Selama satu dekade terakhir, kita menyaksikan pergeseran yang signifikan dan mengkhawatirkan dalam cara orang mengonsumsi berita. Minat terhadap berita menurun, sementara tingkat penghindaran berita meningkat. Ini bukan sekadar kesan semata. Data dari Digital News Report 2023 yang dirilis oleh Reuters Institute menunjukkan bahwa ketertarikan global terhadap berita turun dari 63% pada tahun 2015 menjadi hanya 48% pada tahun 2023, berdasarkan survei di 46 negara. Pada saat yang sama, 36% responden menyatakan bahwa mereka sering menghindari berita—angka yang bahkan lebih tinggi di beberapa negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Brasil. Data yang diambil dari sitasi data Digital News Report-Reuters Institute menjelaskan temuan ini.
!function(){“use strict”;window.addEventListener(“message”,(function(a){if(void 0!==a.data[“datawrapper-height”]){var e=document.querySelectorAll(“iframe”);for(var t in a.data[“datawrapper-height”])for(var r=0;r<e.length;r++)if(e[r].contentWindow===a.source){var i=a.data["datawrapper-height"][t]+"px";e[r].style.height=i}}}))}();
Apa yang mendorong kecenderungan ini? Jawabannya tidak tunggal, tetapi mencakup kombinasi faktor emosional, struktural, dan teknologi.
Kelelahan Emosional dari Konsumsi Berita
Salah satu penyebab utama adalah kelelahan emosional. Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap pemberitaan didominasi oleh krisis demi krisis—pandemi COVID-19, perang di Ukraina dan Gaza, ketidakstabilan politik, hingga darurat iklim. Banyak orang merasa bahwa paparan terus-menerus terhadap berita buruk membuat mereka cemas, sedih, atau tidak berdaya. Ini bukan sekadar reaksi emosional berlebihan, melainkan respons psikologis yang rasional terhadap lingkungan informasi yang penuh tekanan. Dalam studi kualitatif Reuters Institute, beberapa responden bahkan menyatakan bahwa mereka menghindari berita demi menjaga kesehatan mental.
...Ini bukan sekadar reaksi emosional berlebihan, melainkan respons psikologis yang rasional terhadap lingkungan informasi yang penuh tekanan. Dalam studi kualitatif Reuters Institute, beberapa responden bahkan menyatakan bahwa mereka menghindari berita demi menjaga kesehatan mental.
Ketidakpercayaan dan Ketidaksesuaian dengan Kehidupan Sehari-hari
Selain kelelahan emosional, kepercayaan terhadap media juga menjadi tantangan. Secara global, hanya 40% orang yang mengatakan bahwa mereka mempercayai sebagian besar berita yang mereka konsumsi. Banyak yang menganggap berita terlalu berpihak, sensasional, atau mewakili kepentingan elit. Beberapa orang merasa bahwa berita tidak relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari—terlalu fokus pada isu-isu politik nasional atau konflik elit yang jauh dari realitas warga biasa. Di Indonesia, misalnya, pemberitaan arus utama sering dianggap terlalu berpusat di Jakarta, mengabaikan perspektif dari daerah atau komunitas terpinggirkan.
Beberapa orang merasa bahwa berita tidak relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari—terlalu fokus pada isu-isu politik nasional atau konflik elit yang jauh dari realitas warga biasa. Di Indonesia, misalnya, pemberitaan arus utama sering dianggap terlalu berpusat di Jakarta, mengabaikan perspektif dari daerah atau komunitas terpinggirkan.
Terlalu Banyak Berita, Terlalu Sedikit Makna
Fenomena information overload—banjir informasi—juga menjadi faktor signifikan. Dengan ponsel yang terus memberikan notifikasi dan media sosial seperti Instagram, Facebook, dan TikTok yang dipenuhi judul-judul berita, banyak orang merasa kewalahan. Alih-alih merasa lebih terinformasi, mereka justru merasa lumpuh karena tidak tahu mana informasi yang penting.
Alih-alih merasa lebih terinformasi, mereka justru merasa lumpuh karena tidak tahu mana informasi yang penting.
