Mulai ditinggalkan ‘swing voter’praktisi kesehatan?

Ramadhan tahun ini merupakan bulan yang membuat kita harus ekstra menahan nafsu serta emosi. Tapi itu sudah kita lewati, saat ini umat Islam sedang merayakan hari kemenangannya. Tidak terkecuali segenap elemen masyarakat non muslim juga terdampak peristiwa akbar umat Islam ini. Perekonomian mengalir dari kota ke desa dalam kurun waktu 2 mingguan.

Hiruk-pikuk kampanye Calon Presiden RI sudah selesai dan menyisakan kemenangan rekapitulasi KPU dengan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai kandidat Presiden dan Calon Wakil Presiden 5 tahun mendatang. Kemenangan ini belumlah hasil inkrah sampai dengan 21 Agustus 2014 besok. Kubu Prabowo dan Hatta sepakat untuk membawa aduan mereka yang sempat diajukan ke Bawaslu dengan serangkaian data kecurangan versi mereka ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai rakyat juga kita sudah dibuat “mantab” oleh beberapa media yang seolah-olah sudah menjadikan pasangan Jokowi-JK sebagai Presiden yang sah saat ini. Rakyat dalam hal ini sedikit dibodohi juga dengan media yang bolak-bolik mengadakan dialog susunan Kabinet.

Jokowi Centre beberapa hari setelah KPU menyatakan pemenang pemilu adalah pasangan nomor 2 (dua) sudah membuat polling terbuka tentang Kabinet Alternatif saat Jokowi-JK sudah duduk di Istana Negara. Lagi-lagi kalau saya pribadi bilang mereka sedikit “Ndisik’i kerso” (Red: Mendahului Kenyataan) seperti membuat opini massa yang menghasilkan polemik soal survey dengan metode Quick Count. Walaupun memang hasil sebagian besar lembaga survey menghasilkan data yang tidak jauh dengan KPU. Tapi jika sedikit bersabar maka mungkin akan sama-sama elegan dan tidak membangkitkan emosi para loyalis keduanya. Sekali lagi sebagai bangsa kita diselamatkan oleh Ramadhan dan Shou’m.

Saat ini lagi-lagi opini masyarakat terbelah menjadi dua. Bukan soal head-to-head dukung mendukung capres-cawapres, tetapi soal dua hal. Pertama, Loyalis Prabowo-Hatta konsen pada gugatan hasil rekapitulasi KPU ke Mahkamah Konstitusi. Kedua, Masyarakat ramai konsen mengamati susunan ‘Kabinet Alternatif’ yang di relesase oleh Jokowi Center. Karena media sudah berhasil membuat opini yang sangat signifikan soal presiden terpilih maka isu kedua tadi saat ini sedang panas.

Ya, Isu ‘siapa yang akan duduk di Kabinet 2014-2019 besok’…

Sebagai seorang praktisi di bidang pelayanan kesehatan, maka saya mengarahkan pandangan mata pada isu siapa Menteri Kesehatan besok. Mengapa? Jelas saja karena Kementrian ini menjadi ibu kandung bagi segenap sumber daya bidang kesehatan di Indonesia, yang mana dalam Human Development Index (HDI) kesehatan adalah indikator utama suatu bangsa. Suatu jabatan yang strategis.

Muncul beberapa nama yang diisukan menjadi menteri kesehatan. Salah satu yang paling menjadi polemik massa adalah masuknya nama dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati yang mempunyai sejarah panjang masa lalu dan stigma sebagai anak seorang anggota partai terlarang. Ribka biasa dipanggil oleh media adalah politisi PDI-Perjuangan di komisi IX, ia mengetuai komisi yang memperhatikan masalah-masalah di bidang tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, dan kesehatan. Di DPR, ia juga merupakan anggota dari Badan Urusan Rumah Tangga (DPR RI) DPR RI.

Siapa Ribka dan sepak terjang di dunia politiknya bisa dilihat di ‘search engine‘. Saat nama yang dimaksud muncul tak lama kemudia nmuncul juga berbagai petisi penolakan di kanal-kanal petisi online. Petisi ini muncul sebagai akibat dari output selama rekam jejaknya sebagai politisi senayan yang dipandang sejawatnya (Dokter) dan kalangan praktisi kesehatan masyarakat tidak menunjukkan dukungan terhadap upaya pembangunan kesehatan. Selain isu yang sangat pribadi mengenai tindakannya yang provokatif terhadap nama baik sejawat Dokter yang dinilai kalangan ‘melukai’ profesi, juga isu yang penting tentang Ayat (2) Pasal 113 dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disetujui Rapat Paripurna DPR, 14 September 2009.

Seperti diberitakan, kasus yang dikenal dengan hilangnya “ayat tembakau” ini bermula ketika pada 28 September 2009 Sekretariat Negara menerima naskah RUU Kesehatan yang telah disetujui DPR untuk disahkan menjadi undang-undang. Namun, saat dicek, Pasal 113 hanya memuat dua dari tiga ayat yang seharusnya ada seperti saat disetujui Rapat Paripurna DPR.

Ayat yang hilang itu adalah ayat (2) yang berbunyi, “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya”.
Continue reading “Mulai ditinggalkan ‘swing voter’praktisi kesehatan?”

Mengantisipasi Fraud di Era Bisnis Asuransi

Dalam industri pelayanan kesehatan dapat kita kategorikan beberapa karakteristik yang mendasar yaitu Service, Uncertainly, Asymetry Knowledge, Patient Ignoracy, Externality, In-elastic Price, Dominasi profesi dan PPK Induced Demand. Yang barusan tadi itu adalah sifat khas di industri ini.

