Dominasi Sitasi Metodologis: Apakah Pengetahuan Kian Prosedural Bukan Dialektis?

Pada abad ke-21, ketika publik awam menyaksikan lompatan sains dalam bentuk vaksin mRNA, teleskop James Webb, dan kecerdasan buatan generatif, dunia akademik mencatat “pemenang” yang lain. Sebuah analisis oleh jurnal Nature (April 2025) menunjukkan bahwa artikel-artikel ilmiah yang paling banyak disitasi sejak tahun 2000 bukanlah laporan penemuan revolusioner, melainkan tulisan-tulisan metodologis tentang perangkat lunak, algoritma statistik, atau protokol eksperimen.

Fenomena ini menyoroti sebuah ironi yang mendalam, tentang ekosistem ilmiah yang sering dipuji karena penemuan (invention) dan ide-ide transformatifnya, namun alat dan metode yang cenderung paling banyak mendapat pengakuan.

Hal ini mendorong pertanyaa kritis: Apakah sistem berbasis kutipan untuk menilai karya ilmiah benar-benar mencerminkan nilai pengetahuan? Atau apakah sistem ini memperkuat kecenderungan utilitarian yang berisiko mengabaikan pentingnya substansi intelektual?

Metode Menang, Tapi Apa yang Kalah?

Artikel paling disitasi di abad ini adalah makalah Microsoft tahun 2016 tentang “Deep residual learning for image recognition“(ResNet). Dengan puluhan ribu sitasi, artikel ini menjadi tulang punggung bagi perkembangan AI modern. Namun, jika kita amati lebih dalam, ResNet bukanlah teori baru tentang kecerdasan, melainkan perbaikan teknik pelatihan jaringan neural agar lebih stabil dan dalam.

Bersama ResNet, artikel seperti “Using thematic analysis in psychology” (Braun & Clarke, 2006), metode PCR kuantitatif (Schmittgen, 2001), dan statistik I² dalam meta-analisis juga menempati daftar teratas. Pola ini jelas: apa yang disitasi adalah sesuatu yang digunakan, bukan yang dipikirkan kembali.

Artikel tutorial menjadi “infrastruktur epistemik” yang dibutuhkan untuk menjembatani pengetahuan metodologis dari pakar ke pemula. Dominasi artikel-artikel seperti ini dalam daftar sitasi memperlihatkan bahwa kebutuhan praktis dalam dunia riset seringkali lebih mendesak daripada inovasi teoritik.

Menariknya, dalam kasus Braun & Clarke, mereka sendiri mengaku bahwa makalah mereka ditulis untuk membantu mahasiswa memahami cara menerapkan analisis tematik karena selama bertahun-tahun metode itu diajarkan secara samar dan tidak konsisten. Respons luar biasa terhadap artikel mereka mengisyaratkan adanya kekosongan serius dalam literatur tutorial, terutama bagi peneliti muda atau lintas disiplin yang membutuhkan panduan praktis. Hal serupa juga terjadi pada Schmittgen yang membuat makalah PCR kuantitatif karena reviewer menolak kutipan ke manual teknis yang membuatnya terdorong membuat artikel di jurnal ilmiah agar bisa disitasi dengan layak.

Berikut adalah infografis berbentuk diagram batang horizontal yang menunjukkan 10 publikasi ilmiah paling sering disitasi berdasarkan peringkat median dari lima basis data besar (Dimensions, Scopus, OpenAlex, Web of Science, dan Google Scholar). Semakin rendah nilai peringkat median, semakin tinggi posisi artikel dalam daftar kutipan lintas database.

Dengan kata lain, fenomena ini mencerminkan keterdesakan nyata dalam komunitas akademik akan literatur metodologis yang bersifat instruksional dan mudah dipahami. Artikel tutorial menjadi “infrastruktur epistemik” yang dibutuhkan untuk menjembatani pengetahuan metodologis dari pakar ke pemula. Dominasi artikel-artikel seperti ini dalam daftar sitasi memperlihatkan bahwa kebutuhan praktis dalam dunia riset seringkali lebih mendesak daripada inovasi teoritik.

Namun di sisi lain, kita juga harus waspada bahwa literatur jenis ini, meskipun sangat diperlukan, bisa menjadi alat validasi normatif tanpa refleksi kritis. Ketika artikel metodologis hanya disitasi karena “perlu”, bukan karena dipahami, kita menghadapi risiko reduksi intelektual yaitu pengetahuan menjadi prosedural, bukan dialektis.

Ketika artikel metodologis hanya disitasi karena “perlu”, bukan karena dipahami, kita menghadapi risiko reduksi intelektual yaitu pengetahuan menjadi prosedural, bukan dialektis.

Fenomena ini memperkuat kritik terhadap “kutukan sitasi”: bahwa sistem akademik mengganjar kebergunaan teknis lebih dari kebaruan intelektual. Sejumlah karya teoritis mendalam bisa saja tidak pernah masuk radar “artikel paling disitasi” karena mereka tidak mudah diterapkan, tidak praktis dikutip, atau terlalu mengganggu status quo.

