Membaca Strategi Kepemimpinan Satryo Brodjonegoro di Kemendikti-Saintek

Resmi hari ini (21/10/2024) Presiden Prabowo Subianto melantik para menteri Kabinet Merah Putih yang akan membantu dalam pemerintahannya bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada lima tahun ke depan. Pelantikan tersebut berlangsung di Istana Negara, Jakarta. Menteri ini sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 133/P Tahun 2024 akan bekerja pada masa 2024-2029 (jika tidak ada reshuffle kabinet).

Setelah muncul sejumlah nama dan beragam spekulasi nomenklatur kementerian, maka sejak kemarin sudah jelas ditetapkan nama Prof. Dr. Ir. Satryo Soemantri Brodjonegoro menjabat sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Posisi ini merupakan kementerian “pecahan” dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbud-Ristekdikti) yang sebelumnya dipegang oleh Nadiem Makariem. Dalam tugasnya Satryo akan dibantu oleh dua orang Wakil Menteri (Wamen) yaitu Prof. Dr. Fauzan, M.Pd dan Prof. Stella Christie, P.hD.

Publik terutama dosen di Indonesia sangat menantikan apa saja yang menjadi paradigma kepemimpinan Satryo Brodjonegoro untuk menggerakkan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti-Saintek) ini selama lima tahun kedepan. Mengingat posisi ini akan membawahi hampir seluruh universitas dan lembaga terkait dengan pendidikan tinggi (selain Universitas di bawah Kementerian Agama) di Indonesia. Selain para dosen dan sumberdaya pendukung pendidikan tinggi, ada kemungkinan posisi peneliti akan ikut bergabung, walaupun posisi Badan Riset Nasional (BRIN) saat ini belum jelas ada diposisi apa dibawah presiden. Hingga kemarin posisi kelembagaan ini juga belum banyak dibicarakan oleh Presiden Prabowo Subianto.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, perubahan kelembagaan ini setidaknya memakan waktu lebih, secara birokratis dengan banyaknya sumberdaya dibawah kementerian/direktorat jenderal sebelumnya proses birokratis ini memakan waktu ‘setidaknya’ satu tahun untuk dapat bekerja dengan tugas dan fungsi optimal.

Namun begitu, penting bagi kita untuk membuat sebuah analisa tentang bagaimana Satryo Brodjonegoro akan memimpin kementerian strategis ini.

Analisa dan paradigma yang akan diambil ini dapat kita diskusikan dalam webinar yang diselenggarakan pada 15 Oktober 2024—sebelum Satryo Brodjonegoro resmi terpilih sebagai menteri—ia memaparkan berbagai tantangan dan strategi untuk memperbaiki kondisi perguruan tinggi di Indonesia. Webinar ini menjadi salah satu refleksi penting dari visinya yang kelak (mungkin) diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakannya sebagai Menteri.

Peringkat Global Universitas di Indonesia. Tangkapan layar paparan Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam Webinar yang dilakukan oleh President University pada tanggal 15 Oktober 2024.

“Peringkat perguruan tinggi kita, jika dibandingkan dengan negara-negara di G20, masih jauh tertinggal. Padahal, kita memiliki potensi besar. Namun, potensi ini belum dimaksimalkan dengan baik,” ujar Satryo dalam paparannya.

Dalam penjelasannya, ia menyoroti bahwa Universitas Indonesia (UI) sebagai perguruan tinggi terbaik di Indonesia hanya menempati peringkat ke-942 di level dunia. Hal ini menunjukkan kesenjangan yang signifikan dibandingkan universitas-universitas di negara-negara G20 lainnya, seperti Harvard University di Amerika Serikat yang menduduki peringkat pertama secara global. Tidak hanya itu, universitas-universitas lain di Indonesia seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Airlangga (UNAIR) juga masih berada di peringkat yang jauh dari papan atas.

Satryo Brodjonegoro menekankan bahwa salah satu penyebab utama keterpurukan “peringkat” universitas di Indonesia adalah rendahnya kuantitas dan kualitas publikasi ilmiah.

“Tanpa peningkatan (kualitas) dalam riset dan publikasi, sangat sulit bagi kita untuk bersaing di dunia akademis internasional,” tambahnya.

Ranking Universitas: Bukan Segalanya

Meskipun peringkat universitas menjadi salah satu indikator daya saing global, Satryo Brodjonegoro juga mengingatkan bahwa ranking tidak selalu mencerminkan kualitas yang sesungguhnya.

“Ranking bukanlah segalanya. Yang lebih penting adalah keunikan universitas itu sendiri. Kampus yang memiliki keunikan akan dicari orang, karena memberikan sesuatu yang berbeda dan relevan. Ranking hanya membandingkan entitas yang serupa, padahal setiap universitas memiliki visi, misi, dan budaya yang berbeda,” jelas Satryo Brodjonegoro yang juga mantan Dirjen Pendidikan Tinggi era Kabinet Persatuan Nasional.

