ini: kelimpahan bukti tidak menjamin penerimaan, karena otoritas sains tengah diragukan.

Dengan latar belakang inilah muncul editorial Thorp, sebuah upaya untuk menyelamatkan wacana sains dari jebakan istilah yang telah terkooptasi oleh polarisasi. Apakah dengan mengganti “konsensus” menjadi “bukti yang konvergen,” para ilmuwan bisa lebih meyakinkan publik? Dan lebih penting lagi, apakah strategi semantik ini cukup untuk mengatasi akar persoalan kepercayaan terhadap sains?

Latour sendiri, dalam esainya yang reflektif Why Has Critique Run out of Steam? From Matters of Fact to Matters of Concern (2004), memperingatkan tentang bahaya dekonstruksi berlebihan terhadap sains. Setelah bertahun-tahun mengkritisi bagaimana fakta ilmiah dibentuk, para ahli STS justru mendapati wacana mereka disalahgunakan oleh penyangkal iklim atau penyebar teori konspirasi

Dari “Konsensus” ke “Bukti Konvergen”: Kerendahan Hati Epistemik

Usulan Thorp, yang terinspirasi Kathleen Jamieson Direktur Annenberg Public Policy Center, Universitas Pennsylvania, pada dasarnya sederhana: ganti istilah “konsensus ilmiah” dengan deskripsi tentang bukti yang tersedia. Alih-alih berkata “konsensus ilmiah menyatakan X,” para ilmuwan diminta untuk mengatakan “ada bukti yang konvergen menuju X.” Perbedaannya tampak halus, tapi penting. Konsensus menekankan pada aktor—terdengar seperti kesepakatan di antara orang-orang. Bukti konvergen menekankan pada data—mengarahkan perhatian ke kesamaan hasil dari berbagai studi.

PernyataanKonteks
Konsensus“Konsensus ilmiah menyatakan X,”Menekankan pada kesepakatan antar aktor (ahli) ilmiah
Bukti Konvergen“Ada bukti yang konvergen menuju X.” Menekankan pada kesamaan data dan bukti ilmiah dari berbagai studi
Baca lebih lengkap artikel ilmiah Examining the Impact of Expert Voices: Communicating the Scientific Consensus on Genetically-modified Organisms Landrum, A. R., Hallman, W. K., & Jamieson, K. H. (2018)

Jamieson berpendapat bahwa perubahan bahasa ini “menghormati norma kritik dan koreksi dalam sains” dengan secara eksplisit mengundang diskusi tentang bagaimana kita mengetahui sesuatu. Berbeda dengan pernyataan konsensus—yang sering kali terdengar bagi publik awam sebagai “perkara ini sudah selesai”—klaim tentang bukti yang konvergen menyoroti proses dan keberagaman jalur penelitian, bukan otoritas para peneliti. Intinya, ia mengatakan bahwa berbagai studi independen telah sampai pada kesimpulan yang sama, yang mengindikasikan kekokohan temuan itu di luar sekadar pendapat perorangan.

Penting pula untuk dicatat bahwa pendekatan “bukti konvergen” memungkinkan pembicaraan tentang ketidakpastian dan perbedaan pendapat, tanpa serta-merta melemahkan temuan utama. Jamieson membandingkannya dengan gaya “perkara selesai” yang sering melekat pada narasi konsensus . Jika kita katakan bahwa puluhan studi telah konvergen pada suatu kesimpulan, kita juga bisa secara jujur mendiskusikan studi yang menyimpang dan menjelaskan alasannya.

Thorp memberikan contoh yang sangat relevan: klaim palsu bahwa vaksin MMR (campak, gondongan, rubela) menyebabkan autisme. Terdapat jumlah bukti yang sangat besar dari berbagai studi di banyak negara dan kelompok populasi yang membantah klaim ini. Namun demikian, kepercayaan publik terhadap hubungan vaksin-autisme masih ada di sebagian masyarakat. Dalam kasus ini, menyatakan “konsensus ilmiah telah menolak klaim ini” bisa dengan mudah ditampik oleh mereka yang menunjukkan satu atau dua studi ‘penentang’—betapapun lemahnya studi tersebut. Sebaliknya, jika dikatakan bahwa semua bukti dari berbagai metode dan disiplin menunjukkan kesimpulan yang sama, maka pembantahan menjadi lebih sulit. Penyangkal harus mampu menjelaskan seluruh kumpulan data yang ada, bukan hanya mengutip satu studi anomali .

