Sepanjang proses tahapan Pemilu 2024, telah terjadi sejumlah pelanggaran etika. Namun, dua diantaranya dapat dikatakan paling ganjil dan besar dampaknya, yaitu pelanggaran etika yang melibatkan hakim-hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) dan para komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kesamaannya, kedua kasus ini berkaitan dengan proses penetapan calon wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka. Pelanggaran etika di MK berdampak pada dipecatnya Anwar Usman dari posisi ketua MK, sedangkan komisioner KPU “hanya” mendapatkan peringatan keras “terakhir” kedua kalinya.
Kedua sanksi ini dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Logikanya, apabila proses pencalonan Gibran bermasalah, maka seharusnya pencalonan ini batal demi hukum. Tetapi, argumen ini disandingkan dengan kenyataan bahwa tidak ada hukum atau aturan yang secara langsung dilanggar oleh Gibran, yang dapat berdampak pada pencalonannya.
Melihat kondisi ini, sebagian orang percaya bahwa pelanggaran etika harusnya dianggap sebagai pelanggaran berat karena etika, sebagai salah satu sumber hukum, seharusnya diletakkan di atas hukum. Tetapi, sebagian tidak sependapat. Etika memang mengandung preskripsi bagaimana sepantasnya orang berperilaku, tetapi prinsip moralitas yang melandasi etika sifatnya sangat subjektif sehingga bisa diterjemahkan berbeda sesuai “selera pribadi” setiap orang. Bagi orang yang meyakini relativitas moral, tidak ada satupun prinsip moral yang mungkin disetujui secara universal.
Dalam tulisan ini, saya akan membongkar asumsi relativitas moral dengan merangkum hasil penelitian di bidang Psikologi Sosial-Moral selama kurang lebih tiga dekade. Kesimpulan dari riset-riset ini adalah; pertama, prinsip moral yang universal itu senyatanya ada. Kedua, prinsip moral yang universal ini berguna untuk menjaga agar anggota masyarakat dapat saling bekerjasama satu sama lain. Tetapi, argumen terakhir saya: dalam konteks politik praktis, untuk menjadi pemenang dan pemimpin yang berhasil, Anda harus siap untuk berkompromi dengan standar moral yang Anda yakini benar.
Moralitas dari Kacamata Psikologi Moral
Peneliti Psikologi Moral merangkum moralitas dalam dua pertanyaan; apa fungsi moralitas dan apa kaitannya moralitas dengan kehidupan kita sehari-hari?
Pertama, ditinjau dari perspektif evolusi, moralitas punya peran dalam mengatur interaksi antar-individu dalam kelompok sosial. Manusia pada dasarnya saling membutuhkan agar dapat bertahan hidup, tetapi kenyataannya, manusia adalah makhluk yang mementingkan kesejahteraan dirinya sendiri.
Untuk menyelesaikan paradoks ini, moralitas berfungsi untuk menggerakkan anggota masyarakat agar mau mendahulukan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadinya. Oleh karena itu, moralitas memandu kita untuk saling tolong-menolong, berbagi sumberdaya, menyelesaikan konflik, dan bersepakat untuk mengambil keputusan yang menguntungkan sebanyak mungkin anggota masyarakat.
Hal ini, menariknya, tidak khas terjadi pada manusia, tetapi ditemukan juga di spesies lain, misalnya kera dan simpanse. Oleh karena itu, moralitas dapat dipandang sebagai kemampuan dan dorongan untuk bekerjasama dengan lain, yang sebagian muncul secara natural dari proses evolusi, dan sebagian lagi berakar dari proses interaksi antar-manusia yang terjadi dalam suatu konteks sosial dan budaya tertentu. Ketika tatanan sosial kian kompleks — berbagai kelompok sosial saling berkompetisi untuk memperebutkan sumberdaya, moralitas membantu suatu kelompok untuk berkonsolidasi agar memenangkan kompetisi dengan kelompok sosial yang lain.
Selanjutnya, Psikologi Moral berangkat dari asumsi bahwa penilaian manusia tentang apakah sesuatu itu baik atau buruk tidak selalu muncul dari proses penalaran yang rasional. Hal ini sangat berbeda dengan teori-teori Filsafat Moral yang mengandaikan moralitas sebagai hasil refleksi yang mendalam.