Sitasi sebagai Mata Uang Kapitalisme Akademik

Dalam ekosistem akademik neoliberal, sitasi adalah mata uang. Ia menentukan tidak hanya reputasi dan kredibilitas ilmuwan, tetapi juga arah pendanaan riset, jenis artikel yang dianggap layak terbit di jurnal bergengsi, hingga preferensi lembaga dalam mengangkat dosen atau peneliti tetap. Akibatnya, riset yang berorientasi pada metode generik, perangkat lunak populer, atau teknik statistik praktis lebih cenderung didanai dan dipublikasikan karena menjanjikan tingkat sitasi tinggi. Sebaliknya, riset yang bersifat reflektif, eksperimental, atau kritis terhadap kerangka dominan sering kali tersisih karena dianggap tidak ‘menguntungkan’ secara metrik.

Dalam jangka panjang, sistem ini dapat mendorong semacam utility-driven science, yang sangat fungsional tetapi kehilangan dimensi reflektif dan filosofis. Jika ini terus berlangsung, dunia akademik bisa menjadi 'pabrik solusi' tanpa visi jangka panjang, menghasilkan produk metodologis yang masif namun miskin kritik dan perenungan.

Ini menimbulkan konsekuensi sistemik seperti makin banyak energi peneliti diarahkan pada pengembangan tools, bukan thinking. Seperti yang disampaikan oleh Paul Wouters, pakar scientometrics dari Leiden, sitasi tidak bisa dilepaskan dari dinamika budaya dan insentif. Dalam jangka panjang, sistem ini dapat mendorong semacam utility-driven science, yang sangat fungsional tetapi kehilangan dimensi reflektif dan filosofis. Jika ini terus berlangsung, dunia akademik bisa menjadi ‘pabrik solusi’ tanpa visi jangka panjang, menghasilkan produk metodologis yang masif namun miskin kritik dan perenungan.

***

Sitasi Tidak Selalu Menunjukkan Internalisasi Pengetahuan

Kritik yang lebih mendalam adalah pada asumsi bahwa sitasi = dampak. Analisis Nature (April 2025) memperlihatkan bahwa banyak makalah disitasi bukan karena dipahami, tapi karena dibutuhkan sebagai justifikasi metodologis. Higgins, penggagas statistik I², menyebut bahwa banyak pengguna menyalahpahami konsep yang ia kembangkan, dengan mengatakan dalam wawancaranya dari artikel “the most-cited papers of the twenty-first century” bahwa banyak penulis mengutip makalah tanpa benar-benar memahami bahwa nilai I² bukan indikator mutu, melainkan ukuran heterogenitas antar studi.

Dengan kata lain, sitasi tidak selalu menunjukkan internalisasi pengetahuan. Ia bisa menjadi gestur ritualistik dalam struktur akademiksemacam tindakan simbolik seperti menyebut nama seorang tokoh penting dalam pembukaan seminar meskipun tidak benar-benar mengacu pada pemikirannya, hanya agar tampak kredibel dan sesuai ekspektasi budaya akademik. Ini menyulitkan kita membedakan mana makalah yang benar-benar mengubah cara pikir ilmuwan, dan mana yang sekadar “dipakai” karena dibutuhkan.

Fenomena ini juga menjelaskan kenapa banyak penulis (mungkin peneliti muda atau mahasiswa?) mencari makalah yang berisi “cara melakukan”—bukan “mengapa melakukan dengan cara itu”. Dalam konteks ini, riset menjadi seperti resep masakan, ikuti langkah-langkahnya, jangan terlalu banyak bertanya. Ini berisiko menggerus kedalaman epistemik dan mempersempit ruang untuk inovasi konseptual.

Kemenangan Perangkat Lunak: Akses Terbuka, Adopsi Massal, Sitasi Maksimal

Beberapa artikel paling disitasi bahkan bukan tentang ide, tapi tentang kode. Misalnya, makalah tentang Scikit-learn, DESeq2, dan lme4—semua adalah perangkat lunak open-source untuk analisis data. Makalah ini populer karena alatnya bermanfaat, bukan karena mengusung teori. Peneliti dari berbagai bidang, mulai dari biologi molekuler hingga linguistik digital, menggunakan perangkat ini karena kemudahan dan efektivitasnya dalam memproses data.

Alat yang mudah digunakan, gratis, dan kompatibel secara digital cenderung disitasi lebih banyak. Sementara metode baru yang menantang asumsi dasar atau butuh pelatihan khusus cenderung terpinggirkan. Popularitas perangkat lunak tertentu sering kali tidak mencerminkan keunggulan ilmiah semata, tetapi juga strategi komunikasi, komunitas pengguna yang aktif, dan ekosistem dokumentasi yang mendukung.