Dalam kasus hubungan vaksin-autisme, menyatakan “konsensus ilmiah telah menolak klaim ini” hal ini bisa dengan mudah ditampik oleh mereka yang menunjukkan satu atau dua studi ‘penentang’—betapapun lemahnya studi tersebut. Sebaliknya, jika dikatakan bahwa "semua bukti dari berbagai metode dan disiplin menunjukkan kesimpulan yang sama", maka pembantahan dan penentangan menjadi lebih sulit. Penyangkal harus mampu menjelaskan seluruh kumpulan data yang ada, bukan hanya mengutip satu studi anomali .

Retorika “bukti konvergen” juga bisa mendorong lebih banyak kerendahan hati epistemik dari ilmuwan dan institusi. Mengatakan “bukti saat ini mengarah ke X” secara implisit mengakui bahwa sains adalah proses yang terus berkembang. Bukti baru dapat, secara prinsip, mengubah arah konvergensi—tetapi bukti tersebut harus cukup kuat untuk menggoyahkan seluruh akumulasi studi sebelumnya. Sebaliknya, mengatakan “konsensus menyatakan X” sering kali (secara tidak sengaja) menyiratkan bahwa isu tersebut telah “final.” Framing “bukti konvergen” menjaga pintu tetap terbuka bagi informasi baru, sambil tetap menekankan kekuatan pengetahuan saat ini. Ini bisa membantu meredam tuduhan bahwa sains bersikap arogan atau tidak terbuka terhadap pertanyaan kritis.

Thorp dengan jelas mengaitkan pendekatan ini dengan upaya membangun kembali kepercayaan publik yaitu “menjelaskan secara hati-hati mana hasil ilmiah dan mana opini pribadi ilmuwan,” serta menyajikan konsensus sebagai hasil dari bukti yang saling mendukung, bukan sebagai keputusan elit pakar, akan membantu menjelaskan mengapa sains yang telah diverifikasi layak menjadi dasar kebijakan publik .

Apakah ini hanya sekadar perubahan semantik?

Bisa jadi tidak. Ada alasan untuk optimis, pergeseran ini bisa mencegah beberapa kesalahpahaman yang umum. Istilah “konsensus ilmiah” sudah terlalu dipolitisasi, sehingga mungkin memang bijak untuk menghindarinya lebih khusus dalam isu-isu yang kontroversial. Fokus pada bukti bisa mengurangi reaksi partisan. Sebuah reaksi dimana seseorang yang tidak percaya pada “establishment ilmiah” mungkin tetap bisa diyakinkan jika diajak melihat jalur bukti yang beragam. Pendekatan ini juga sejalan dengan prinsip komunikasi sains berbasis dialog dan keterbukaan, bukan otoritas sepihak.

Pergeseran dari "konsensus" menjadi "bukti konvergen" bisa mencegah beberapa kesalahpahaman yang umum. Istilah “konsensus ilmiah” sudah terlalu dipolitisasi, sehingga mungkin memang bijak untuk menghindarinya lebih khusus dalam isu-isu yang kontroversial. Fokus pada bukti bisa mengurangi reaksi partisan. Sebuah reaksi dimana seseorang yang tidak percaya pada “establishment ilmiah” mungkin tetap bisa diyakinkan jika diajak melihat jalur bukti yang beragam. Pendekatan ini juga sejalan dengan prinsip komunikasi sains berbasis dialog dan keterbukaan, bukan otoritas sepihak.

Namun demikian, kondisi ini seharusnya membuat kita jangan terlalu berharap pada perubahan istilah semata. Bahwa apa yang tampak sebagai “bukti yang konvergen” tidak selalu independen satu sama lain. Dalam banyak bidang ilmiah, para peneliti menggunakan metode yang sama, memiliki pelatihan yang seragam, dan berbagi bias epistemik serupa. Maka, konvergensi bisa saja muncul karena semua orang melihat dari sudut pandang yang sama bukan karena fenomena objektif yang sama. Tanpa keberagaman paradigma dan pendekatan, “konvergensi” bisa menjadi ilusi dari pemikiran kelompok.

Artinya, meski istilah “bukti konvergen” secara retoris lebih rendah hati dan berbasis data, ia masih harus didukung dengan proses ilmiah yang benar-benar terbuka dan inklusif. Dan agar bisa berdampak di masyarakat, istilah tersebut perlu dijelaskan dan dipopulerkan, dimana saat ini menjadi suatu tantangan tersendiri di tengah gempuran media digital, teori konspirasi, dan politik identitas. Namun bila dijalankan dengan hati-hati, pendekatan ini bisa menjadi awal dari proses rekonstruksi ulang otoritas sains sebagai usaha kolektif yang transparan, terbuka terhadap koreksi, dan berpihak pada kenyataan bukan pada otoritas institusional semata.

