Indeksasi jurnal ilmiah, seperti Scopus dan Web of Science (WoS), telah lama diperuntukkan sebagai tolok ukur utama dalam penilaian keberhasilan akademisi dan evaluasi kinerja penelitian. Ia layaknya diperlakukan sebagai mata uang utama dalam pengukuran kredibilitas akademisi di lingkungan komunitas ilmiah (Latour & Woolgar, 1986). Di Indonesia, paradigma ini diperkuat oleh serangkaian kebijakan kementerian hingga institusi akademik dan riset. Persyaratan seperti publikasi wajib di jurnal-jurnal berindeks Scopus atau WoS sebagai syarat utama pengakuan kredibilitas akademik menjadi hal lumrah dan sebuah kewajiban. Tidak hanya menjadi syarat promosi jabatan, indeksasi juga menjadi mata uang untuk memperoleh pendanaan riset.
Namun, Sebenarnya apakah indeksasi benar-benar dapat dipakai untuk menilai kualitas artikel ilmiah dan penelitian? Atau, apakah hal ini sekadar cerminan obsesi terhadap gengsi akademik yang mengaburkan tujuan fundamental penelitian?
Miskonsepsi tentang Indeksasi Jurnal
Pada mulanya indeksasi jurnal ilmiah dikembangkan seiring kebutuhan komunitas ilmiah untuk mengorganisir dan mengakses literatur ilmiah secara efisien, layanan seperti Index Medicus (1879) dan Chemical Abstratcs (1907) mulai muncul menyediakan daftar artikel ilmiah berdasarkan topik untuk mempermudah peneliti di bidang medis dan kimia dengan tujuan mengkatalogkan semua literatur periodik sesuai terbitan untuk memfasilitasi akses yang lebih mudah bagi peneliti dan profesional. Mortimer Taube mengembangkan Coordinate Indexing System (1951), yang mengenalkan metode pengorganisian literatur ilmiah lebih efisien.
Dari sistem ini kemudian muncul Science Citation Index (SCI) oleh Eugene Garfield (1961), yang tidak hanya mencakup abstrak tetapi juga informasi sitasi, analisis dampak suatu artikel berdasarkan frekuensi sitasinya. Seiring masa awal teknologi informasi digital (1980-1990), berkembang basis data elektronik seperti PubMed dan IEEE Xplore, hingga CiteSeer (1997) yang mempelopori penggunaan algoritma dalam analisis sitasi akademik.
Perkembangan lebih masif dan peningkatan kuantitas publikasi ilmiah memunculkan Web of Science (WoS) oleh Institute for Scientific Information (ISI) di tahun 1997, lalu penerbit komersial Elsevier dengan indeksasi Scopus pada tahun 2004. Dua mesin pengindeks ini, sampai saat ini punya peran sebagai “mata uang” utama dalam publikasi ilmiah. Di Indonesia, pemerintah mengembangkan Science and Technology Index (SINTA) sebagai kanal pengindeks publikasi ilmiah nasional, yang diharapkan dapat meningkatkan visibilitas dan aksesibilitas penelitian.
Dari tujuan awal penciptaan mesin pengindeks artikel ilmiah ini, salah satu miskonsepsi terbesar dalam memahami indeksasi jurnal adalah asumsi bahwa keberadaan jurnal dalam basis data terkemuka, seperti Scopus atau Web of Science (WoS), otomatis menjadi indikator kualitas penelitian yang diterbitkan di dalamnya. Padahal realitasnya, indeksasi hanya menunjukkan bahwa jurnal tersebut memenuhi kriteria administratif tertentu yang disyaratkan oleh mesin pengindeks, termasuk adanya proses peer-review dalam sistem jurnal, struktur publikasi yang baik, dan kejelasan metadata. Namun, telaah lebih dalam pada kualitas artikel individual sangat bergantung pada integritas metodologi, kontribusi substansial, dan signifikansi ilmiah yang dihasilkan oleh peneliti.
Signifikasi dan kontribusi ilmiah ini juga ditentukan oleh konsensus ilmiah di tiap disiplin ilmu. Seperti pada 24 Juni 2024 lalu, sebuah penelitian tentang penyakit Alzheimer yang diterbitkan di jurnal Nature pada tahun 2006 telah dicabut setelah adanya tuduhan manipulasi gambar. Artikel berjudul “A Specific amyloid-ß protein assembly in the brain impars memory” telah dikutip sebanyak 2375 kali dan diakses lebih dari 74.000 pembaca. Penerbit artikel ini adalah Nature yang merupakan salah satu jurnal ilmiah yang paling banyak disitasi di dunia, yang paling banyak dibaca dan paling bergengsi di dunia. Pada tahun 2023, menurut mesin pengindeks WOS, mempunyai faktor dampak jurnal (Impact Factor) sebesar 50.5, dan menurut pengindeks ScimagoLab (Scopus) masuk pada kuartil jurnal Q1 (18.51).
Kasus diatas satu dari sekian kasus yang bisa dijadikan bahan pemikiran bahwa indeksasi jurnal tidak dapat dijadikan acuan satu-satunya dalam penilaian kualitas apalagi kredibilitas riset. Kekeliruan ini lebih jauh, sering kali disalahgunakan untuk menyederhanakan evaluasi penelitian yang ditentukan oleh jenis dan metrik indeksasi tertentu. Indikator seperti Impact Factor (IF) yang dihubungkan dengan jurnal-jurnal berindeks memiliki keterbatasan mendasar Angka ini hanyalah rata-rata jumlah kutipan artikel di jurnal tersebut dalam kurun waktu tertentu dan sangat dipengaruhi oleh distribusi kutipan yang tidak merata. Beberapa artikel yang sangat sering dikutip dapat mendistorsi nilai IF, sehingga tidak mencerminkan kualitas semua artikel yang diterbitkan.
