Menjembatani Sains, Masyarakat, dan Kebijakan

Sains memainkan peran ganda dalam masyarakat kontemporer: sebagai penghasil pengetahuan dan mekanisme untuk mengatasi tantangan sosial yang kompleks. Namun, efektivitasnya dalam memengaruhi pembuatan kebijakan berbasis bukti (Evidence-based Policy Making, EBPM) tidak hanya bergantung pada kekuatan bukti ilmiah, tetapi juga pada metode komunikasi dan kontekstualisasi pengetahuan tersebut.

Komunikasi sains reflektif (Reflexive Science Communication) dan kontekstualisasi (Contextualization) menjadi metodologi penting untuk memastikan pengetahuan ilmiah tetap relevan, inklusif, dan dapat ditindaklanjuti, sehingga membangun kepercayaan, kolaborasi, dan pemahaman bersama di antara pemangku kepentingan ilmiah, sosial, dan kebijakan.

Kemajuan sains kerap dipandang melalui lensa objektivitas dan keberlakuan universal. Namun, dalam praktiknya, sains beroperasi dalam matriks sosiokultural yang membentuk produksi dan penerimaannya. Kompleksitas interaksi ini menuntut pergeseran paradigma menuju pendekatan yang mengintegrasikan refleksivitas dan kepekaan kontekstual. Hal ini diperlukan untuk memaksimalkan potensi sains dalam menjawab tantangan global, sebut saja isu krisis iklim dan kesehatan.

Mengatasi Kesenjangan Antara Sains dan Masyarakat

Meski memiliki potensi transformatif, sains sering gagal menjembatani kesenjangan antara temuan ilmiah dan kebutuhan sosial. Kesenjangan ini diperparah oleh ketidakmampuan mengakomodasi dimensi budaya, sosial, dan politik yang memengaruhi persepsi publik dan pembuat kebijakan.

Contohnya, selama pandemi COVID-19, penyebaran panduan kesehatan masyarakat yang tidak konsisten—seperti perubahan aturan tentang kewajiban masker—menunjukkan kelemahan strategi komunikasi. Inkonsistensi ini merusak kepercayaan publik dan mengungkap kebutuhan mendesak akan pendekatan komunikasi yang transparan dan reflektif.

Demikian pula pada contoh lain, seperti penolakan terhadap organisme hasil rekayasa genetika (GMO) menunjukkan bagaimana kemajuan sains bisa ditolak masyarakat ketika implikasinya bersinggungan dengan isu seperti ketimpangan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, atau identitas budaya.

Dua contoh sebelumnya, menegaskan pentingnya mengintegrasikan komunikasi sains ke dalam konteks sosiopolitik dan budaya yang lebih luas. Disini letak pendekatan komunikasi reflektif dan kontekstualisasi sains menjadi jalan untuk meningkatkan pemahaman dan penerimaan fakta ilmiah.

Komunikasi Sains Reflektif: Usaha Membangun Kepercayaan dan Partisipasi

Komunikasi sains reflektif menekankan transparansi, inklusivitas, dan adaptabilitas. Dengan mengakui bahwa produksi dan diseminasi pengetahuan ilmiah dipengaruhi dinamika sosiopolitik, pendekatan ini diupayakan untuk tujuan membangun kepercayaan dan keterlibatan publik. Strategi kuncinya meliputi beberapa.

Mengakui Ketidakpastian
Sains memang tidak memberikan ruang absolut untuk menjawab fenomena di masyarakat. Ketidakpastian dalam sains diterjemahkan dalam serangkaian pengujian empirik atau telaah yang menyisakan kemungkinan yang sifatnya dapat terus dikoreksi dan diperbaiki. Dengan jalan itu, ruang ketidakpastian akan semakin dipersempit. Kebenaran absolut nyaris tidak menjadi awal dalam pembentukan hipotesis. Sehingga dalam strategi komunikasi sains reflektif, cara untuk mengkomunikasikan sifat sementara temuan ilmiah dan mengakui celah pengetahuan secara harus dilakukan dengan cara yang transparan. Cara transparansi dalam sains memungkinkan koreksi dan pengujian balik agar mendapatkan perbaikan berkelanjutan.