Bukti Siapa? Konsensus, Konvergensi, dan Global South

Editorial Thorp juga membuka ruang untuk pertanyaan yang kerap terabaikan: pengetahuan siapa yang dimaksud dengan “konsensus ilmiah”? Secara prinsip, fakta ilmiah bersifat universal. Gravitasi tidak berubah antara New York dan Nairobi; virus tidak membedakan apakah laboratoriumnya berada di Beijing atau Brasilia. Namun dalam praktiknya, produksi pengetahuan ilmiah dan legitimasi atas pengetahuan itu sangat terkonsentrasi di sebagian kecil dunia.

Global North (negara-negara kaya di Amerika Utara, Eropa, dan sebagian Asia Timur) menyumbang porsi terbesar dari riset yang membentuk narasi konsensus ilmiah “global”. Sebaliknya, suara-suara dari Global South sering kali kurang terwakili dalam penentuan agenda riset maupun publikasi bergengsi. Ketimpangan ini bukan hanya soal kebanggaan atau keadilan, tetapi juga memiliki dampak epistemik yang nyata. Kondisi ini berisiko menjadikan konsensus ilmiah sebagai bentuk kolonialisme epistemik, di mana hierarki pengetahuan mencerminkan hierarki kekuasaan global.

Ambil contoh tantangan global seperti perubahan iklim atau pandemi COVID-19, keduanya dikutip oleh Thorp sebagai area dengan konsensus ilmiah kuat. Dalam kenyataannya, riset tentang isu-isu ini “masih didominasi oleh Global North,” sebagaimana dicatat oleh berbagai kajian, yang menyimpulkan bahwa kita “gagal memanfaatkan pengetahuan kolektif global” untuk mengatasi masalah bersama . Ketimpangan riset ini tidak hanya tentang dana, meski pendanaan tentu menjadi faktor penting. Ia juga tentang siapa yang dipandang sah sebagai produsen pengetahuan.

Ketika ilmuwan dari negara-negara Utara mendeklarasikan konsensus atas strategi penanganan pandemi, mereka kerap tidak mempertimbangkan konteks lokal atau tradisi pengetahuan di Selatan. Laporan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) mencatat bahwa struktur pengetahuan global saat ini “membatasi riset ilmiah dalam paradigma sempit dari sejumlah kecil latar budaya dan perspektif,” dan cenderung mengabaikan pentingnya konteks lokal dalam penciptaan pengetahuan.

Sains “Barat” menjadi dominan melalui sejarah kolonialisme, memaksakan metodenya sebagai satu-satunya cara yang sah untuk menghasilkan kebenaran. Akibatnya, terjadi ketidakadilan epistemik yang berlangsung hingga kini, ilmuwan dari Global South kerap tidak memperoleh otoritas yang setara, bahkan dalam isu-isu yang menyangkut langsung wilayah mereka sendiri. 

Dalam konteks ini, konsep keadilan kognitif (cognitive justice) menjadi relevan. Ini adalah gagasan bahwa semua sistem pengetahuan berhak dihormati dan diakui keberadaannya. Shiv Visvanathan (2009) berpendapat bahwa sains modern sering kali menafikan keadilan kognitif dengan menyisihkan pengetahuan lokal atau tradisional. Sains “Barat” menjadi dominan melalui sejarah kolonialisme, memaksakan metodenya sebagai satu-satunya cara yang sah untuk menghasilkan kebenaran. Akibatnya, terjadi ketidakadilan epistemik yang berlangsung hingga kini, ilmuwan dari Global South kerap tidak memperoleh otoritas yang setara, bahkan dalam isu-isu yang menyangkut langsung wilayah mereka sendiri. Misalnya, selama wabah Ebola di Afrika Barat, model epidemiologis dan protokol dari Barat lebih diprioritaskan, seringkali mengabaikan pengetahuan komunitas tentang perilaku lokal dan kepercayaan sosial yang justru penting dalam respons kesehatan masyarakat.

Lalu, apa arti bukti konvergen dalam konteks ini? Secara prinsip, pendekatan konvergensi bukti bisa menjadi lebih inklusif, karena kita bisa bertanya, apakah kita sudah mengumpulkan bukti dari berbagai penjuru dunia dan dari beragam sistem pengetahuan, dan apakah semuanya mengarah pada kesimpulan yang serupa?

Bila benar terjadi konvergensi dari berbagai latar, misalnya data lapangan dari ilmuwan iklim Barat, pengetahuan ekologis komunitas adat, dan studi iklim dari Afrika atau Asia Selatan maka konsensus yang muncul akan jauh lebih kuat secara global. Namun, mencapai tingkat konsiliasi semacam itu tidak mudah. Lapangan produksi pengetahuan global sangat tidak merata. Infrastruktur riset dan sumber daya masih terkonsentrasi di negara-negara kaya. Ilmuwan di negara berkembang sering kali hanya diberi peran sebagai mitra kolaborasi sekunder (misalnya pengumpul data untuk studi yang dipimpin oleh institusi di Utara) ketimbang sebagai pengarah utama agenda riset.