Pernyataan ini menyoroti pentingnya fokus pada visi dan misi unik yang dimiliki oleh masing-masing universitas. Setiap perguruan tinggi memiliki peran yang berbeda dalam mencetak lulusan, memberikan kontribusi kepada masyarakat, dan mengembangkan penelitian. Ranking global cenderung menyamakan semua institusi berdasarkan indikator yang seragam, padahal, menurutnya, keberhasilan sebuah universitas tidak bisa diukur hanya melalui peringkat.

Namun, hal ini bukan berarti Indonesia tidak harus memperbaiki kualitas akademiknya. Sebaliknya, peringkat bisa menjadi refleksi tantangan yang perlu diatasi, khususnya terkait kurangnya publikasi riset ilmiah yang berkualitas dan kontribusi yang lebih signifikan di tingkat global.

Human Capital Index Indonesia Masih Tertinggal

Selain persoalan ranking universitas, Satryo Brodjonegoro juga membahas rendahnya Human Capital Index (HCI) Indonesia, yang hanya berada di peringkat 96 dari 175 negara dengan skor 0,54 pada tahun 2020. Skor ini menunjukkan bahwa seorang anak yang lahir di Indonesia hanya akan mencapai 54% dari produktivitas potensialnya saat ia dewasa, dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki kualitas SDM lebih baik.

Human Capital Index (HCI) yang rendah. Tangkapan layar paparan Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam Webinar yang dilakukan oleh President University pada tanggal 15 Oktober 2024

“Jika kita tidak segera melakukan perubahan besar dalam sistem pendidikan kita, Indonesia akan terus tertinggal dalam mencetak SDM yang berkualitas,” tegasnya.

Menurutnya kualitas pendidikan yang buruk, minimnya keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri, dan rendahnya tingkat kelulusan perguruan tinggi menjadi faktor-faktor yang memperparah masalah ini.

Skor PISA Siswa Indonesia Masih Rendah. Tangkapan layar paparan Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam Webinar yang dilakukan oleh President University pada tanggal 15 Oktober 2024

Menurut data yang dipaparkan, rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya 8,77 tahun, sedikit di bawah rata-rata global 8,7 tahun. Selain itu, skor harmonisasi tes di bidang pendidikan juga menunjukkan hasil yang mengecewakan, di mana Indonesia masih tertinggal dalam aspek kompetensi akademis dasar, terutama di bidang STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika).

Skor PISA yang Rendah: Kesenjangan Kompetensi STEM

Rendahnya kompetensi akademis Indonesia tercermin dalam skor Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2022, di mana Indonesia menempati peringkat ke-66 dari 81 negara. Skor ini menjadi tanda bahwa sistem pendidikan Indonesia, terutama di bidang STEM, belum mampu menghasilkan siswa-siswa yang kompeten secara global. Satryo Brodjonegoro menjelaskan bahwa tren skor PISA Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di bidang matematika dan sains.

“STEM adalah fondasi masa depan, dan tanpa fokus yang lebih serius di bidang ini, kita akan tertinggal jauh dari negara-negara lain,” kata Satryo.

Ia juga menekankan perlunya kolaborasi antara sektor pendidikan dengan industri untuk mendorong inovasi dan meningkatkan kualitas pendidikan STEM. Menurutnya, investasi yang lebih besar di bidang pendidikan sains dan teknologi dapat membantu meningkatkan daya saing Indonesia di era revolusi industri 4.0.

Selain rendahnya peringkat perguruan tinggi dan kompetensi siswa, masalah lain yang diangkatnya adalah minimnya kontribusi Indonesia dalam kekayaan intelektual global. Pada tahun 2022, hanya 15% dari pendaftaran paten di Indonesia yang berasal dari penduduk lokal. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan riset dan inovasi di dalam negeri masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara maju.

“Inovasi adalah kunci untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan kita tidak bisa hanya mengandalkan teknologi dari luar. Kita perlu menciptakan teknologi kita sendiri,” tegas alumni teknik mesin dari University of California, Berkeley, tahun 1985

Untuk meningkatkan jumlah dan kualitas pendaftaran paten, ia mendorong pemerintah dan perguruan tinggi untuk meningkatkan investasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D). Ia juga menyoroti pentingnya menciptakan ekosistem yang mendukung hilirisasi riset, di mana hasil-hasil penelitian dapat diaplikasikan langsung dalam dunia industri.

