Resensi Buku Klasik Bruno Latour dan Steve Wollgar “Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts”.
Dalam karya mereka, Laboratory Life: The Construction of Scientific Facts (1979), Bruno Latour dan Steve Woolgar menantang pandangan tradisional tentang objektivitas ilmiah dengan mengemukakan bahwa konsensus ilmiah bukan sekadar hasil penemuan kebenaran universal.
Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa konsensus adalah fenomena yang dikonstruksi secara sosial, dibentuk melalui negosiasi, perdebatan, dan praktik di dalam komunitas ilmiah. Perspektif ini menandai pergeseran penting dari pandangan positivis yang menganggap sains sebagai pencarian pengetahuan objektif yang netral, menuju pemahaman tentang bagaimana faktor sosial, budaya, dan institusional memengaruhi produksi “fakta ilmiah.”
Konsensus Ilmiah Sebagai Konstruksi Sosial
Latour dan Woolgar, melalui studi etnografis mereka tentang praktik ilmiah di Laboratorium, menunjukkan bahwa proses mencapai konsensus melibatkan lebih dari sekadar validasi empiris. Proses ini tertanam dalam dinamika sehari-hari laboratorium, di mana fakta dinegosiasikan dan distabilkan melalui interaksi antara ilmuwan, penggunaan metodologi tertentu, dan struktur institusional.
Pengetahuan ilmiah, menurut mereka, tidak muncul secara terpisah dari konteks sosial-politik di mana ia diproduksi. Sebaliknya, pengetahuan adalah hasil dari kesepakatan kolektif di antara para ilmuwan, yang dipengaruhi oleh dinamika kekuasaan, prioritas pendanaan, dan norma profesional. Proses ini hal yang menurut mereka lumrah dilakukan oleh universitas dan lembaga riset untuk mempertahankan apa yang mereka katakan sebagai “menjaga nama baik” yang mempengaruhi aliran kekuasaan dan lancarnya pendanaan.
Salah satu argumen mereka yang paling provokatif adalah bahwa fakta ilmiah memperoleh status sebagai “kebenaran” bukan hanya karena bukti empiris, tetapi karena praktik dan retorika yang membuatnya kredibel dalam komunitas ilmiah. Misalnya, sebuah temuan dianggap “final” ketika sering dirujuk, direproduksi, dan divalidasi melalui publikasi jurnal, konferensi, dan dukungan institusional. Proses iteratif ini lebih berkaitan dengan pencapaian stabilitas dan konsensus dalam kerangka pemahaman tertentu daripada penemuan kebenaran yang tidak berubah.
Peran Institusi dan Dinamika Kekuasaan
Latour dan Woolgar menyoroti peran institusi dalam membentuk konsensus ilmiah. Laboratorium, universitas, dan lembaga pendanaan tidak hanya mendukung penelitian, tetapi juga secara aktif membentuk pertanyaan yang diajukan dalam hipotesis awal, metodologi yang digunakan, dan interpretasi yang dianggap dapat diterima. Institusi-institusi ini sering kali beroperasi dalam sistem sosial-politik dan ekonomi yang lebih luas, yang berarti bahwa konsensus ilmiah dapat mencerminkan prioritas dan bias sistem tersebut. Sebagai contoh, prioritas penelitian mungkin sejalan dengan kepentingan pemerintah atau korporasi yang menyediakan pendanaan, sehingga pendekatan atau pertanyaan alternatif mungkin terpinggirkan.
Dinamika kekuasaan juga memainkan peran penting dalam konstruksi konsensus ilmiah. Ilmuwan senior, editor jurnal ilmiah, dan penjaga gerbang (science watchdog)—termasuk jurnalis sains di luar pagar lembaga—lainnya terkadang memiliki pengaruh yang tidak proporsional dalam menentukan temuan mana yang dianggap kredibel. Hal ini dapat menyebabkan pengucilan perspektif yang berbeda atau metodologi alternatif, memperkuat paradigma dominan, dan membuat proses mencapai konsensus menjadi politis. Sekuat itu kekuatan lembaga punya pengaruh terhadap proses ini.
Kritik Terhadap Pandangan Latour dan Woolgar: Reliabilitas dan Validitas
Pandangan Latour dan Woolgar memiliki implikasi mendalam terhadap pemahaman tentang sifat pengetahuan ilmiah. Dengan membingkai konsensus sebagai proses yang dikonstruksi secara sosial, mereka menantang gagasan tentang sains sebagai sesuatu yang murni objektif atau apolitis.
Sebaliknya, mereka mengungkapkan bahwa sains adalah aktivitas yang dinamis, diperdebatkan, dan bergantung pada konteks. Perspektif ini sejalan dengan bidang kajian Science and Technology Studies (STS), yang berupaya memahami sains sebagai praktik manusia yang tertanam dalam konteks sosial, budaya, dan sejarah.
Para kritikus pandangan ini berpendapat bahwa pendekatan ini berisiko merusak kepercayaan publik terhadap sains dengan menyamakan sifat sosial dari konsensus dengan kurangnya reliabilitas atau validitas. Namun, Latour dan Woolgar berpendapat bahwa pengakuan terhadap konstruksi sosial sains tidak mengurangi nilainya, melainkan menyoroti perlunya transparansi dan refleksi dalam praktik ilmiah.
Dalam hal ini Latour dan Woolgar justru menantang balik bahwa transparansi harus menjadi kritik awal untuk membedah apa yang mereka (kritikus) sebut sebagai reliabilitas dan validitas dalam penciptaan konsensus. Bahkan dalam karya klasik ini ada refleksi yang patut dilayangkan yang menarik sebagai berikut.
“The activity of the laboratory consists of transforming rats and chemicals into figures and graphs. Researchers are like madmen, obsessed with the production of papers.”
Latour dan Woolgar menilai jika kehidupan sehari-hari di laboratorium sering kali berpusat pada produksi artikel ilmiah, yang menjadi “mata uang” utama di komunitas ilmiah.
Fokus–seringkali hingga obsesif–pada menghasilkan “paper” mencerminkan dinamika profesional dan tekanan institusional, di mana kredibilitas seorang ilmuwan sering kali diukur berdasarkan jumlah dan dampak publikasinya. Hal ini juga menyoroti bagaimana praktik laboratorium diarahkan untuk menghasilkan data yang dapat dikemas menjadi publikasi, bukan sekadar mengejar “kebenaran.”
Konsep konsensus ilmiah sebagai konstruksi sosial yang diartikulasikan oleh Latour dan Woolgar mengundang kita untuk memikirkan kembali bagaimana pengetahuan ilmiah diproduksi dan divalidasi. Hal ini menyoroti pentingnya memeriksa faktor sosial, institusional, dan budaya yang membentuk apa yang diterima sebagai “kebenaran” dalam sains. Memahami konsensus sebagai proses yang dinegosiasikan, kita dapat lebih menghargai kompleksitas penyelidikan ilmiah dan perlunya praktik yang inklusif, adil, dan reflektif dalam produksi pengetahuan.
