Positive Deviance dalam Penanganan Gizi Buruk: Pendekatan Inovatif untuk Perubahan Sosial

Bagi banyak dari kita yang terlibat dalam dunia kesehatan masyarakat, khususnya di bidang Gizi Kesmas dan pemberantasan gizi buruk, istilah Positive Deviance (PD) bukanlah hal yang asing. Pendekatan ini telah menjadi fokus utama dalam upaya mengatasi masalah gizi buruk, terutama bagi anak-anak balita di berbagai daerah.

Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Positive Deviance? Bagaimana pendekatan ini bisa menjadi solusi untuk mengatasi tantangan-tantangan besar dalam gizi buruk yang kerap kita hadapi? Mari kita telaah lebih dalam.

Apa Itu Positive Deviance?

Positive Deviance adalah pendekatan untuk perubahan sosial dan perilaku yang berfokus pada individu-individu dalam suatu komunitas yang menunjukkan perilaku atau strategi tidak biasa, namun berhasil menemukan solusi yang lebih baik daripada orang lain dalam menghadapi masalah yang sama, meskipun tanpa sumber daya atau pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan rekan-rekan mereka. Individu-individu yang menunjukkan perilaku ini disebut sebagai “penyimpang positif” atau positive deviants.

Definisi ini berangkat dari premis sederhana: meskipun banyak orang menghadapi tantangan serupa, ada segelintir orang yang menemukan cara-cara unik untuk mengatasi tantangan tersebut dan mencapai hasil yang lebih baik. Pendekatan ini tidak mengandalkan bantuan eksternal atau sumber daya tambahan, melainkan memanfaatkan kebijaksanaan yang sudah ada dalam komunitas itu sendiri.

Sejarah dan Latar Belakang Positive Deviance

Konsep Positive Deviance pertama kali dicetuskan oleh Wilkins pada tahun 1964, yang menggambarkan penyimpangan sebagai sebuah kurva berbentuk lonceng. Di sisi kiri terdapat penyimpangan negatif, yaitu tindakan-tindakan yang melanggar norma sosial, sedangkan di sisi kanan terdapat tindakan yang sangat baik, atau penuh dengan kebaikan dan keberhasilan. Meskipun sangat sedikit yang secara ekstrem terlibat dalam tindakan penuh kebaikan, prinsip ini menekankan bahwa di antara masyarakat, ada individu-individu yang melakukan hal-hal luar biasa dan positif meskipun dalam kondisi yang sama dengan orang lain.

Lebih lanjut, Joseph Sternin, seorang ahli yang terlibat dalam riset ini, bersama istrinya Monique, mengembangkan pendekatan ini pada tahun 1990-an sebagai respons terhadap permintaan dari pemerintah Vietnam untuk mengatasi malnutrisi yang luar biasa di negara tersebut. Alih-alih mengandalkan solusi konvensional, seperti memperbaiki sistem sanitasi atau meningkatkan distribusi makanan, Sternin memilih untuk mempelajari bagaimana sebagian kecil anak-anak yang hidup dalam kondisi serupa mampu mengatasi kekurangan gizi lebih cepat daripada yang lain. Dari sinilah muncul konsep Positive Deviance, yang mengandalkan perilaku dan kebiasaan baik yang sudah ada dalam komunitas, tanpa memerlukan intervensi eksternal yang besar.

Positive Deviance dalam Konteks Gizi Buruk

Di Indonesia, Positive Deviance telah digunakan dalam penanganan masalah gizi buruk di kalangan anak-anak balita. Program ini berfokus pada pemberdayaan masyarakat untuk menemukan solusi lokal yang lebih efektif dalam meningkatkan status gizi anak-anak. Hal yang membedakan Positive Deviance dengan pendekatan lainnya, seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT), adalah pendekatan ini melibatkan masyarakat secara langsung, menggali kebiasaan dan perilaku yang sudah ada dalam komunitas yang terbukti efektif, dan kemudian menyebarluaskannya ke masyarakat lainnya.