Platform digital juga mengubah cara kita mengakses berita. Algoritma media sosial cenderung menampilkan konten hiburan atau yang viral, bukan konten informatif. Jika seseorang jarang berinteraksi dengan berita, maka algoritma akan secara bertahap mengurangi eksposur mereka terhadap berita. Ini menciptakan bentuk penghindaran pasif, di mana orang tidak sengaja menjauh dari berita karena berita itu sendiri semakin jarang muncul di linimasa mereka.
Algoritma media sosial punya peran besar. Jika seseorang jarang berinteraksi dengan berita, maka algoritma akan secara bertahap mengurangi eksposur mereka terhadap berita. Ini menciptakan bentuk penghindaran pasif, di mana orang tidak sengaja menjauh dari berita karena berita itu sendiri semakin jarang muncul di linimasa mereka.
Apa Dampaknya?
Menurunnya konsumsi berita bukan hanya tantangan bagi industri media—ini adalah persoalan demokrasi. Warga yang tidak mengikuti berita cenderung kurang berpartisipasi dalam pemilu utamanya proses demokrasi, tidak aktif dalam urusan sipil, dan lebih rentan terhadap disinformasi. Ketika sebagian besar populasi berhenti mengikuti berita, maka kemampuan jurnalisme untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap kekuasaan menjadi tergerus.
Ketika sebagian besar populasi berhenti mengikuti berita, maka kemampuan jurnalisme untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap kekuasaan menjadi tergerus.
Khusus di Indonesia, implikasinya berlapis. Dalam konteks Pemilu 2024, misalnya, keterputusan sebagian warga dari arus informasi politik bisa berdampak pada kualitas partisipasi dan pemahaman terhadap isu-isu kebijakan. Selain itu, publik yang tidak terhubung dengan berita cenderung mencari informasi dari sumber informal yang belum tentu terverifikasi, seperti grup WhatsApp atau akun influencer yang tidak bertanggung jawab.
Menghidupkan Jurnalisme Untuk Aksi Kolektif
Solusinya tentu tidak sederhana. Tetapi kita bisa memulai dengan membayangkan kembali seperti apa jurnalisme seharusnya dijalankan. Jurnalisme tidak bisa hanya berfokus pada konflik, krisis, dan kutipan elit. Diperlukan pendekatan yang lebih konstruktif: peliputan yang tidak hanya menggambarkan masalah, tetapi juga solusi dan kemungkinan mendorong aksi kolektif.
Jurnalisme tidak bisa hanya berfokus pada konflik, krisis, dan kutipan elit. Diperlukan pendekatan yang lebih konstruktif: peliputan yang tidak hanya menggambarkan masalah, tetapi juga solusi dan kemungkinan aksi.
Format juga perlu disesuaikan. Generasi muda lebih tertarik pada narasi visual, konten pendek, dan cerita yang punya kedekatan emosional. Podcast, video pendek di TikTok, atau penjelasan visual di Instagram bisa menjadi sarana penting untuk membangun kembali keterlibatan. Di sisi lain, jurnalis dan redaksi harus lebih dekat dengan audiens mereka—bukan hanya dari segi geografi, tapi juga dari segi pengalaman dan identitas. Kabar baiknya, inisiatif jurnalisme warga dan komunitas lokal kini mulai tumbuh, membuka ruang bagi model berita yang lebih inklusif.
Kita hidup dalam masa ketika akses terhadap informasi tidak pernah semudah ini—namun justru keterhubungan dengan berita semakin merosot. Ini adalah paradoks zaman digital. Untuk mengubah arah ini, jurnalisme harus menjadi lebih cerdas secara emosional, lebih representatif, dan lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari warga.
Ini bukan soal menyederhanakan isu atau menghindari topik sulit. Ini soal mengenali kenyataan psikologis dan sosial dari cara orang mengonsumsi informasi di era sekarang. Jika jurnalisme ingin tetap relevan, ia harus hadir bukan hanya sebagai penyampai kabar, tetapi sebagai mitra publik (sipil) dalam memahami dan membentuk dunia mereka sehari-hari.
———————————————————————————–
Re-Write: Artikel ini ditulis ulang dengan penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia dari sumber laporan Reuters Institute dan artikel “People are turning away from the news. Here’s why it may be happening“
