Universitas, Kuasa, dan Buruh Akademik: Menentang Ketimpangan dalam Kapitalisme Kampus

Setiap awal tahun ajaran, kampus-kampus di Indonesia ramai mempublikasikan capaian akademik, peringkat internasional, serta kerja sama global yang prestisius. Namun, di balik narasi kemajuan tersebut, tersembunyi realitas tenaga kerja yang rentan persoalan pengupahan layak dosen, status dosen tidak tetap, staf kontrak, dan tenaga teknis yang menopang infrastruktur intelektual universitas. Keberadaan mereka tidak sekadar menjadi konsekuensi kebijakan internal kampus, tetapi juga hasil dari struktur kebijakan dan penganggaran pendidikan tinggi yang timpang, ketergantungan pada proyek luar, serta lemahnya perlindungan terhadap hak-hak pekerja akademik dalam kebebasan akademik. Mereka adalah buruh kampus, pilar tersembunyi dari sistem pendidikan tinggi yang kian dikooptasi oleh logika pasar dan birokrasi performatif.

Fenomena ini bukan kebetulan.

Sejak dekade 1990-an, banyak universitas di dunia mulai bergerak mengikuti logika neoliberal. Logika ini dibentuk oleh narasi efisiensi, kompetisi, fleksibilitas. Maka dalam kajian kapitalisme akademik, disebutkan bahwa unversitas tidak lagi berfungsi sebagai lembaga pencerdasan publik, melainkan mulai beroperasi layaknya perusahaan komersial (Slaughter & Rhoades, 2004). Hal ini tampak dalam sistem kontrak kerja, budaya kejar target akreditasi, dan tekanan untuk publikasi ilmiah yang terindeks (Welch, 2011; Rakhmani, 2024).

Sehingga hingga saat ini masih banyak ditemuai, sebuah kenyataan pahitnya tentang cerita dosen tidak tetap digaji di bawah upah minimum, tanpa jaminan kesehatan dan tanpa pengakuan struktural. Beban kerja mereka sering kali setara dengan dosen tetap, namun status mereka kerap tak diakui dalam pengambilan keputusan di tingkat fakultas maupun universitas. Ini bukan sekadar persoalan administratif; ini adalah bentuk ketimpangan struktural yang harus dibongkar (Connell, 2019).

Serikat Pekerja Kampus (SPK) memberikan pandangan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) DPR RI bidang pendidikan tinggi, riset dan teknologi.

Lebih dari itu, tekanan untuk publikasi di jurnal bereputasi internasional sering kali meminggirkan kerja-kerja intelektual yang berdampak langsung pada masyarakat. Dosen yang mengajar di daerah terpencil, membuat modul lokal, atau membina komunitas tidak mendapat poin dalam sistem penilaian akademik nasional seperti SINTA. Dalam logika kapitalisme kampus, hanya yang bisa diukur yang dianggap bernilai. Yang tidak bisa dikuantifikasi? Tidak dianggap ada (Altbach, 2004; Rakhmani & Sakhiyya, 2024).

Seperti yang dicatat oleh Rakhmani dan Sakhiyya (2024), “kebijakan dan mekanisme pendanaan mendikte nilai dan arah pengetahuan yang harus diproduksi,” dan ini pada gilirannya memperkuat ketimpangan struktural di antara pekerja akademik.

Ironisnya, mahasiswa sebagai aktor utama pendidikan pun tak luput dari efek logika pasar ini. Kenaikan UKT, biaya praktik, hingga komersialisasi sertifikasi membuat pendidikan tinggi makin menjauh dari prinsip keadilan sosial (Boni & Walker, 2016). Mahasiswa berubah dari warga kampus menjadi konsumen. Relasi antara pengajar dan pembelajar pun berubah menjadi transaksional, di mana nilai-nilai edukatif digantikan oleh kepuasan layanan dan efisiensi administratif.

Namun, di tengah situasi ini, muncul pula bentuk-bentuk tindakan kritis. Di beberapa kampus, beberapa dosen mulai bergerak membentuk serikat pekerja kampus. Di Universitas Gadjah Mada (UGM) misalnya terbentuk Serikat Pekerja Universitas Gadjah Mada atau Sejagad. Serikat pekerja kampus ini muncul setelah 17 Agustus 2023 terbentuk Serikat Pekerja Kampus (SPK) sebagai muara dari solidaritas pekerja kampus di Indonesia.