Urgensi Mindset Riset dan Riset Dasar di Perguruan Tinggi Indonesia

Salah satu poin kunci yang ditekankan dalam webinar ini adalah pentingnya membangun mindset riset yang kuat di kalangan akademisi dan mahasiswa di Indonesia. Menurutnya, riset tidak hanya menjadi fondasi bagi perkembangan teknologi, tetapi juga menjadi alat untuk menciptakan kebijakan publik yang berbasis bukti.

Research Mindset. Tangkapan layar paparan Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam Webinar yang dilakukan oleh President University pada tanggal 15 Oktober 2024

Ia mengutip Ahmed Zewail (1999), seorang peraih Nobel, yang menyatakan bahwa riset dasar terbukti memberikan keuntungan jangka panjang yang signifikan, meskipun hasilnya mungkin tidak terlihat dalam waktu singkat. Riset dasar menciptakan pengetahuan baru yang kemudian dapat diaplikasikan ke dalam inovasi dan produk yang bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam konteks ini, ia mengingatkan bahwa Indonesia harus mulai memprioritaskan riset dasar jika ingin menjadi negara yang kompetitif secara global. “Semua teknologi maju yang kita nikmati saat ini, seperti mikroprosesor dan nanoteknologi, berasal dari riset dasar yang dilakukan puluhan tahun lalu,” jelasnya.

Riset dasar, menurutnya, menjadi fondasi bagi berbagai inovasi yang dapat membawa kemajuan teknologi yang sangat signifikan. Contoh-contoh seperti perkembangan mikroprosesor, laser, dan nanoteknologi adalah buah dari riset dasar yang dilakukan para ilmuwan di awal abad ke-20. Saat ini, lanjutnya, sekitar 30% Produk Nasional Bruto (PNB) negara-negara maju berasal dari teknologi yang berbasis pada mekanika kuantum, hasil riset dasar yang pertama kali ditemukan oleh Max Planck pada tahun 1900.

Lebih lanjut, ia juga mengutip kontribusi riset dasar dalam bidang bioteknologi, yang dimulai pada akhir tahun 1960-an ketika Hamilton Smith menemukan enzim yang mampu memilah DNA. Penemuan ini membawa revolusi dalam bioteknologi yang kini berkontribusi besar terhadap perekonomian, terutama di Amerika Serikat. Di tahun 2012, bioteknologi menghasilkan revenue sebesar USD 324 miliar untuk AS. Hal ini, tegas menjadi bukti kuat bahwa investasi dalam riset dasar tidak hanya berdampak pada kemajuan teknologi, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi negara.

“Hampir semua teknologi maju yang kita nikmati saat ini berasal dari riset dasar. Riset dasar menciptakan dasar ilmiah yang memungkinkan inovasi-inovasi teknologi yang revolusioner,” jelas Dosen Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung

Hilirisasi Riset: Kolaborasi dengan Industri Sebagai Kunci

Satryo Brodjonegoro menyoroti pentingnya hilirisasi riset dalam mendorong pertumbuhan industri di Indonesia. Hilirisasi riset berarti mengaplikasikan hasil penelitian langsung ke dalam proses produksi dan inovasi industri. Menurutnya, salah satu cara untuk meningkatkan hilirisasi riset adalah dengan membangun ekosistem inovasi yang memungkinkan kolaborasi antara perguruan tinggi, pemerintah, dan sektor swasta.

Ia menekankan bahwa keberhasilan strategi hilirisasi riset sangat tergantung pada kemampuan Indonesia untuk menghasilkan inovasi teknologi yang relevan dengan kebutuhan industri lokal. Oleh karena itu, ia mendorong peningkatan investasi di bidang riset dan pengembangan, baik oleh pemerintah maupun sektor swasta. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat memperbaiki daya saing inovasi yang mampu bersaing di tingkat global.

Dalam penutupan webinar, Prof. Satryo menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi oleh sistem pendidikan dan perguruan tinggi di Indonesia sangat besar, tetapi bukan berarti tidak dapat diatasi. Ia juga memberikan sasaran fokus keunggulan yang dapat didorong oleh universitas di Indonesia, setidaknya ada tiga area besar yang ia dapat digarap dengan pendekatan inovasi dan perbaikan riset dasar.

Penelitian Pangan, Medis dan Penelitian Hilirasi Industri. Tangkapan layar paparan Satryo Soemantri Brodjonegoro dalam Webinar yang dilakukan oleh President University pada tanggal 15 Oktober 2024

“Jika kita tidak segera melakukan perubahan, kita akan terus tertinggal. Namun, jika kita berani berinvestasi dalam pendidikan dan riset, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu kekuatan baru di dunia,” tutupnya.

Dengan pendekatan yang tepat dan komitmen dari semua pihak, Satryo Brodjonegoro yakin bahwa perguruan tinggi Indonesia dapat bertransformasi menjadi pusat inovasi yang tidak hanya bersaing di tingkat nasional, tetapi juga di kancah global.

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.