Bangsa yang besar konon katanya adalah sebuah bangsa dimana rakyatnya tak lupa sejarah. Seperti pernah Bung Karno sampaikan JASMERAH (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah). Jamak juga di luar negeri macam eropa sana musium sejarah menjadi tempat yang mewah dan penuh dengan pengunjung. Ini sebagai salah satu bukti jika sebuah bangsa dan rakyatnya mencintai proses sejarah. Bagaimana kita?
Pertanyaannya adalah betapa mainstream-nya jawaban kita saat ditanya tanggal 14 Februari itu hari apa? mungkin top of mind kita langsung nyambung dengan perayaan hari V*LENTIN*. Ya begitu adanya. Semua identik dengan hari kasih sayang. Yang Jamak dimaknai dengan beberapa kerat coklat dan beberapa lagi kuntum bunga berikut warna tertentu.
Aku merasa hal ini sedikit memuakkan. Betapa tidak kita berfikir, arus deras budaya yang asalnya juga tidak jelas dan dibuat untuk tujuan menyesatkan bisa menjadi top of mind kita (khususnya remaja). Lihat saja, Headline koran JAWA POS dan beberapa media akan fokus pada perayaan itu hari ini. Memuakkan bukan! Memuakkan sekali buatku karena bagaimana bisa kita mengadopsi “Festival Lupercalia” yang oleh orang Romawi dianggap perayaan ‘nafsu’.
Ingat sebagai bangsa kita harus faham sejarah! Sejarah membuat kita tidak asal ikut-ikutan.
Sedikit yang mengingat hari ini sebagai peringatan aksi heroik pemberontakan tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar pimpinan Shodancho Supriyadi. PETA dibentuk bala tentara Jepang di Indonesia bulan Oktober 1943. Mereka merekrut pemuda Indonesia untuk dijadikan tentara teritorial guna mempertahankan Jawa, Bali dan Sumatera jika pasukan sekutu tiba. PETA adalah salah satu bentuk politik Jepang untuk melibatkan rakyat khususnya pemuda untuk dikerahkan dalam usaha mempertahankan posisinya di Asia Tenggara. Karena Asia Tenggara (Malaysia dan Indonesia dan sekitarnya) adalah ladang minyak dan sumber daya yang sangat diperlukan sebagai pemasok logistik di tengah kampanye Jepang di Asia-Pasifik menghadapi Sekutu.
Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi dan rekan-rekannya adalah lulusan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Bogor memang merupakan kawah candradimuka untuk mencetak perwira PETA. Setelah kurang lebih 6 bulan lamanya mereka mengenyam pendidikan militer, mereka dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas. Termasuk Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi kembali ke Daidan (Batalyon) Blitar. Nurani komandan muda yang baru lulus pendidikan itu tersentak melihat penderitaan rakyat yang diakibatkan perlakuan tentara Jepang. Kondisi Romusha, atau orang yang dikerahkan untuk kerja paksa membangun perbentengan di pantai sangat menyedihkan. Banyak yang mati akibat kelaparan dan disentri tanpa diobati. Belum lagi yang paling keji, pemudi-pemudi dan wanita muda kita ditipu oleh Jepang. Mereka dikirim ke Jakarta untuk mendapat pendidikan sebagai pegawai dan diperkerjakan membantu kantor-kantor Jepang di Jawa, tetapi yang terjadi adalah mereka dipaksa melayani nafsu bejat tentara Jepang. Ini yang membuat beberapa jebolah PETA meradang!
Selain itu, ada aturan walau sekelas Komandan Batalyon atau Daidan, tentara PETA wajib memberi hormat pada serdadu Jepang walau pangkatnya lebih rendah. Harga diri para perwira PETA pun terusik. Bagaimana bisa seorang komandan harus hormat kepada serdadu kopral Jepang!
Seperti yang dituliskan Joyce J Lebra dalam buku ‘Tentara Gemblengan Jepang’ yang diterjemahkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun 1988, disitu dibeberkan jelas persiapan apa saja yang dilakukan Supriyadi dan para Shodanco lain.
Pertemuan rahasia digelar sejak September 1944. Supriyadi merencanakan aksi itu bukan hanya pemberontakan tetapi sebuah revolusi. Para pemberontak itu menghubungi Komandan Batalyon di wilayah lain untuk sama-sama mengangkat senjata. Mereka juga berniat menggalang kekuatan rakyat. Pemberontakan tersebut digelar dengan dibungkus acara pertemuan para Komandan Batalyon PETA.
Namun persiapan belum matang benar, Kenpetai atau polisi rahasia Jepang sudah mencium aksi mereka. Supriyadi cemas. Khawatir mereka keburu ditangkap sebelum aksi dimulai. Gelagat ini berbuah pada malam tanggal 13 Februari 1945, dia memutuskan pemberontakan harus dimulai. Siap atau tidak siap, ini saatnya tentara PETA membalas perlakuan tentara Jepang. Banyak yang menilai pemberontakan ini belum siap, termasuk Soekarno. Dia meminta Supriyadi memikul tanggung jawab jika pemberontakan ini gagal. Tak semua anggota Daidan Blitar memberontak. Supriyadi meminta para pemberontak tak menyakiti sesama PETA walaupun tak mau memberontak. Tetapi semua orang Jepang harus dibunuh.
Tanggal 14 Februari 1945 pukul 03.00 WIB, pasukan Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira Jepang. Markas Kenpetai juga ditembaki senapan mesin. Namun rupanya kedua bangunan itu sudah dikosongkan. Jepang telah mencium pemberontakan itu.
Continue reading “Ingkar Janji Samurai Jepang di tanggal 14 Februari”