Hasil riset menyatakan bahwa penalaran moral berjalan melalui dua rute — selain bisa muncul melalui proses reflektif yang deliberatif, ia bisa juga muncul sebagai sesuatu yang spontan dan intuitif. Bahkan, alasan baik tidaknya suatu perilaku bisa dibuatkan setelah penilaian (baik/buruknya suatu perilaku) selesai diputuskan, sekadar untuk membenarkan perilaku/penilaian tersebut. Dengan asumsi ini, moralitas bukan hanya “eksperimen pikiran” para filsuf, melainkan maujud dalam pengalaman sehari-hari orang kebanyakan.
Adakah Prinsip Moral yang Universal?
Cara terbaik untuk menjawab pertanyaan di atas adalah dengan menempatkan manusia dalam dilema moral kemudian mencatat bagaimana ia merespon dilema tersebut. Dua riset penting dalam Psikologi Moral yang dilakukan oleh Lawrence Kohlberg dan Joshua Greene sama-sama menggunakan dilema moral sebagai sarana. Kohlberg menyodorkan dilema Heinz dengan bertanya kepada partisipan risetnya; apakah tindakan Heinz mencuri obat-obatan yang tak mampu ia beli, untuk mengobati istrinya yang sedang sakit keras, dapat diterima secara moral?
Sedangkan Greene dan timnya menggunakan dilema kereta; apakah tindakan mengorbankan satu orang, untuk menghentikan laju sebuah kereta yang akan menabrak dan membunuh sepuluh orang, dapat diterima secara moral? Greene punya beberapa alternatif skenario. Sebagian partisipannya diberi opsi mendorong langsung orang yang akan dikorbankan dari jembatan ke rel di bawahnya, sebagian lagi diberi opsi menarik tuas yang akan mengubah arah kereta menuju satu orang yang dikorbankan, supaya tidak menabrak sepuluh orang.
Riset Kohlberg menunjukkan bahwa orang akan cenderung membenarkan pencurian yang dilakukan Heinz apabila mereka meyakini bahwa Heinz dan istrinya adalah korban ketidakadilan. Berdasarkan temuannya ini, Kohlberg menyimpulkan bahwa rasa keadilan adalah prinsip tunggal yang universal dari moralitas.
Sedangkan riset Greene menunjukkan bahwa kebanyakan orang akan membenarkan tindakan membunuh satu orang untuk menyelamatkan sepuluh orang, asalkan ia sendiri tidak terlibat secara langsung membunuh orang yang dikorbankan itu (i.e., mendorong langsung dari atas jembatan).
Dengan kata lain, orang bersedia mengambil keputusan moral yang utilitarian (i.e., tindakan buruk menjadi baik kalau tujuannya baik) ketimbang deontologis (i.e., tindakan buruk tetaplah buruk meskipun tujuannya baik) hanya kalau ia tidak terlibat menyakiti orang lain secara langsung. Pola perilaku ini ternyata universal dan berhasil dicoba-ulang di riset lintas-budaya yang lain.
Dua riset ini menekankan bahwa esensi moralitas diatur oleh satu prinsip (Kolhberg — menjamin keadilan, Greene — menghindari bahaya), dan manusia menggunakan prinsip moral ini sebagai panduan berperilaku secara fleksibel, tergantung situasi yang dihadapi.
Tetapi, Jonathan Haidt menolak asas tunggal moralitas ini. Menurutnya, moralitas diregulasi oleh enam prinsip, yang dibagi dalam dua domain; etika otonomi (menghindari bahaya, keadilan, dan kebebasan) dan etika komunitas dan Ilahiah (kesucian, otoritas, dan loyalitas). Kekurangannya, Haidt mencampuradukkan kebiasaan (convention) dengan moralitas. Misalnya, makan ulat sagu yang (dianggap) menjijikan, menurut Haidt, melanggar prinsip kesucian, padahal ini hanya masalah kebiasaan.
Sayangnya, riset-riset Kohlberg, Greene, dan Haidt tidak cukup meyakinkan untuk menjawab ada atau tidaknya prinsip moralitas universal. Apabila moralitas yang universal itu benar-benar ada, maka jejak peradaban manusia akan menunjukkan bahwa prinsip moral yang sama digunakan untuk mengatur tatanan masyarakat di budaya yang berbeda.
Oliver Curry dan timnya menyusuri rekaman etnografik dari 60 budaya, yang tersebar di enam benua, dalam periode sekurang-kurangnya tiga abad. Penelitian ini memberikan bukti yang kuat bahwa manusia di berbagai budaya menggunakan enam prinsip moralitas yang sama (i.e., family, group, reciprocity, bravery, respect, fairness, dan property) untuk menggalang kerjasama antar-individu sekaligus menghalangi munculnya perilaku egoistik yang antisosial.
