Dari Cekungan Bandung: Siklus Hidrologi, Rawa, dan Sains Terbuka

Bandung – April 2025.

“Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.” Kutipan dari Pidi Baiq ini menggarisbawahi relasi emosional yang mendalam antara manusia dan lanskap tempat tinggalnya. Sebuah relasi yang semakin terancam di tengah transformasi ekologis yang cepat.

Bandung, yang dahulu merupakan dataran banjir subur dan zona resapan utama, telah mengalami perubahan struktural yang dramatis. Kini, ia menjelma menjadi lanskap urban padat—dipenuhi konstruksi beton, jaringan jalan, dan kawasan permukiman serta industri yang luas. Transisi ini menandai pemisahan antara kota dan sistem ekologis alami yang sebelumnya menopangnya. Cekungan Bandung tidak lagi hanya entitas geografis, tetapi telah menjadi medan kontestasi antara kebutuhan pembangunan dan keberlanjutan ekologis.

Secara geologis, Cekungan Bandung terbentuk melalui aktivitas tektonik dan vulkanik, menciptakan sebuah depresi besar yang dikelilingi oleh pegunungan. Endapan aluvial dari periode Kuarter menjadikan wilayah ini subur dan kaya air bawah tanah. Lapisan sedimen dan aluvium yang bersifat porous menciptakan dua sistem akuifer utama: dangkal dan dalam—keduanya memainkan peran penting dalam siklus hidrologi lokal.

Namun, beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa urbanisasi masif, alih fungsi lahan, dan ekstraksi sumber daya yang tidak terkendali telah mengganggu keseimbangan ini. Krisis air tanah di Bandung mencerminkan transformasi relasional yang lebih dalam antara kota dan substruktur ekologisnya—sebuah potret krisis planetary health yang khas di wilayah urban di Global Selatan.

Kesehatan Planet Dimulai dari Substrat Geologis

Isu kesehatan planet sering dipahami melalui lensa perubahan iklim dan pembangunan global, namun dalam konteks Bandung, wujud paling nyata dari tantangan ini adalah degradasi sistem air bawah tanah yang menopang iklim mikro. Kota ini memiliki lebih dari 8.000 sumur, mayoritas mengeksploitasi akuifer dangkal tak tertekan yang diisi ulang oleh air meteoritik. Studi oleh tim hidrogeologi ITB yang menganalisis 196 titik bor melalui model numerik stokastik memperlihatkan penurunan signifikan konduktivitas hidraulik (K) akibat tekanan ekstraktif dan perubahan lahan.

Sebagai akibatnya, kota ini bergantung pada akuifer dalam, yang sayangnya mengandung total zat terlarut (TDS) dan sedimen geologis dalam konsentrasi tinggi, membuatnya tidak layak sebagai sumber jangka panjang. Dengan kata lain, Bandung menghadapi bukan hanya krisis air, tetapi juga disintegrasi logika ekologis yang dulu menopang kelangsungan hidup cekungan.

Rawa: Infrastruktur Hidup yang Terpinggirkan

Rawa dan lahan basah, seperti akuifer, adalah komponen esensial dalam sistem penyangga ekologis. Mereka menyaring air, menyerap karbon, mengatur iklim lokal, dan menahan banjir. Namun, di Bandung, fungsi vital ini semakin terabaikan. Antara tahun 2000 hingga 2020, studi berbasis citra satelit dan algoritma Random Forest dalam Google Earth Engine menunjukkan bahwa tutupan lahan basah menyusut hampir 70%, tergantikan oleh infrastruktur permukiman dan industri. Penelitian Sukristiyanti dan rekan-rekannya tahun 2022 menunjukkan akurasi klasifikasi lahan mencapai 94% yang mencerminkan validitas dan urgensi temuan tersebut.

