Belajar dari Pandemi: Enam Tips Meliput Program Vaksinasi untuk Jurnalis

Pandemi COVID-19 menciptakan momen langka dalam sejarah media, program vaksinasi, yang sebelumnya nyaris tak pernah menjadi sorotan utama, tiba-tiba menghiasi halaman depan media setiap hari. Di tengah antusiasme publik yang besar, program ini juga dihadapkan pada tantangan besar yaitu gelombang misinformasi dan disinformasi yang berisiko menggagalkan upaya pengendalian pandemi.

Dalam situasi darurat kesehatan seperti pandemi, jurnalis memiliki peran strategis bukan sekadar sebagai pengamat atau pelapor, tetapi sebagai penjaga akurasi dan penjembatan antara sains dan masyarakat

Sebagai intervensi kesehatan masyarakat yang kompleks dan sering kali sulit dipahami masyarakat awam, komunikasi sains tentang vaksinasi yang diliput oleh media membutuhkan pendekatan jurnalisme yang lebih hati-hati, kritis, dan edukatif. Dalam situasi seperti ini, jurnalis memiliki peran strategis bukan sekadar sebagai pengamat atau pelapor, tetapi sebagai penjaga akurasi dan penjembatan antara sains dan masyarakat. Berikut enam prinsip penting yang dapat menjadi panduan bagi jurnalis dan komunikator sains dalam meliput program vaksinasi.

1. Cek Fakta dengan Teknik “Roti Lapis Kebenaran”

Saat figur publik menyebarkan narasi antivaksin, liputannya sulit dihindari karena nilai beritanya tinggi. Namun, pemberitaannya bisa memperkuat disinformasi jika tidak didekati dengan teknik yang tepat.

Roti Lapis Surabaya. Courtesy: Roti Lapis 321

Salah satu metode efektif adalah teknik roti lapis kebenaran. Seperti kue lapis Surabaya, teknik ini menyusun pesan dengan tiga lapisan: awali dengan kebenaran, uraikan kebohongan (dengan peringatan), dan tutup dengan penguatan kebenaran. Strategi ini memanfaatkan serial-position effect, di mana informasi yang pertama dan terakhir lebih diingat oleh pembaca.

Contohnya, ketimbang menyajikan kutipan misinformasi sebagai pembuka, jurnalis dapat membuat headline berbentuk pertanyaan edukatif seperti: “Benarkah vaksin COVID-19 menyebabkan kematian mendadak?”

2. Tekankan Sikap Mayoritas yang Mendukung Vaksinasi

Sebagian besar masyarakat sebenarnya pro-vaksin atau masih ragu, bukan menolak total. Data survei Kemenkes, UNICEF, dan WHO (2020) menunjukkan bahwa hanya kurang dari 10% masyarakat Indonesia yang menolak vaksin, sementara 20% ragu-ragu. Psikologi sosial menunjukkan bahwa orang cenderung mengikuti norma mayoritas. Karena itu, penting bagi liputan media untuk menekankan bahwa sebagian besar masyarakat bersedia divaksin dan percaya pada efektivitas vaksin, bukan membingkai isu seolah terjadi “perang opini” antara dua kubu besar.

Karena itu, penting bagi liputan media untuk menekankan bahwa sebagian besar masyarakat bersedia divaksin dan percaya pada efektivitas vaksin, bukan membingkai isu seolah terjadi “perang opini” antara dua kubu besar.

3. Jangan Tergesa Mengaitkan KIPI dengan Vaksin tanpa Bukti

Meliput Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah medan sensitif. Jika tidak hati-hati, bisa memperkuat persepsi bahwa vaksin berbahaya. Kecuali ada konfirmasi dari lembaga otoritatif (seperti BPOM), hindari narasi yang menyiratkan hubungan sebab-akibat.

Daripada menulis: “Anak meninggal usai vaksinasi COVID-19”, lebih baik menggunakan: “BPOM selidiki kemungkinan kaitan antara kematian dan vaksinasi”.