Jadi, prinsip moralitas yang universal itu ada, tidak hanya satu, dan gunanya menggalang kerjasama antar-individu. Prinsip moralitas ini, meskipun universal, bisa fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan tujuan tertentu.
Etika dalam Politik Elektoral
Apabila Anda seorang politisi yang punya aspirasi menjadi pemimpin yang berhasil, maka Anda harus siap berkompromi dengan standar moral yang Anda yakini benar. Tetapi, untuk menjaga keteraturan sosial dalam suatu masyarakat, maka pemimpinnya perlu memastikan bahwa semua orang tunduk pada aturan main (e.g., prinsip moral, etika, dan sistem hukum) yang sama. Dua pernyataan ini nampaknya bertentangan, tetapi ironisnya sama-sama benar.
Di Pemilu 2024, kita menyaksikan adagium “lebih baik menang bermasalah, daripada kalah terhormat” menemui momentumnya. Saat ini, pasangan calon yang menggunakan segala cara, justru memenangkan kompetisi. Apakah betul untuk menang dalam kompetisi seseorang harus siap melakukan apa saja?
Machiavelli mencontohkan kepemimpinan Marcus Camillus untuk mengilustrasikan pentingnya memegang prinsip “the end justifies the means” agar berhasil memimpin. Camillus berorasi di depan pasukannya, meyakinkan mereka kalau meluapnya air danau Albanus merupakan isyarat dari Dewa Apollo bahwa mereka akan memenangkan pertempuran. Cerita ini memberikan pasukannya harapan luar biasa karena mereka benar-benar mempercayai akan memenangkan peperangan, meskipun Camillus sendiri tidak pernah benar-benar mempercayai ucapannya sendiri. Camillus, lanjut Machiavelli, menggunakan doktrin agama sebagai perangkat untuk melindungi kota Roma dari serangan musuh, padahal ia sendiri bukan seseorang yang religius.
Selama tujuan yang ingin dicapai mendatangkan kemaslahatan untuk banyak orang, pemimpin yang berhasil harus siap melakukan apa saja, termasuk tindakan yang paling kotor sekalipun.
Seorang pemimpin sejati, menurut Machiavelli, tidak seperti orang kebanyakan. Ia akan bersedia melempar seseorang dari atas jembatan — dengan tangannya sendiri — apabila tindakan itu perlu agar menyelamatkan sepuluh orang lainnya.
Dalam konteks pelanggaran etika yang dijelaskan di awal tulisan, baik esensi tindakan maupun tujuannya sama-sama egoistik. Menang dengan cara curang, apalagi dengan niat melanggengkan kekuasaan adalah sesuatu yang keliru total, bahkan dari kacamata seorang Machiavellian.
Dengan menghalalkan segala cara, kekuasaan memang mudah diraih, tetapi juga mudah diruntuhkan. Pemimpin seperti ini sadar bahwa siapapun bisa mencurangi dan mengkhianatinya setiap saat dan curiga semua orang punya niatan menghancurkan kekuasaannya. Pikiran ini biasanya bermuara pada “ilusi kebesaran,” yaitu ketika si pemimpin merasa bahwa keselamatan rakyatnya ada di tangan dirinya seorang.
Bayangkan seseorang sangat berkuasa, tetapi hidup dengan ketakutan dan kekhawatiran kalau-kalau besok ada orang yang akan ganti mencurangi dirinya. Ia akan memutuskan segala sesuatunya dengan ceroboh dan tidak rasional.
Alih-alih dijungkal orang lain, pemimpin seperti ini mungkin akan runtuh kekuasaannya karena keputusan-keputusan salah yang ia ambil sendiri.
Seorang Machiavellian sejati tidak akan menanggung beban seperti ini. Ia tahu keputusannya tepat, meskipun harus bernegosiasi dengan standar moralnya sendiri karena ia yakin kepentingan publik harus selalu diutamakan.
Perlu diingat bahwa pemimpin yang Machiavellian bukan seseorang yang heroik dan altruis, yaitu seseorang yang bersedia mengorbankan dirinya untuk orang banyak. Tetapi, ia mampu mengenali motif atas tindakannya sehingga cakap mengelola ambisi pribadinya dan kepentingan umum yang lebih besar.