Bahkan ketika bukti penting dihasilkan di Global South, sering kali butuh validasi dari lembaga-lembaga Global North untuk diakui secara internasional. Misalnya, Kuba mengembangkan vaksinnya sendiri untuk COVID-19 dan menawarkannya ke negara-negara Selatan. Ini adalah pencapaian ilmiah yang luar biasa di tengah embargo ekonomi. Namun diskursus global soal vaksin COVID lebih banyak didominasi oleh Pfizer, Moderna, dan AstraZeneca—semuanya berbasis di AS atau Inggris—dan banyak kalangan masih ragu terhadap vaksin Kuba hingga WHO mengevaluasinya. Ini menunjukkan bagaimana proses legitimasi bukti masih sangat dipengaruhi oleh penjaga gerbang di negara-negara Utara.

Kolonialisme epistemik juga terlihat dalam cara ketidakpastian ilmiah diperlakukan antarbudaya. Apa yang dianggap “cukup bukti” untuk bertindak bisa berbeda-beda antar masyarakat. Selama pandemi, beberapa otoritas kesehatan di Afrika menerapkan prinsip kehati-hatian lebih awal (misalnya penggunaan masker atau uji klinis ivermektin), berdasarkan interpretasi lokal atas bukti yang belum lengkap, sementara konsensus internasional memerlukan waktu lebih lama untuk menyatakan panduan resmi. Perbedaan seperti ini bisa dilihat sebagai “mengabaikan konsensus ilmiah” atau sebaliknya, sebagai bentuk adaptasi terhadap konteks lokal di tengah ketidakpastian global. Kuncinya terletak pada siapa yang dianggap memiliki otoritas untuk menyatakan bahwa bukti “cukup” atau belum.

Sehingga, pendekatan bukti konvergen yang benar-benar global menuntut agar ilmuwan dan pemegang pengetahuan di Global South diberi tempat yang setara. Ia juga menuntut agar institusi global menghargai berbagai bentuk data, bukan hanya RCT (randomized controlled trials) dan model matematika, tetapi juga pengamatan lapangan, pengetahuan komunitas, dan temuan ilmu sosial tentang implementasi kebijakan. Jika ini gagal dilakukan, maka pernyataan konsensus sains global akan terus dipandang dengan kecurigaan oleh mereka yang merasa diabaikan dari proses pembentukannya.

Menuju Sains yang Inklusif dan Layak Dipercaya

Konsensus ilmiah dan bukti konvergen bukan hanya soal pilihan kata, melainkan refleksi atas kondisi epistemik masa kini, di mana otoritas sains dipertanyakan, dan kebenaran kian dipolitisasi. Pergesaran istilah dari konsensus ilmiah menuju istilah baru seperti bukti konvergen pada dasarnya adalah ajakan untuk meninjau kembali bagaimana sains menyatakan otoritasnya. Dalam perspektif STS, ini selaras dengan desakan lama agar sains lebih transparan dan terbuka terhadap pluralitas pengetahuan. Sebagaimana ditegaskan Harding (1991) dan para epistemolog feminis, objektivitas sejati hanya mungkin bila kita mengakui dan mengintegrasikan keragaman sudut pandang. Senyawa dengan itu, “bukti konvergen” adalah bentuk objektivitas kuat untuk mengajak kita melihat bagaimana berbagai jalur, dari berbagai titik keberangkatan, dapat bertemu pada satu pemahaman yang koheren.

Namun kita juga telah melihat bahwa siapa yang dihitung sebagai “penyumbang bukti” sangat menentukan legitimasi klaim tersebut. Konsensus yang dibangun secara global hanya akan kredibel bila ia benar-benar inklusif, baik secara geografis, sosial, dan epistemik. Masa depan otoritas ilmiah tidak lagi bergantung pada suara mayoritas di jurnal terkemuka (bereputasi), tetapi pada proses deliberatif yang terbuka dan kolaboratif. Dalam dunia yang kian terfragmentasi oleh krisis iklim, konflik geopolitik, dan disinformasi, kebutuhan akan pengetahuan yang bisa diandalkan semakin mendesak. Sains bukanlah jawaban mutlak, tetapi satu-satunya sistem pengetahuan yang dirancang untuk mengoreksi dirinya sendiri. Dan mungkin, dalam perjalanan panjang menghadapi krisis bersama, satu-satunya konsensus yang layak dicari adalah bahwa kita semua berhak dan wajib memahami bagaimana kebenaran diuji, bukan hanya dipercaya.


Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.