Mengintip Air Tanah Bandung: Bagaimana Ilmuwan Mengatasi Tantangan Pemodelan?

Artikel ini berasal dari kontribusi Dasapta Erwin Irawan (Institut Teknologi Bandung, ITB) dengan gubahan ulang sepenuhnya oleh Ilham Akhsanu Ridlo.

Tahukah Anda bahwa air yang Anda minum atau gunakan sehari-hari berasal dari dunia tersembunyi di bawah kaki kita? Di balik kesejukan dan kejernihannya, air tanah menyimpan teka-teki kompleks yang terus coba dipecahkan oleh para ilmuwan. Tapi sejauh mana kita bisa percaya pada prediksi mereka? Ternyata, tidak ada model ilmiah yang benar-benar sempurna. Bahkan, ahli statistik terkenal, George Box, pernah mengatakan, “Semua model itu salah, tapi beberapa di antaranya berguna.”

Mengapa demikian? Karena sistem alam, seperti air tanah, sangat kompleks dengan banyak faktor yang saling berkaitan. Bayangkan sebuah cekungan besar seperti Cekungan Air Tanah Bandung-Soreang. Di bawah permukaan, terdapat lapisan-lapisan tanah dan batuan yang berbeda-beda karakteristiknya. Para ilmuwan menyebutnya “akuifer”—tempat air tersimpan dan mengalir di bawah tanah.

Cekungan ini memiliki beberapa lapisan utama yang dibagi menjadi zona dangkal dan zona dalam. Misalnya, di zona dangkal terdapat lapisan vulkanik berpasir yang bisa dilewati air dengan mudah, tetapi juga ada lapisan lempung yang hampir kedap air. Di zona lebih dalam, ada lapisan batuan yang juga berbeda-beda kemampuannya mengalirkan air.

Keterbatasan model muncul dari tiga faktor utama: kompleksitas sistem alam dengan tak terhitung variabel yang saling berinteraksi, data yang tidak lengkap atau tidak pasti, dan asumsi penyederhanaan yang diperlukan untuk kelayakan komputasi. 

Dalam sistem air tanah, tantangan-tantangan ini semakin besar karena heterogenitas geologi dan sifat tersembunyi dari struktur bawah permukaan. Terlepas dari keterbatasan ini, model tetap menjadi alat yang sangat berharga untuk memahami perilaku sistem dan membuat prediksi. Keberhasilan terletak pada pengakuan akan keterbatasan mereka sambil menerapkannya secara tepat untuk pengambilan keputusan.

Karena kondisi geologi yang rumit ini, ilmuwan harus membuat penyederhanaan untuk bisa memprediksi bagaimana air tanah bergerak. Namun, penyederhanaan ini menimbulkan keterbatasan akurasi.

Baru-baru ini, tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung dan Institut Teknologi Sumatera mencoba mengatasi tantangan tersebut dengan pendekatan yang lebih canggih. Mereka menggabungkan dua metode sekaligus: metode numerik yang biasanya dipakai untuk simulasi komputer, dan metode statistik (stokastik) yang mampu mengolah data yang terbatas menjadi prediksi yang lebih akurat.

Baca Lebih Detail: Kompleksitas Model Cekungan Air Tanah Bandung-Soreang

Cekungan Bandung memiliki sistem akuifer berlapis yang terbagi menjadi enam lapisan utama. Lapisan-lapisan ini dikelompokkan menjadi zona Dangkal dan Dalam, masing-masing dengan karakteristik hidraulik yang berbeda (Gambar 1).

Zona Dangkal (Formasi Kosambi) terdiri dari tiga lapisan dengan konduktivitas hidraulik (K) yang beragam: tuf berpasir vulkanik di bagian atas (K = 4×10-5 m/detik), lapisan batulempung dan batupasir di tengah (K = 1×10-5 m/detik), dan lempung berlanau di bawah dengan konduktivitas terendah (K = 8×10-7 m/detik).

Zona Dalam (Formasi Cibeureum) juga memiliki tiga lapisan dengan karakteristik berbeda: lanau berpasir (K = 1×10-5 m/detik), batupasir tufaan dengan konduktivitas tertinggi (K = 5×10-5 m/detik), dan breksi tufaan (K = 1,2×10-5 m/detik).

Di bagian paling bawah terdapat Formasi Cikapundung yang terdiri dari campuran konglomerat, breksi, tuf, dan lava andesitik. Formasi ini berfungsi sebagai batas kedap air dalam sistem hidrogeologi.