Saat meliput KIPI ringan yang sudah diketahui sebelumnya (seperti demam atau nyeri otot), jurnalis dapat menjelaskan bahwa itu adalah respons tubuh yang wajar dan menunjukkan vaksin bekerja.

4. Wawancara Narasumber yang Kredibel dan Cek Ulang Informasinya

Pilih narasumber yang memiliki keahlian sesuai, misalnya peneliti imunologi atau epidemiologi yang memiliki rekam jejak di Google Scholar atau ORCiD. Liputan yang baik sebaiknya melibatkan lebih dari satu narasumber dan menyampaikan konsensus di antara mereka.

Liputan yang baik sebaiknya melibatkan lebih dari satu narasumber dan menyampaikan konsensus di antara mereka.

Jika meliput uji klinis vaksin, selain peneliti utamanya, jurnalis juga sebaiknya menghubungi peneliti independen untuk memberikan pandangan yang obyektif. Jurnalis juga bisa bergabung dengan komunitas jurnalisme sains seperti Society of Indonesian Science Journalists (SISJ) untuk memperluas jaringan dan proses verifikasi.

5. Tunjukkan Empati dan Bangun Kesadaran Kolektif

Pandemi memunculkan banyak emosi negatif: ketakutan, cemas, dan kelelahan. Maka pendekatan empatik dalam liputan menjadi penting. Alih-alih menghakimi mereka yang ragu, coba pahami alasan keraguan mereka dan beri informasi yang membangun pemahaman, misalnya tentang uji klinis vaksin yang ketat.

Alih-alih menggunakan pendekatan jurnalisme krisis dan bencana, jurnalis dapat menggunakan pendekatan jurnalisme solusi (solution journalism) atau jurnalisme kontruktif (constructive journalism) untuk masalah spesifik tentang misinformasi vaksinasi ini. Kecuali dalam isu spesifik lain semisal permasalahan distribusi vaksinasi dan korupsi pengadaan vaksinasi, tentu jurnalis dapat memilih melantangkan ‘beat’ mereka.

Peneliti dari National Cancer Institute AS menyarankan untuk menekankan motivasi prososial, seperti ikut vaksinasi adalah bentuk gotong royong untuk melindungi orang lain. Di Indonesia, pendekatan ini selaras dengan nilai budaya kolektif dan bisa memperkuat semangat kebersamaan dalam menghadapi krisis.

6. Berimbang dalam Meliput Isu Kehalalan Vaksin

Isu kehalalan vaksin perlu ditangani dengan hati-hati karena sensitif secara kultural dan religius. Jika sudah ada fatwa resmi dari lembaga seperti MUI, Muhammadiyah, atau NU yang menyatakan kehalalan atau kebolehan vaksin, maka jurnalis dapat menekankan manfaat vaksin dari perspektif kemaslahatan.

Jika sudah ada fatwa resmi dari otoritas keagamaan terkait isu halal-haram, sebaiknya gunakan istilah “dibuat dengan bantuan tripsin”, bukan “mengandung babi”.

Jika vaksin diproses dengan enzim tripsin dari babi sebagai alat bantu produksi (bukan bahan aktif vaksin), sebaiknya gunakan istilah “dibuat dengan bantuan tripsin”, bukan “mengandung babi”. Penggunaan diksi yang tepat sangat penting agar publik memahami proses pembuatan vaksin secara ilmiah dan tidak keliru dalam menafsirkan status kehalalannya.

Jurnalisme dalam peliputan vaksinasi bukan hanya soal menyampaikan informasi medis dan ilmiah, tapi juga tentang membangun kepercayaan publik dan memelihara solidaritas sosial. Di tengah dunia informasi yang makin kompleks, jurnalis tidak lagi cukup menjadi “pengawas”, mereka juga perlu menjadi penjaga akurasi dan penjembatan antara laboratorium (fakta ilmiah) dan masyarakat.


 Nido Dipo Wardana berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.