Tanpa lahan basah, kapasitas infiltrasi menurun, limpasan meningkat, dan kejadian banjir menjadi lebih sering. Tak hanya itu, peran rawa sebagai pengatur mikroklimat dan penyerap karbon juga lenyap. Seiring waktu, permukaan tanah pun mengalami amblesan signifikan. Studi oleh Abidin dan timnya (2009), yang menggunakan teknik GPS dan InSAR, mencatat bahwa penurunan muka tanah berkorelasi kuat dengan pengambilan air tanah yang tidak terkendali oleh sektor industri, menyebabkan kerusakan infrastruktur dan perluasan zona genangan. Gabungan antara kehilangan rawa dan amblesan tanah memunculkan konsekuensi ekologis yang kompleks. Krisis ini menunjukkan urgensi untuk mengintegrasikan data primer dalam kebijakan tata ruang dan perlindungan sumber daya air.

Gambar sistem hidrogeologi di Indonesia (Dasapta Erwin CC-0)

Sains Terbuka di Tengah Tertutupnya Kebijakan

Kendati bukti ilmiah telah tersedia luas, ia sering tidak memengaruhi kebijakan secara substansial. Banyak data hidrologi dan geologi yang tidak tersedia secara publik, usang, atau tersebar di berbagai lembaga. Mengatasi ini, komunitas ilmiah di Bandung mengembangkan pendekatan open science, mengedepankan transparansi dan kolaborasi melalui alat terbuka dan partisipasi warga.

Platform edukasi “Geologi Cekungan Bandung” dan MOOC tentang geologi lokal menjadi alat transformasi pengetahuan. Keduanya memadukan narasi komunitas dengan pemetaan spasial berbasis GIS untuk membangun literasi publik. Harapan dari inisiatif ini sangat jelas:

“Kami ingin setiap pemangku kepentingan, terutama yang memiliki kapasitas pengambilan keputusan, memahami pentingnya pengumpulan data primer yang representatif meski dengan sumber daya terbatas.” tambah Dasapta.

Upaya ini menekankan bahwa data primer bukan hanya instrumen teknis, melainkan landasan etis dan politik dalam kebijakan berbasis bukti.

Kebijakan yang Tidak Buta Data

Kementerian dan lembaga teknis telah memiliki kerangka program untuk perlindungan lingkungan. Namun, implementasinya kerap terhambat oleh prioritas ekonomi dan keterbatasan anggaran pengumpulan data.

“Sebenarnya bukan diabaikan, hanya tertutupi oleh kepentingan lain yang dianggap lebih mendesak, terutama ekonomi dan pengalokasian anggaran.” ujar Dasapta yang juga aktivis sains terbuka di Indonesia.

Lebih jauh, pendekatan konsultansi sering kali hanya mengandalkan data sekunder berskala makro, tanpa melakukan pengambilan data primer yang memadai. Seringkali konsultan memotong jalan dengan hanya menggunakan data sekunder, bahkan tanpa melakukan pengambilan data langsung di lapangan. Paralel dengan ini, ada kecenderungan kebijakan lingkungan tidak menangkap krisis mikro seperti degradasi rawa atau tekanan terhadap akuifer dangkal karena bergantung pada data makro yang menyesatkan.

Dari Cekungan Bandung Menuju Keadilan Ekologis

Berkaca dari kompleksitas ini, ke depan reformasi tata kelola air dan ekologi di daerah harus dimulai dari pendekatan sistemik yang berbasis komunitas. Pemerintah daerah perlu menjadikan data primer sebagai syarat dalam perencanaan tata ruang, dan secara aktif melibatkan komunitas ilmiah, warga, serta sektor swasta. Penguatan regulasi terhadap zona lindung air tanah serta pemulihan fungsi rawa sebagai infrastruktur hijau perlu menjadi agenda prioritas.

Investasi dalam literasi sains melalui platform edukasi terbuka dan keterlibatan warga dalam pemantauan sumber daya air merupakan bagian integral dari solusi. Cekungan Bandung dapat menjadi model studi bagi kota-kota lain dalam membangun ketahanan iklim mikro secara partisipatif. Krisis ini seharusnya menjadi momentum refleksi kolektif bahwa keadilan iklim dan pemulihan ekologi tidak bisa lagi ditunda, dan harus dimulai dari pengakuan atas lanskap yang menopang kehidupan kita bersama.

Tindakan konkret, mulai dari pemantauan komunitas hingga reformasi regulasi tata guna lahan harus menjadi norma baru dalam pembangunan kota yang adil dan berkelanjutan.

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.