Kondisi yang dinamis hingga kini terus terjadi di ruang lingkup pendidikan tinggi di Indonesia. Situasi itu beresonansi dengan apa yang sedang terjadi di luar negeri–Eropa dan Amerika Serikat–dimana ancaman terhadap kebebasan akademik dan sektor pekerjaan pendidikan tinggi kian memprihatinkan. Serikat pekerja di universitas di seperti CUSU, GEW dan NTEU adalah beberapa contoh penggalangan solidaritas pekerja di sektor pendidikan tinggi. Juga, budaya kritis masih menjumpai mahasiswa dengan ikut turut mengangkat isu kesejahteraan dosen dalam aksi-aksi solidaritas bersama, ini dapat dilihat dari aksi-aksi Serikat Pekerja Kampus FISIPOL yang tak jarang ikut dibersamai oleh Mahasiswa. Memang gerakan kecil ini belum meluas, namun contoh ini menandakan bahwa universitas belum sepenuhnya mati sebagai ruang politik. Masih ada napas kritis yang menolak tunduk sepenuhnya pada logika kapital (Mollis & Marginson, 2002). Seperti dikemukakan oleh Rakhmani (2022) menyoroti kondisi di Indonesia, ia menulis bahwa intelektual publik di Indonesia perlu melawan bukan hanya ketimpangan ekonomi, tetapi juga ketimpangan simbolik dan epistemik yang diperkuat oleh institusi pendidikan tinggi neoliberal.

Apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, mengakui bahwa dosen adalah buruh. Buruh Dosen adalah bagian esensial dari dunia akademik dan memastikan keterlibatan mereka dalam pengambilan kebijakan kampus.

Kedua, mendesak regulasi kerja yang adil dan transparan bagi seluruh tenaga pendidik dan kependidikan, termasuk jaminan sosial dan kontrak yang layak. Upaya ini tidak dapat dilakukan tanpa upaya pengorganisasian melalui solidaritas pekerja kampus. Hubungan hierarkial dan “power play” birokrasi harus dianggap sebagai tali kekang yang harus diupayakan untuk dihindari bahkan secara struktural harus dihilangkan dengan cara-cara demokratis dan dengan jalan pedang intelektualisme. Di titik ini mustahil bila organisasi yang dibentuk tidak mempunyai kesadaran kelas.

Ketiga, mendorong penilaian akademik yang lebih manusiawi, yang menghargai kontribusi sosial, kerja kolaboratif, dan pengabdian masyarakat, bukan hanya angka dan peringkat (Marginson, 2011). Upaya ini sebenarnya bukan hal baru hal ini sering dibahas, semisal tulisan opini ilmiah Efek kobra, dosen Indonesia terobsesi pada indeks Scopus dan praktik tercela menuju universitas kelas dunia (Zein, 2018) atau Kejar indeksasi demi gengsi: Salah kaprah penilaian kualitas riset dan evaluasi kinerja penelitian (Ridlo, 2025). Penilaian kinerja akademik punya dampak besar pada bagaimana Buruh Dosen dapat tumpuh untuk mendorong komunitas epistemik yang lebih kritis.

Lagi dan lagi, Universitas bukanlah pabrik ijazah. Ia seharusnya menjadi ruang bersama untuk berpikir, tumbuh, dan membangun sebuah kondisi masyarakat yang adil. Kita butuh lebih dari sekadar reformasi administratif, lebih dari itu butuh perubahan struktural. Kita butuh revolusi etis dan ruang demokratis untuk sebuah pembaruan menyeluruh dalam cara kita memandang, mengelola, dan memperjuangkan kampus sebagai institusi publik yang yang punya keberpihakan pada isu-isu sosial kerakyatan. Tanpa itu, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa akan terus menjadi jargon kosong di atas fondasi ketidakadilan.

Daftar Referensi

  • Slaughter, S., & Rhoades, L. (2004). Academic Capitalism and the New Economy. Johns Hopkins University Press.
  • Welch, A. (2011). Higher Education in Southeast Asia: Blurring Borders, Changing Balance. Routledge.
  • Connell, R. (2019). The Good University: What Universities Actually Do and Why It’s Time for Radical Change. Zed Books.
  • Altbach, P. G. (2004). The Costs and Benefits of World-Class Universities. International Higher Education, (36).
  • Boni, A., & Walker, M. (Eds.). (2016). Universities and Global Human Development: Theoretical and Empirical Insights. Routledge.
  • Mollis, M., & Marginson, S. (2002). The Assessment of Universities in Argentina and Australia: Between Academic Capitalism and Social Criticism. Higher Education, 43(3), 311–330.
  • Marginson, S. (2011). Higher Education and Public Good. Higher Education Quarterly, 65(4), 411–433.
  • Rakhmani, I. (2024). “Merdeka Belajar”: A Cultural Political Economy of Indonesia’s Neoliberalising Nationalist University. Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 29(1).
  • Rakhmani, I., & Sakhiyya, Z. (2024). The Cultural Political Economy of Knowledge in Neo-Liberal Indonesia. Journal of Contemporary Asia.
  • Rakhmani, I. (2022). Intelektual Publik dan Ketimpangan Sosial di Indonesia yang Neoliberal. Prisma.

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.