Variasi material vulkanik dan aluvial di cekungan ini menciptakan keragaman sifat batuan, baik secara horizontal maupun vertikal. Meski teknik ordinary kriging membantu menghubungkan nilai konduktivitas antar titik pengambilan sampel, metode ini masih memiliki keterbatasan dalam menggambarkan seluruh aspek formasi geologi yang kompleks.

Gambar 1. Peta geologi daerah kajian Cekungan Air Tanah Bandung-Soreang (Versi resolusi tinggi).

Karakteristik sumur-sumur ini mencakup saringan pada elevasi 500-700 meter di atas permukaan laut dengan rentang 25-30 meter (Gambar 2). Perhitungan konduktivitas hidraulik menggunakan metode Hantush-Bierschenk.


Gambar 2. Peta lokasi uji pemompaan di Cekungan Air Tanah Bandung-Soreang (garis putih), dan penampang 3 dimensi susunan hidrostratigrafinya berdasarkan data log sumur (Versi resolusi tinggi).

Para peneliti menggunakan data dari 196 sumur dalam dengan 66 sumur yang memiliki data log lengkap di sekitar Bandung dan Cimahi. Sayangnya, data sumur ini belum tersebar merata, kebanyakan masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan dan industri. Lebih dari itu, kebiasaan pengeboran sumur di Indonesia seringkali hanya menyasar satu lapisan yang paling mudah menghasilkan air. Akibatnya, pengetahuan kita tentang lapisan lain menjadi terbatas.

Penelitian terkini yang dilakukan oleh Achmad Darul et al. (2024) menerapkan pendekatan inovatif dengan menggabungkan metode numerik dan stokastik untuk memodelkan air tanah di Cekungan Bandung-Soreang. Dengan mengintegrasikan data lubang bor dan analisis ordinary kriging, tim peneliti berhasil menghasilkan estimasi konduktivitas hidraulik yang lebih presisi. 

Pendekatan ini tidak hanya mampu menggambarkan kompleksitas geologi cekungan secara lebih akurat, tetapi juga memberikan rekomendasi konkret untuk pengelolaan air tanah yang berkelanjutan. Studi ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya oleh Hutasoit (2009) tentang kompleksitas geologi di wilayah tersebut.

Meski menghadapi tantangan tersebut, kombinasi metode ini sukses menghasilkan visualisasi tiga dimensi yang lebih jelas tentang bagaimana air tanah bergerak di bawah Bandung-Soreang. Ini berarti kita bisa lebih memahami bagaimana menjaga keseimbangan air tanah agar tetap tersedia bagi generasi mendatang.

Pentingnya Pengelolaan Data untuk Pemodelan Hidrogeologi

Membuat model hidrogeologi yang akurat memerlukan data berkualitas tinggi dari berbagai lokasi. Data komprehensif ini membantu kita memahami sistem air bawah tanah dan variasi spasialnya.

Namun, agar model seperti ini makin akurat, diperlukan data yang lebih lengkap dari banyak lokasi. Di sinilah peran pemerintah, swasta, dan masyarakat sangat penting. Dengan berbagi data secara terbuka (open data), kita bisa meningkatkan akurasi model dan mengambil keputusan yang lebih baik untuk pengelolaan air tanah.

Baik lembaga pemerintah maupun industri memainkan peran penting dalam pengumpulan data melalui sumur produksi dan pemantauan mereka. Lembaga pemerintah mengawasi area yang luas dan menegakkan kepatuhan regulasi, sementara perusahaan berkontribusi dengan data spesifik lokasi yang detail.

Contoh yang baik adalah Balai Konservasi Air Tanah (BKAT), yang menyediakan peta online sumur pemantauan (SIPASTI) pada kedalaman berbeda yang menyadap berbagai akuifer. Platform online menampilkan kedalaman muka air tanah untuk setiap sumur.

Mekanisme berbagi data yang lebih baik antar organisasi sangat penting. Berbagi data secara terbuka meningkatkan akurasi model, memungkinkan verifikasi hasil, dan mengarah pada keputusan pengelolaan sumber daya air yang lebih baik. Pengelolaan sumber daya air tanah yang efektif bergantung pada kolaborasi dan berbagi data yang transparan di antara semua pemangku kepentingan.

Meski tak ada model yang sempurna, pemahaman tentang keterbatasannya justru membuat kita bisa memanfaatkannya dengan lebih bijak untuk menjaga kelestarian sumber daya air tanah yang sangat vital bagi kehidupan kita semua.

One thought on “Mengintip Air Tanah Bandung: Bagaimana Ilmuwan Mengatasi Tantangan Pemodelan?

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.