Sebuah kegembiraan  luar biasa bagi bangsa Indonesia hadi1anamnesa_ar pasca reformasi politik tahun 1999.  Kegembiraan itu adalah Negara menjamin pelayanan kesehatan berkeadilan. Negara menciptakan identitas baru bagi Bangsa Indonesia, yaitu “pelayanan kesehatan non diskriminatif bagi seluruh penduduk Indonesia di seluruh penjuru tanah air.”

Mendapatkan pelayanan kesehatan berkeadilan mudah. Hanya dengan mendaftar menjadi peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) lalu membayar iuran JKN secara berkesinambungan. Peserta JKN  berhak atas pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.  Mereka berhak atas pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai.  Dengan kata lain, setiap warga Negara NRI yang telah menjadi peserta JKN,  berhak atas manfaat pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya. Tanpa kecuali. (http://www.jamsosindonesia.com/cetak/printout/436)

Tahun 2014 ini adalah era JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang bisa dikatakan adalah suatu Tsunami dalam industri pelayanan kesehatan Indonesia. Tidaklah berlebihan karena era ini merubah semua tatanan konvensional mulai dari hulu ke hilir, Primer ke Tersier. Semua terdampak, karena era Out-of-pocket berubah menjadi era Asuransi. Yang mana asuransi itu kita sebut dengan konsep Universal Coverage. Saya disini tidak akan membahas mengenai pro dan kontra tentang JKN dengan segala kompleksitasnya saat ini karena bagi saya sistem ini berumur masih sangat ‘bayi’ (baru berusia 2 bulan) dari ketetapan UU 2004 yang lalu. Saya lebih melihat dari sisi Fraud (Kecurangan) yang sangat mungkin terjadi di era asuransi (red: JKN). Alasannya adalah karena provider dan lembaga asuransi (BPJS) adalah dua lembaga yang punya kepentingan yang berbeda dari sisi ‘objective’.

Apa itu Fraud in Healthcare Service (Fraud Pelayanan Kesehatan)?

Menurut NHCAA (National Health Care Anti-Fraud Association) yaitu kesengajaan melakukan kesalahan atau memberikan keterangan yang salah (misrepresentasi) oleh seseorang atau entitas yang mengetahui hal itu dan dapat menghasilkan sejumlah manfaat yang tidak legal kepada individu, entitas atau pihak lain.

Nah, dari definisi diatas maka ada beberapa kegiatan yang dilakukan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan Fraud secara umum yaitu iklan yang menyesatkan, pencurian identitas, tagihan dan kwitansi palsu, pemalsuan dokumen dan tandatangan, mengambil uang yang bukan milik yang penggunaanya dibawah kendali, pengoperasian perusahaan fiktif, klaim asuransi palsu, pemeriksaan yang tidak atas indikasi medis, dan yang terakhir peresepan bahan dan obat yang manfaatnya masih diperdebatkan.

Perlakuan Fraud di paragraf atas dapat diperlakukan sebagai suatu kejahatan (kriminal) dan dalam keadaan lain dapat dianggap sebagai penipuan (perdata). Kita  belajar dari kasus yang terjadi di Indonesia yang diteliti oleh Yuhelrina, 2007 yaitu:

Penelitian Klaim Pembedahan (Surgery) peserta PT. Jamsostek, kantor cabang Bekasi Oktober 2006-Maret 2007. Kriteria Fraud ditetapkan berdasarkan kesesuaian informasi dokumen tagihan dan dokumen pendukung lain serta surat keterangan pasien. Sampel Penelitian sebesar 177 kasus bedah (Surgery). Dan hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan sebesar 25% kasus bedah tersebut merupakan Fraud.

Besaran Fraud kesehatan di Indonesia pada tahun 2011 ternyata lebih besar dari USA atau senilai 20% dari volume industri kesehatan Indonesia pada tahun 2007 yaitu Rp. 78 Trilliun/tahun (Red: dari volume Rp. 390 trilliun/tahun).

Continue reading “Mengantisipasi Fraud di Era Bisnis Asuransi”

#Diskusifacebookers: “Soal Kapitasi Rp. 19.XXX,00”

Tanggal 19 November kemarin saya menulis status di Facebook untuk memancing opini. Kali itu satu menulis seputar besaran Kapitasi dalam Jaminan Kesehatan Nasional 2014 besok. Berikut ini kurang lebih hasil diskusi dengan teman-teman saya:
Ilham Akhsanu Ridlo
Dengan kapitasi yang kurang lebih 19.000an sebenarnya anda sekalian sudah bisa “untung”…Dan cara berfikirnya bukan mencari untung lho, ingat kapitasi itu pra-upaya lho..Dan kapitasi itu bukan hitungan gaji anda… Continue reading “#Diskusifacebookers: “Soal Kapitasi Rp. 19.XXX,00””

Gotong Royong untuk 86,4 Juta Orang Miskin

Originally posted on Catatan Dahlan Iskan:
Senin, 21 Oktober 2013 Pagi ini di Sukabumi seluruh direktur utama BUMN berkumpul. Di Sukabumi mereka membubuhkan tanda tangan pertanda ikut gotong royong. Mengikutkan seluruh karyawan dan keluarga mereka ke program BPJS Kesehatan. Bapak Presiden SBY hadir di acara ini. Beliau tidak hanya menyaksikan. Beliau ingin program bersejarah yang terjadi di era kepemimpinan beliau ini sukses. BPJS memang akan… Continue reading Gotong Royong untuk 86,4 Juta Orang Miskin