Keterlibatan Pemangku Kepentingan
Melibatkan pemangku kepentingan seringkali memerlukan satu proses yang panjang dan tidak menyajikan hasil yang instan. Proses ini tidak akan terjadi tanpa kesadaran bahwa bagian hilir kebijakan publik pada akhirnya bermuara pada kepentingan bersama yang lebih luas. Sehingga ada kalanya keterlibatan pemangku kepentingan akan melibatkan perspektif beragam, termasuk kelompok marginal dan yang selama ini dikecualikan. Pengembangan kebijakan publik tidak selalu memperhitungkan jumlah dalam representasi publik, namun justru harus memberikan dorongan keberpihakan pada mereka yang ditinggalkan dan dipinggirkan.

Adaptasi Pesan
Proses ini berarti menyesuaikan komunikasi dengan prioritas budaya dan konteks audiens yang berbeda. Adaptasi pesan disini dipahami sebagai sebuah proses penyesuaian komunikasi agar relevan dengan konteks audiens, platform, dan tujuan tertentu. Proses ini mencakup kontekstualisasi isi agar sesuai dengan nilai-nilai sosial, budaya, atau lokal audiens, penggunaan bahasa yang sederhana namun tetap akurat, serta pemilihan format visual atau narasi yang menarik untuk menjangkau lebih banyak orang. Misalnya, infografis dan video pendek dapat digunakan untuk menyederhanakan informasi ilmiah yang kompleks, sementara platform sosial media memungkinkan penyampaian pesan yang cepat dan interaktif. Adaptasi pesan penting untuk meningkatkan pemahaman, membangun kepercayaan, dan memastikan informasi berdampak efektif dalam mengubah opini atau perilaku audiens. Dengan menyesuaikan pesan secara strategis, komunikasi menjadi lebih inklusif, menjembatani kesenjangan pemahaman antara ahli dan masyarakat luas, serta memaksimalkan relevansi informasi dalam konteksnya.

Kasus komunikasi kesehatan masyarakat di Selandia Baru selama COVID-19 menunjukkan efektivitas strategi reflektif. Pemerintah menyebarkan informasi secara transparan dan menekankan tanggung jawab kolektif, sehingga membangun kepercayaan publik dan mendukung upaya penanganan pandemi. Dengan mengutamakan inklusivitas dan adaptasi, komunikasi reflektif menjembatani jurang antara pengetahuan ahli dan pemahaman publik. Beberapa pendekatan yang serupa juga dipakai dalam eradikasi Polio di India, yang mendorong WHO untuk menyesuaikan strategi mereka.

Kontekstualisasi Sains: Memastikan Relevansi dan Keterterapan Sains

Kontekstualisasi berperan dalam mengintegrasikan pengetahuan ilmiah ke dalam kerangka sosial, budaya, dan ekonomi yang lebih luas, memastikan rekomendasi kebijakan praktis dan responsif terhadap kebutuhan lokal. Pendekatan ini mengakui bahwa solusi ilmiah jarang bersifat “satu-untuk-semua” dan harus disesuaikan dengan realitas hidup masyarakat. Beberapa contoh keberhasilan kontekstualisasi meliputi:

Pemberantasan Polio di India: Kesuksesan kampanye ini bergantung pada strategi peka budaya, seperti mengatasi ketidakpercayaan lokal melalui keterlibatan komunitas dan menyesuaikan rencana logistik dengan dinamika regional. Adaptasi ini mengubah tantangan kesehatan masyarakat menjadi kisah sukses.

Pengelolaan Sumber Air di Selandia Baru: Kolaborasi yang menggabungkan pengetahuan tradisional Māori dengan ilmu hidrologi modern menghasilkan solusi berkelanjutan yang menghargai warisan budaya. Dengan menghargai pengetahuan ekologi tradisional, kebijakan yang dihasilkan tidak hanya efektif tetapi juga bermakna secara budaya.

Kontekstualisasi memastikan sains selaras dengan komunitas yang dilayaninya, membuat sains mempunya konteks lokal dapat meningkatkan relevansi dan dampak inisiatif ilmiah.