Namun, ini juga mencerminkan bias tertentu. Alat yang mudah digunakan, gratis, dan kompatibel secara digital cenderung disitasi lebih banyak. Sementara metode baru yang menantang asumsi dasar atau butuh pelatihan khusus cenderung terpinggirkan. Popularitas perangkat lunak tertentu sering kali tidak mencerminkan keunggulan ilmiah semata, tetapi juga strategi komunikasi, komunitas pengguna yang aktif, dan ekosistem dokumentasi yang mendukung.

Lebih jauh, keterlibatan perusahaan besar seperti Microsoft dan Google dalam riset AI juga menggeser keseimbangan. Mereka memiliki sumber daya untuk mempublikasikan preprint secara cepat, menyebarluaskan melalui komunitas developer, dan memperkuat pengaruhnya di semua lini. Dalam konteks ini, jumlah sitasi juga mencerminkan kekuasaan struktur industri dalam arsitektur pengetahuan global. Maka kita perlu hati-hati: dalam era digital, yang paling disitasi bukan selalu yang paling orisinal, melainkan yang paling cepat dan luas terdistribusi.

Lebih jauh, keterlibatan perusahaan besar seperti Microsoft dan Google dalam riset AI juga menggeser keseimbangan. Mereka memiliki sumber daya untuk mempublikasikan preprint secara cepat, menyebarluaskan melalui komunitas developer, dan memperkuat pengaruhnya di semua lini

Perlu Revisi terhadap Budaya Pengukuran Akademik

Setelah menelusuri bagaimana kekuasaan institusional dan logika kuantitatif membentuk arah dan struktur riset, fenomena ini seharusnya mendorong evaluasi ulang terhadap cara kita mengukur dampak ilmiah. Beberapa usulan sudah lama beredar, seperti Altmetrics, yang menggabungkan metrik keterlibatan publik, atau Responsible Metrics seperti yang didorong oleh Deklarasi Leiden dan DORA. Namun, budaya akademik masih terjebak dalam logika lama: bahwa semakin banyak disitasi, semakin besar pengaruhnya.

Banyak teori sosial besar seperti falsifikasi Popper atau struktur revolusi ilmiah Kuhn tidak pernah menjadi makalah paling disitasi, namun dampaknya terhadap cara berpikir kita jauh lebih besar daripada ribuan baris kode.

Sayangnya, pendekatan ini mereduksi sains menjadi kontes pengaruh kuantitatif. Ia mengabaikan banyak karya minor, spekulatif, atau radikal yang justru membawa perubahan dalam jangka panjang. Sebagai contoh, banyak teori sosial besar seperti falsifikasi Popper atau struktur revolusi ilmiah Kuhn tidak pernah menjadi makalah paling disitasi, namun dampaknya terhadap cara berpikir kita jauh lebih besar daripada ribuan baris kode. Kita butuh sistem evaluasi yang mampu melihat kedalaman dan kompleksitas kontribusi, bukan hanya dampaknya dalam bentuk angka.

Kita juga perlu menumbuhkan ekosistem ilmiah yang lebih menghargai proses berpikir lambat, spekulatif, dan multidisipliner. Pengukuran berbasis kuantitas harus dilengkapi dengan kurasi berbasis makna. Reviewer, editor jurnal, dan lembaga riset perlu lebih berani mengapresiasi naskah yang menantang, menyelidik ulang, dan mencoba membuka jalan baru.

Mencari Makna, Bukan Hanya Angka

Temuan Nature penting karena membongkar ilusi dalam sistem penilaian ilmiah. Bahwa angka sitasi bukan cermin murni dari kualitas, melainkan hasil dari dinamika budaya, kekuasaan institusional, dan desain sistem pengetahuan itu sendiri. Ke depan, kita perlu menyeimbangkan apresiasi terhadap kegunaan dengan refleksi terhadap kebaruan dan keberanian intelektual.

Kita perlu mengembalikan sains sebagai arena pertukaran ide, bukan hanya produksi teknis yang dapat dikonsumsi. Apresiasi terhadap metode harus berjalan beriringan dengan ruang untuk gagasan yang liar dan mungkin tak populer, tetapi sangat diperlukan untuk keberlangsungan pengetahuan yang hidup.

Sebagaimana sains tidak hanya tentang membangun alat, akademia seharusnya tidak hanya mengukur kontribusi dengan spreadsheet. Kita perlu mengembalikan sains sebagai arena pertukaran ide, bukan hanya produksi teknis yang dapat dikonsumsi. Apresiasi terhadap metode harus berjalan beriringan dengan ruang untuk gagasan yang liar dan mungkin tak populer, tetapi sangat diperlukan untuk keberlangsungan pengetahuan yang hidup.

Sebenarnya, kita harus bertanya: mengapa sesuatu menjadi populer, dan bukan yang lain?” Pertanyaan ini patut kita bawa pulang, renungkan, dan jadikan bahan bakar untuk membentuk sistem sains yang lebih adil, reflektif, dan berani berpikir di luar tren.

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.