Dalam beberapa kasus, obsesi terhadap indeksasi telah dieksploitasi oleh ‘predator’ jurnal hingga jaringan jual beli artikel ilmiah (paper mill) (Zein, 2024). Pencabutan artikel ilmiah itu juga, mengindikasikan adanya praktek scientific misconduct yang dilakukan oleh para akademisi yang pragmatis dan mementingkan kepentingan ekonomi. Situasi ini sering kali mengabaikan standar etika dan kualitas akademik. Fenomena ini membuktikan bahwa indeksasi bukanlah penjamin mutlak kualitas, melainkan sekadar alat untuk meningkatkan visibilitas.
Dampak Miskonsepsi pada Akademisi dan Institusi
Miskonsepsi ini menimbulkan berbagai konsekuensi negatif dalam dunia akademik, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Dengan kebijakan yang berfokus pada kuantitas artikel ilmiah dan ukuran sitasi, akademisi seolah diarahkan untuk memprioritaskan topik-topik yang memiliki daya tarik global agar diterima di jurnal berindeks internasional. Akibatnya, isu-isu lokal yang mendesak seperti kesehatan masyarakat, keberlanjutan lingkungan, atau pendidikan berbasis komunitas sering terabaikan karena dianggap tidak relevan bagi audiens internasional.
Tekanan untuk mempublikasikan artikel ilmiah di jurnal berindeks (Scopus dan WOS) juga memicu perilaku akademik yang tidak etis. Praktik seperti plagiarisme, fabrikasi data, hingga ‘salami slicing’ (memecah penelitian menjadi bagian-bagian kecil untuk meningkatkan jumlah publikasi) hingga praktek paper mill menjadi semakin umum. Ini tidak hanya merugikan kredibilitas individu peneliti, tetapi juga melemahkan integritas komunitas akademik secara keseluruhan. Lebih dari itu sebagai entitas publik, lembaga riset dan universitas yang didanai oleh publik tidak mendapatkan dampak yang memadai dalam diseminasi ilmu pengetahuan.
Memang harus diakui, ilmuwan dari negara berkembang sering kali menghadapi tantangan struktural yang menghambat akses mereka ke jurnal-jurnal berindeks tinggi. Ketimpangan berupada hambatan bahasa, keterbatasan pendanaan, dan kurangnya akses terhadap kolaborasi internasional membuat kontribusi mereka kurang dihargai, meskipun relevan dan signifikan secara lokal. Ketidakadilan ini menciptakan eksklusi sistemik yang mempersempit keragaman suara dalam ilmu pengetahuan global.
Paradigma Alternatif Kebijakan Akademik
Kondisi penggunaan ukuran bibliometrik yang melebihi fungsinya bukan hanya terjadi di Indonesia dan negara berkembang, ukuran prestise ini masih dipakai di negara maju. Walaupun sudah disadari dampaknya, upaya mengurangi ketergantungan global pada mesin pengindeks sebagai ukuran kinerja akademik terus diusahakan. Gerakan sains terbuka (open science) global memunculkan Declaration on Research Assesment (DORA) pada 2012, Leiden Manifesto pada 2021, hingga Coalition for Advancing Research Assessment (COARA) yang disponsori Uni Eropa pada 2023. Dalam konteks negara berkembang dan Indonesia khususnya, untuk mengatasi dampak negatif dari pendekatan evalulasi kinerja berbasis indeksasi, diperlukan perubahan paradigma yang lebih inklusif dan holistik dalam menilai kualitas penelitian.
Reformasi kebijakan akademik di tingkat institusi dan nasional sangat penting untuk menciptakan lingkungan penelitian yang lebih inklusif dan relevan. Kementerian terkait dapat mendorong sistem evaluasi yang menempatkan dampak penelitian sebagai prioritas utama, bukan sekadar indeksasi atau IF. Insentif juga dapat diberikan kepada penelitian yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat atau berkontribusi pada penyelesaian masalah strategis nasional. Lebih lanjut, institusi akademik harus memperkuat program pengembangan kapasitas bagi editor jurnal dan peneliti, termasuk pelatihan dalam penulisan ilmiah dan manajemen editorial. Dengan pendekatan ini, jurnal lokal dapat memenuhi standar internasional tanpa kehilangan karakteristik uniknya.
Salah satu praktik yang belum banyak dilakukan dalam implementasi transparansi riset adalah memberikan penghargaan pada akademisi yang melakukan praktik transparansi riset dengan mengadopsi open data pada publikasi yang dilakukannya. Termasuk menghubungkan dengan infrastruktur sains terbuka seperti Repositori Ilmiah Nasional (RIN) atau pengunggahan pra-publikasi (pre-print) pada repositori lembaga. Dengan memberikan insentif pada praktik ini, maka upaya telaah bersama pada kualitas riset publik akan dapat diupayakan bersama untuk mendorong transparansi juga memastikan tanggungjawab penggunaan anggaran publik.
Indeksasi jurnal memang penting untuk meningkatkan visibilitas penelitian, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya tolok ukur kualitas ilmiah.
Obsesi gengsi pada indeksasi tanpa pemahaman yang mendalam hanya akan mempersempit prioritas penelitian dan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan yang inklusif. Penilaian yang lebih holistik dan kontekstual diperlukan untuk mendorong ekosistem penelitian yang berorientasi pada kontribusi nyata bagi masyarakat. Tidak sekedar mengejar skor H-indeks, atau berebut gengsi ‘mengadu’ jumlah sitasi setiap akhir tahun.