Refleksivitas dan kontekstualisasi adalah paradigma yang saling melengkapi. Jika digabungkan, keduanya mengubah proses pembuatan kebijakan berbasis bukti dari pendekatan linear dan top-down menjadi kerangka partisipatif yang dinamis. Komunikasi sains reflektif membangun kepercayaan dan inklusivitas, sementara kontekstualisasi memastikan keterterapan dan resonansi solusi ilmiah. Dua pendekatan ini krusial dalam menjawab tantangan global seperti pandemi, perubahan iklim, dan disrupsi teknologi, di mana solusi ilmiah harus melintasi lanskap sosiokultural yang beragam. Misalnya, strategi adaptasi perubahan iklim memerlukan pendekatan lokal yang menggabungkan keahlian ilmiah dengan wawasan komunitas. Metode reflektif dan kontekstual memungkinkan ko-kreasi solusi (co-creation solution) yang kuat secara ilmiah dan diterima secara sosial, mendorong partisipasi publik, kesetaraan dan keadilan.

Bukan Hal yang Mudah, Tentu Saja

Integrasi komunikasi reflektif dan kontekstualisasi sains memang membawa banyak manfaat, tetapi tidak lepas dari tantangan serius yang berpotensi mengurangi efektivitasnya. Salah satu hambatan utama adalah kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan. Temuan ilmiah baru sering muncul begitu cepat, sehingga masyarakat kesulitan mencerna dan beradaptasi dengan informasi tersebut. Ketidakpastian data awal, perubahan panduan, dan perkembangan pemahaman ilmiah dapat menimbulkan kebingungan bahkan ketidakpercayaan publik. Fenomena ini terlihat jelas selama pandemi COVID-19, ketika rekomendasi tentang masker dan vaksinasi terus diperbarui seiring kemajuan penelitian. Situasi ini menuntut komunikasi yang transparan dan adaptif untuk menjelaskan dinamika sains kepada publik secara lebih efektif.

Keterbatasan sumber daya juga menjadi tantangan nyata. Kolaborasi antar ilmuwan, jurnalis komunikator, dan komunitas lokal memerlukan waktu, tenaga, dan dana yang tidak sedikit. Partisipasi masyarakat yang diharapkan—kunci untuk memastikan relevansi dan inklusivitas informasi ilmiah—menuntut pendekatan hati-hati dan proses panjang untuk membangun kepercayaan. Di sisi lain, ilmuwan umumnya kurang terlatih dalam komunikasi kepada publik, sementara jurnalis pun perlu meningkatkan pemahaman akan kompleksitas sains. Kesemuanya menambah beban pada sumber daya yang sudah terbatas.

Misinformasi dan polarisasi media semakin memperumit upaya penyampaian sains. Di tengah ekosistem media yang terpecah, pesan ilmiah yang bernuansa kerap kalah bersaing dengan narasi sederhana yang emosional atau sensasional. Media sosial, misalnya, justru memperburuk polarisasi lewat algoritma yang mengutamakan interaksi ketimbang akurasi. Hal ini memicu penyebaran disinformasi yang membentuk opini publik secara keliru. Kondisi ini menyulitkan penyampaian informasi ilmiah kritis kepada audiens yang sudah skeptis atau terjebak dalam “gelembung informasi” (information bubble).

Untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan strategi komunikasi yang lebih terpadu, kolaboratif, dan disesuaikan dengan konteks lokal, serta upaya sistematis untuk meningkatkan literasi sains dan media di masyarakat.

Namun, tantangan ini juga membuka peluang inovasi. Menginstitusionalkan refleksivitas dan kontekstualisasi melalui pelatihan ilmuwan-jurnalis, pengembangan platform kolaboratif yang memungkinkan adanya ko-kreasi solusi, dan integrasi prinsip-prinsip ini dalam evaluasi kebijakan dapat meningkatkan dampak sosial sains. Investasi dalam literasi sains publik dan kemitraan jangka panjang antara ilmuwan, pembuat kebijakan, dan masyarakat juga akan menyelaraskan sains dengan kebutuhan masyarakat.

Integrasi komunikasi sains reflektif dan kontekstualisasi penting untuk menjembatani sains, masyarakat, dan kebijakan. Dengan secara eksplisit mengatasi permasalahan interaksi antara pengetahuan ilmiah dan dimensi sosiokultural-politik, pendekatan ini memperkuat kepercayaan, keadilan, dan kolaborasi. Dengan jalan ini, mereka yang sebelumnya menantang pandangan sains sebagai entitas objektif yang terpisah, dan justru akan tertarik menempatkannya dalam kompleksitas pengalaman manusia. Dengan merangkul refleksivitas dan kontekstualisasi, sains dapat melampaui sekat disiplin dan menjadi kekuatan transformatif bagi kemajuan sosial.

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.