Melalui Positive Deviance, kita belajar dari anak-anak atau keluarga yang tidak mengalami gizi buruk meskipun mereka berada di lingkungan yang sama dan menghadapi tantangan yang serupa. Apa yang mereka lakukan berbeda? Mungkin mereka lebih sering memberi makan anaknya dengan makanan bergizi lokal yang jarang dipilih oleh orang lain. Atau mereka mungkin memiliki kebiasaan makan yang lebih teratur. Dengan memperkuat dan menyebarkan kebiasaan-kebiasaan ini, kita bisa merubah perilaku di tingkat komunitas dan mengurangi prevalensi gizi buruk tanpa perlu menunggu perubahan besar dalam sistem yang lebih luas.

Tahapan dalam Penerapan Positive Deviance

Konsep Positive Deviance bukanlah pendekatan yang bisa diterapkan sembarangan. Ada serangkaian tahapan yang harus dilalui oleh komunitas yang terlibat, yang biasa disebut dengan 6D sebagai langkah-langkah penting dalam proses ini:

  1. Define: Tahap pertama adalah mendefinisikan masalah dan solusinya. Fasilitator harus mendengarkan dari komunitas mengenai apa yang mereka anggap sebagai masalah utama dan penyebabnya. Misalnya, di suatu desa, gizi buruk pada anak-anak keluarga miskin menjadi masalah utama.
  2. Determine: Selanjutnya, tentukan apakah ada individu atau keluarga dalam komunitas tersebut yang menunjukkan perilaku yang diinginkan atau lebih baik dibandingkan dengan orang lain. Misalnya, ada anak dari keluarga miskin yang gizinya baik meskipun menghadapi tantangan yang sama.
  3. Discover: Cari tahu mengapa individu-individu ini bisa lebih berhasil dalam mengatasi masalah gizi buruk dibandingkan dengan yang lain. Apa yang mereka lakukan secara berbeda? Mungkin mereka lebih sering memberi makan anak-anak mereka dengan makanan bergizi yang tersedia di sekitar mereka.
  4. Design: Rancang strategi yang memungkinkan orang lain dalam komunitas untuk mengakses dan mengadopsi perilaku positif tersebut. Misalnya, membuat program gizi yang mengajak anggota masyarakat untuk berbagi makanan sehat yang mereka berikan kepada anak-anak mereka.
  5. Discern: Amati efektivitas intervensi dengan memantau dan mengevaluasi dampaknya. Misalnya, dengan menimbang status gizi anak-anak yang berpartisipasi dalam program dan melihat perubahan dalam pola makan masyarakat.
  6. Disseminate: Sebarkan keberhasilan yang telah dicapai kepada komunitas lain. Ciptakan semacam “universitas hidup” atau laboratorium sosial di mana orang bisa belajar tentang perilaku positif ini dan mengadopsinya di tempat mereka masing-masing.

Kearifan Lokal dalam Positive Deviance

Salah satu kekuatan utama dari Positive Deviance adalah pemanfaatan kearifan lokal yang sudah ada dalam masyarakat. Penyimpangan positif tidak selalu merujuk pada tindakan yang ekstrem atau luar biasa. Dalam konteks ini, penyimpangan positif adalah perilaku yang dianggap berbeda oleh sebagian orang, namun memiliki dampak yang sangat positif dalam menghadapi tantangan besar seperti gizi buruk. Oleh karena itu, pendekatan ini menekankan pada kemampuan komunitas untuk menemukan solusi dalam kerangka lokal mereka sendiri.

Sebagai contoh, dalam beberapa komunitas, ibu-ibu mungkin memiliki cara-cara unik untuk memberi makan anak-anak mereka, yang meskipun tidak konvensional, ternyata lebih efektif dalam meningkatkan status gizi. Dengan mengidentifikasi dan menyebarkan kebiasaan ini, kita dapat menciptakan perubahan yang lebih berkelanjutan dan efektif dibandingkan dengan pendekatan yang hanya bergantung pada bantuan eksternal.

Positive Deviance menawarkan sebuah pendekatan inovatif untuk mengatasi masalah sosial dan kesehatan masyarakat, khususnya dalam konteks pemberantasan gizi buruk. Dengan melibatkan komunitas secara aktif, menggali kebiasaan baik yang sudah ada, dan memperluas adopsi perilaku positif ini, kita tidak hanya memberikan solusi yang lebih tepat waktu dan kontekstual, tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk menjadi bagian dari perubahan itu sendiri. Positive Deviance bukan hanya soal mendeteksi penyimpangan yang positif, tetapi juga tentang menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan dari dalam komunitas itu sendiri.

Leave a Comment Here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.