Memahami Kebijakan Kesehatan

Dalam kajian kebijakan kita mengenal dua macam cakupan kebijakan, yaitu yang menyangkut sektor publik (public goods) dan sektor swasta (private goods). Dalam bahasan mengenai kajian kebijakan kesehatan ini kita lebih mengkategorikannya ke dalam sektor publik (public goods). Hal ini dikarenakan beberapa sifat yang menjadi ciri dari kebijakan kesehatan itu sendiri, salah satunya bahwa kebijakan-kebijakan kesehatan adalah suatu produk pemerintah walaupun pada pelaksanaannya sangat banyak juga melibatkan swasta yang implementasinya melibatkan serangkaian sistem kesehatan di dalam negara.  Kebijakan merupakan produk pemerintah dengan kemitraan dengan sektor swasta, dimana keputusannya mempertimbangkan juga aspek politik (Buse, May & Walt, 2005).

Penting tidaknya suatu kebijakan kesehatan dapat dipandang karena sektor kesehatan merupakan bagian dari ekonomi. Kepentingan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari kajian kebijakan kesehatan. Dalam diskusi tentang The Politic of Health (Gardner, 1992) menyimpukan faktor yang mempengaruhi pengembangan, implementasi, dan evaluasi kebijakan antara lain Ekonomi (Kelangkaan Sumber Daya, Melengkapi beberapa prioritas), Kelembagaan (Partai Politik, Pemilihan Umum, Anggota Dewan/Parlemen, Pemerintah, Pelayanan Publik dan Sistem Pemerintahan), Politik (Kelompok yang berkepentingan, Partai Politik) dan Budaya (Tradisi, nilai dan ideologi).

Sektor kesehatan adalah salah satu sektor yang menyerap banyak anggaran belanja negara (APBN) untuk membayar sumber daya kesehatan, walaupun peran serta pemerintah daerah dengan adanya otonomi yang menyangkut pembagian kepentingan dan tanggungjawab dinilai berkurang, namun sektor kesehatan diamanatkan oleh Undang-Undang menyerap minimal 5% dari APBN. Walaupun pada tahun 2015 pada pelaksanaannya anggaran kesehatan masih 3,5% dari APBN (Kemenkeu, 2015).

Dalam kaitan dengan sektor ekonomi, kebijakan kesehatan dapat dijadikan sebagai driver dari usaha peningkatan ekonomi. Inovasi dalam bidang kesehatan yang disertai dengan investasi yang besar merupakan potensi ekonomi meliputi teknologi kesehatan, bio-medical maupun produksi, termasuk industri farmasi. Kepentingan keputusan yang dihasilkan dari kebijakan kesehatan melibatkan urusan hidup dan mati manusia, itulah yang menyebabkan kebijakan ini menjadi sangat penting (Buse, Mays dan Walt, 2005).

Continue reading “Memahami Kebijakan Kesehatan”

Theories and Models Frequently Used in Health Promotion

Based on Five Levels of Influence for Health Related Behaviors and Conditions

As you are planning or describing your program, referring to individual, interpersonal, or community-level (McLeroy and colleagues, 1988) theories that relate to health behavior change is sometimes useful. For example, these theories might be used in the “Causal Assumptions/ Theory of Change” column in your logic model or to help you identify potential points of intervention.

Continue reading “Theories and Models Frequently Used in Health Promotion”

Menyoal Kartu Indonesia Sehat (KIS)

KIS (Kartu Indonesia Sehat) :Sebuah Evaluasi atau Re-Branding Kartu? Adalah sebuah janji politik yang menjadi blunder bagi pemerintahan Presiden Jokowi dan JK, walaupun kebanyakan masyarakat ‘awam’ yang tidak mengikuti perkembangan era pembiayaan kesehatan (JKN) kembali menikmati janji politik di era kampanye terdahulu. Ya, Jamak orang sudah tahu apa itu Kartu Indonesia Sehat (KIS). KIS merupakan sebuah produk pemerintahan Jokowi JK yang memberi bantuan kepada masyarakat miskin. … Continue reading Menyoal Kartu Indonesia Sehat (KIS)

Menakar Masa Depan JKN Pasca Pilpres

Sebuah Perjalanan Panjang

Kita patut ingat 10 (sepuluh) tahun yang lalu saat ketika Presiden Megawati Soekarno Putri yang saat ini juga menjadi Ketua Umum PDI-Perjuangan mensahkan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, pengesahan ini membawa angin segar bagi sistem pelayanan kesehatan yang saat itu masih didominasi oleh pola pembayaran out of pocket atau fee for service. Pola lama itu membuat jarang aksesibilitas biaya bagi masyarakat miskin menjadi kian tidak terjangkau.

Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) memungkinkan terjadinya pergesaran pola kearah managed care dan pola asuransi semesta dengan prinsip gotong-royong. Sejarah mencatat proses terbentuknya UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diawali dengan adannya sidang tahunan MPR RI tahun 2000 dimana saat itu Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang pengembangan konsep SJSN yang kemudian direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep tentang UU Jaminan Sosial oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional).  Sejalan dengan pernyataan Presiden, DPA RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.

Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN – Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN – Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).

Tercatat setidaknya saat itu telah terjadi 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan dari proses pembuatan konsep pertama RUU SJSN hingga konsep terakhir RUU SJSN pada tanggal 14 Januari 2004 dari tim SJSN kepada pemerintah. Kemudian setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari 2004.

Continue reading “Menakar Masa Depan JKN Pasca Pilpres”